Jajak Pendapat "Kompas": 48,2 Persen Publik Tak Puas dengan Kinerja KPK
Jajak pendapat Litbang Kompas, akhir Februari lalu, menunjukkan lebih banyak responden yang tidak puas dengan kinerja KPK. Pandangan publik ini sejalan dengan melandainya citra KPK berbasis survei Kompas, Januari lalu.
Oleh
Arita Nugraheni
·5 menit baca
Komisi Pemberantasan Korupsi perlu kembali meraih kepercayaan publik. Citra lembaga antirasuah ini perlu diperkuat dengan kinerja penuntasan kasus-kasus korupsi kakap yang mendapat perhatian publik. Penguatan kembali marwah KPK juga membutuhkan komitmen pimpinan dan pegawai dalam menjaga kode etik.
Merujuk hasil survei tatap muka Kompas pada Januari lalu, citra positif KPK berada di angka 70,9 persen. Persepsi publik terkait citra lembaga ini meningkat jika dibandingkan dengan survei Agustus 2020 (65,8 persen) dan Oktober 2021 (68,6 persen). Meski demikian, jika dibandingkan dengan rentang Januari 2015 hingga Oktober 2019, masih lebih rendah. Di periode itu, citra KPK bahkan pernah menyentuh angka 88,5 persen dengan persepsi paling rendah tak pernah di bawah 73 persen.
Pencapaian pada awal 2022 itu pun belum bisa mengangkat citra KPK lebih tinggi dari instansi penegak hukum lainnya, seperti Polri, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan kejaksaan. Padahal, sebelumnya KPK hampir selalu menjadi lembaga yang mendapatkan sentimen positif terbesar dari publik.
Tak pelak, menjelang genap tahun ketiga di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, KPK masih berada dalam pertaruhan reputasi. Menurunnya tren citra KPK di mata publik sejak awal 2020 ini berpeluang masih terus berlanjut. Kecenderungan keraguan publik pada lembaga pemberantas korupsi ini juga terlihat dari jajak pendapat Litbang Kompas, akhir Februari lalu. Hasil jajak pendapat ini merekam ada dua faktor yang menjadi pemicu melandainya citra KPK, yakni dinamika organisasi dan kinerja lembaga.
Dinamika organisasi ini tidak lepas dari hiruk-pikuk yang mewarnai pemberitaan KPK yang justru lebih banyak oleh isu-isu internal yang memicu kontroversi. Jajak pendapat Kompas menemukan, lebih dari seperempat responden (26,8 persen) mengaku sering mengikuti pemberitaan terkait isu-isu keorganisasian KPK dibandingkan dengan sepak terjang dan kinerja lembaga ini dalam mengusut kasus korupsi.
Isu-isu tersebut di antaranya terkait pro kontra yang dipicu oleh polemik yang melibatkan Firli Bahuri, di antaranya soal pemakaian helikopter oleh Firli untuk perjalanan pribadinya. Kasus ini kemudian berbuntut panjang karena pada September 2020 Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia melaporkan hal itu kepada Dewan Pengawas KPK sebagai dugaan pelanggaran etik yang dilakukan pimpinan KPK, yaitu bergaya hidup mewah. Melalui sidang etik, Dewan Pengawas KPK memutuskan Firli melanggar kode etik dan memberikan sanksi ringan berupa teguran tertulis.
Tidak berhenti di situ. Kontroversi yang menyeret nama Firli berlanjut dengan munculnya iklan antikorupsi berwajah Firli, sesuatu yang dinilai selama ini bukan menjadi tradisi KPK. Sampai terakhir muncul polemik pemberian penghargaan KPK kepada pencipta lagu ”Mars KPK” yang notabene adalah istri Firli sendiri. Hal ini dianggap mendegradasi citra lembaga yang selama ini sepi dari isu-isu kontroversial.
