Presiden Joko Widodo diharapkan tidak menutup mata atas polemik kepegawaian di KPK. Imbas dari polemik tersebut dinilai dapat berdampak pada kerja pemberantasan korupsi. KPK rentan dijadikan instrumen politik.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengalihan status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara yang menggugurkan 51 pegawai KPK dianggap sebagai bagian dari upaya pelemahan KPK, bahkan dapat mengancam independensi dari lembaga antirasuah itu ke depan. Presiden Joko Widodo diharapkan tidak tutup mata karena peristiwa itu bisa berdampak pada kerja pemberantasan korupsi. KPK rentan untuk dijadikan instrumen politik.
Pengajar kajian Indonesia dari University of Sydney, Thomas Power, dalam diskusi ”Pengerdilan KPK dan Membaca Arah Politik Antikorupsi di Indonesia”, Senin (7/6/2021), mengatakan, upaya pelemahan KPK sebenarnya sudah terjadi lebih dari 10 tahun ke belakang. Setidaknya, ada enam aspek yang memperlihatkan upaya pelemahan itu.
Pertama, pada 2009, terjadi ketegangan antarlembaga, kepolisian dan KPK. Kedua, penyerangan terhadap pegawai KPK, seperti Novel Baswedan. Ketiga, delegitimasi diskursif terhadap penyidik-penyidik yang independen lewat isu ”Taliban”. Keempat, pengangkatan perwira aktif polisi menjadi pimpinan KPK.
Kelima, upaya pelemahan KPK semakin kuat dengan adanya Undang-Undang KPK yang baru, yaitu UU Nomor 19 Tahun 2019. Undang-undang tersebut mulai mengamanatkan pembentukan Dewan Pengawas KPK dan kebijakan-kebijakan lain, seperti wewenang pemberhentian penyidikan.
Keenam, implementasi dari UU KPK salah satunya adalah pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Thomas melihat, kebijakan ini merupakan taktik atau strategi untuk menghancurkan karier dari para penyidik yang masih berani melakukan penyelidikan dan penyidikan secara independen.
”Jadi, mereka yang masih melawan dan menentang, sekarang dihabisi dan dikeluarkan melalui taktik atau strategi tersebut. Ini semua tentu melemahkan independensi lembaga tersebut. Dan, ini upaya dari pemerintah atau eksekutif untuk melemahkan KPK,” ujar Thomas.
Seperti diketahui, ada 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN. Dari jumlah itu, 51 orang di antaranya dipastikan akan diberhentikan dari KPK, sedangkan 24 orang lainnya terancam diberhentikan jika tak lolos pembinaan wawasan kebangsaan.
Dalam diskusi virtual itu, hadir pula narasumber lain, di antaranya Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK (nonaktif) Giri Suprapdiono; Rektor Universitas Paramadina Didik J Rachbini; serta dosen Ilmu Politik dan International Studies Universitas Paramadina, A Khoirul Umam.
Menurut Thomas, upaya pelemahan KPK semakin intens di masa pemerintahan Joko Widodo. Ini dilatarbelakangi dua unsur. Pertama, masalah struktural. Itu meliputi korupsi yang bersifat terlembaga dan maraknya politisasi penegakan hukum.
Kedua, faktor agential. Itu meliputi politisasi KPK pada 2014 ketika KPK dipandang sebagai lembaga politik dan mulai banyak dibahas dalam konstelasi politik, dinamika koalisi pemerintahan Jokowi, serta sikap Presiden yang lebih mengutamakan agenda pembangunan daripada agenda pemberantasan korupsi.
”Akibatnya, lembaga independen seperti KPK ini dipandang sebagai ancaman. Dalam sistem patronase, KPK mengancam sistem itu,” ucap Thomas.
Instrumen politik
Khoirul Umam berpandangan, pascareformasi, KPK merupakan satu-satunya instrumen penegak hukum yang dapat melakukan koreksi terhadap kekuasaan. Itu terbukti ketika KPK menangkap sejumlah menteri dan kepala daerah karena perbuatan korupsi.
Jika KPK dilemahkan, menurut Khoirul, ini akan menjadi awal kebangkitan neo-patrimonialisme di Indonesia pascareformasi. Terlebih jika 75 pegawai KPK yang merupakan tokoh utama dari mesin antikorupsi KPK diberhentikan, maka ada dua hal yang akan terjadi.
Pertama, kerja korupsi akan sangat efektif dimanfaatkan sebagai instrumen politik yang ditujukan sebagai upaya penciptaan stabilitas politik internal di koalisi kekuasaan. Selain itu, kerja korupsi juga bisa dimanfaatkan untuk menekan para rival dan kompetitor politik sebagai target-target pemberantasan korupsi.
Kedua, proses peradilan akan menjadi area tarik ulur kepentingan para elite kekuasaan, sementara pemberantasan korupsi lebih sering diselesaikan dengan metode kompromi politik. ”KPK dianggap barrier politik karena setiap putusan KPK bisa memiliki dampak pada konstelasi politik,” tutur Khoirul.
Karena itu, Khoirul berharap Presiden tidak tutup mata terhadap situasi yang sedang terjadi di KPK saat ini. Apalagi, dalam ruang lingkup ASN, Presiden merupakan pimpinan tertinggi.
”Political will Presiden sangat dibutuhkan untuk menegakkan agenda pemberantasan korupsi saat ini. Pak Jokowi harus mendengar kekuatan masyarakat sipil. Jangan sampai muncul otoritarianisme yang baru sehingga menghancurkan kebijakan dan agenda reformasi,” kata Khoirul.
Sementara itu, Giri Suprapdiono mengungkapkan, upaya pelemahan KPK ini tidak terlepas dari kepentingan politik. Ia menyebutkan, setidaknya 36 persen dari seluruh operasi tangkap tangan (OTT) merupakan korupsi politik yang melibatkan kepala daerah atau menteri.
Lebih dari itu, semua operasi tangkap tangan pascarevisi UU KPK atau sejak tahun 2020 hingga 2021 dimotori oleh pegawai KPK yang terkena pemberhentian akibat tak lolos tes wawasan kebangsaan. ”Mungkin politikus berpikir, revisi sudah dilakukan, kok, bisa tetap ada OTT. Ternyata pegawai bisa beradaptasi pascarevisi UU KPK,” ujarnya.
Dengan segala prestasi itu, menurut Giri, pimpinan seharusnya melindungi para pegawainya, bukan malah seakan-akan menyerahkan ke lembaga lain, bahkan dilabeli ”tidak bisa dibina”. ”Pelabelan ini sangat menyakitkan bagi kami yang sudah sekian lama berjuang,” kata Giri.
Ketua KPK Firli Bahuri sebelumnya membantah tidak lolosnya 75 pegawai KPK dari TWK sebagai upaya menyingkirkan mereka dari KPK. Ia memastikan tak ada upaya penyingkiran itu dengan dalih semua pegawai KPK, berjumlah 1.351 orang, sama-sama mengikuti tes dengan instrumen tes yang sama dan hasilnya 1.271 pegawai di antaranya lolos tes.