Namun, isu yang paling menyedot perhatian publik adalah terkait kontroversi tes wawasan kebangsaan (TWK) yang melatarbelakangi pemberhentian sejumlah pegawai KPK, termasuk di antaranya penyidik-penyidik yang selama ini menjadi motor pengungkapan kasus-kasus korupsi besar. Isu ini pun kemudian dinilai sebagai upaya pelemahan lembaga karena terkait dengan buah dari revisi Undang-Undang KPK pada akhir 2019.
Terlepas dari kontroversi, perhatian publik pada KPK tidak pernah lepas dari pemberitaan terkait operasi tangkap tangan (OTT) yang selama ini menjadi andalan lembaga ini dalam menjerat pelaku korupsi. Setidaknya, jajak pendapat Kompas memperkuat narasi ini. Hampir separuh responden (47,7 persen) menyebutkan OTT sebagai isu yang paling banyak mereka ikuti terkait pemberitaan KPK.
Sayangnya, OTT cenderung melandai, terutama sejak direvisinya Undang-Undang KPK. Data menunjukkan, sejak 2020 jumlah OTT mengalami penurunan intensitas. Tercatat hanya delapan OTT yang dilakukan KPK sepanjang 2020, sedangkan pada 2021 sebanyak tujuh OTT. Padahal, pada dua tahun sebelumnya angkanya cukup tinggi, yakni 30 OTT (2018) dan 21 OTT (2019). Pengesahan hasil revisi UU KPK diduga turut memengaruhi penurunan OTT. Salah satunya terkait upaya penyadapan yang menjadi bagian dari OTT. Sejak UU KPK direvisi, proses penyadapan lebih panjang, salah satunya harus mendapatkan izin Dewan Pengawas KPK.
Kinerja KPK
Citra lembaga yang cenderung melandai tersebut juga sejalan dengan penilaian publik terhadap kinerja KPK. Jajak pendapat Kompas mencatat, publik cenderung terbelah dalam menilai kinerja lembaga pemberantas korupsi ini. Sebagian responden (43,7 persen) menyatakan puas dengan kinerja lembaga ini, tetapi sebaliknya, sebanyak 48,2 persen lainnya mengaku tidak puas.
Dua alasan yang paling banyak disebutkan sebagai penyebab ketidakpuasan adalah terkait kinerja Dewan Pengawas KPK dan penurunan intensitas OTT. Khusus kinerja Dewan Pengawas KPK, tidak lepas dari respons mereka terhadap sejumlah pelanggaran kode etik yang melibatkan komisioner KPK. Selain sanksi ringan yang menjerat Firli dalam kasus helikopter, juga pada Agustus 2021 saat Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar diputus melanggar kode etik karena berhubungan langsung dengan pihak yang kasusnya tengah ditangani KPK. Lili hanya dikenai sanksi pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama 12 bulan.
Dewan Pengawas KPK juga dikritik terkait sikapnya dalam pelaksanaan TWK. Kala itu, Dewan Pengawas KPK menyatakan dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK dalam pelaksanaan TWK tak cukup bukti. Sebaliknya, Ombudsman RI dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) justru menemukan malaadministrasi berlapis dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK.
Sorotan publik terkait dinamika internal KPK yang kemudian berdampak pada tergerusnya citra lembaga diharapkan menjadi momentum untuk segera berbenah dan menguatkan kembali kepercayaan publik. Salah satu upaya yang dinilai menjadi solusi adalah penindakan tegas bagi pemimpin atau pegawai KPK yang melanggar kode etik. Hal ini disampaikan lebih dari sepertiga responden (32,7 persen).
Hal lainnya, meningkatkan kembali kerja-kerja lembaga dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi, khususnya melalui operasi tangkap tangan.
Sikap publik yang tertangkap dalam jajak pendapat ini diharapkan dapat menyumbangkan narasi penting dalam upaya menguatkan kembali citra dan kepercayaan pada KPK. Lembaga ini diharapkan dapat menjawab kerinduan publik akan hadirnya institusi penegak hukum yang tepercaya dan bermartabat dalam menuntaskan momok besar bangsa ini: korupsi.