Lebih dari Separuh Anggota DPR Belum Lapor Harta Kekayaannya
Sebanyak 14.072 penyelenggara negara belum melaporkan harta kekayaannya. KPK tetap menerima LHKPN setelah batas akhir.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 4.046 penyelenggara negara dari legislatif belum menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara atau LHKPN periodik tahun 2023. Dari jumlah itu, 293 di antaranya merupakan anggota DPR. Di bidang eksekutif, 9.111 wajib lapor juga belum menyampaikan LHKPN, salah satunya Wakil Menteri Pertahanan Muhammad Herindra.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ipi Maryati Kuding mengatakan, penyampaian LHKPN periodik tahun 2023 telah berakhir pada 31 Maret 2024. ”Hingga 3 April 2024, sebanyak 14.072 penyelenggara negara/wajib lapor belum melaporkan harta kekayaannya,” kata Ipi melalui keterangan tertulis, Kamis, seperti dikutip Jumat (5/4/2024).
Dari sisi persentase, bidang legislatif yang paling rendah melaporkan LHKPN. Sebanyak 4.046 dari 20.002 wajib lapor belum menyampaikan LHKPN atau hanya 79,77 persen yang sudah melapor.
Sebanyak 293 anggota DPR belum lapor LHKPN. Artinya lebih dari separuh anggota DPR belum lapor LHKPN. Sebab, total anggota DPR sebanyak 575 orang. Adapun anggota DPD yang belum lapor sebanyak 29 orang dan ketua DPRD ada 69 orang.
Di atas legislatif ada eksekutif. Di tingkat pusat dan daerah, sebanyak 9.111 dari total 323.651 penyelenggara negara belum melaporkan LHKPN atau 97,18 persen yang sudah lapor. Dari penelusuran di situs LHKPN, nama Wakil Menteri Pertahanan Muhammad Herindra tidak ditemukan. Adapun kepala daerah yang belum melaporkan ada 37 orang.
Sebanyak 740 dari 44.786 wajib lapor pada BUMN/BUMD belum melapor atau sebanyak 98,35 persen telah melaporkan LHKPN. Di bidang yudikatif, sebanyak 175 dari 18.405 wajib lapor belum menyampaikan LHKPN atau 99,05 persen yang telah melapor.
KPK mengimbau wajib lapor yang belum menyampaikan LHKPN agar tetap lapor. KPK tetap akan menerima LHKPN yang disampaikan setelah batas akhir, tetapi LHKPN tersebut akan tercatat dengan status pelaporan ”Terlambat Lapor”.
Ipi mengatakan, pengisian LHKPN sudah dipermudah dengan adanya e-LHKPN yang dapat diakses melalui laman www.elhkpn.kpk.go.id. Aplikasi ini bisa membuat wajib lapor mengisi dan menyampaikan laporan kekayaannya secara elektronik kapan saja dan dari mana saja.
”LHKPN merupakan salah satu instrumen pencegahan korupsi sehingga PN/WL (penyelenggara negara/wajib lapor) diminta mengisi LHKPN secara jujur, benar, dan lengkap,” kata Ipi.
Kewajiban melaporkan harta kekayaan diatur dalam Pasal 5 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. UU tersebut mewajibkan penyelenggara negara bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan setelah menjabat. Penyelenggara negara juga wajib melaporkan dan mengumumkan kekayaannya sebelum dan setelah menjabat.
Tradisi buruk
Dihubungi secara terpisah, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, banyaknya anggota legislatif yang tidak patuh lapor LHKPN sudah menjadi tradisi buruk setiap tahun. Padahal, persoalan ini sudah sering dibahas di ruang publik.
Ketidakpatuhan melaporkan LHKPN berkaitan dengan rendahnya komitmen legislatif pada praktik bernegara yang bersih dan akuntabel. ”Kalau legislatif miskin komitmen, ya, tak perlu terkejut jika korupsi masih saja menjadi penyakit utama legislator,” kata Lucius.
Menurut dia, komitmen rendah dari anggota legislatif merupakan gambaran dari keinginan mereka untuk menyembunyikan harta yang bermasalah. Oleh karena itu, perlu ada sanksi tegas untuk mendisiplinkan.
Hal senada diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana. Hampir setiap tahun ada anggota DPR yang tidak mengikuti perintah UU Nomor 28 Tahun 1999. Tahun lalu, ICW melaporkan pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD) DPR yang tidak patuh dalam melaporkan LHKPN ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Jika mengacu pada peraturan perundang-undangan, ketidakpatuhan anggota DPR itu ada beberapa hal. Misalnya, tidak melaporkan secara berkala dan laporannya terlambat.
ICW mendorong agar pengaturan sanksi LHKPN di UU No 28/1999 dipertegas. Selain itu, ICW juga mendorong KPK agar LHKPN tidak hanya digunakan dalam proses hukum.
”KPK harus menjadi leading sector dalam menegakkan aturan LHKPN. Misalnya, ketika ada anggota DPR yang tidak patuh melaporkan LHKPN, surati pimpinan DPR atau kesekjenan DPR,” kata Kurnia.
Setelah disurati, perlu diberi tenggat waktu untuk menjatuhkan sanksi. Jika tidak dijalankan sanksi administrasi, maka KPK harus mengumumkan kembali kepada masyarakat.
Tujuannya agar masyarakat tahu lembaga mana yang tidak patuh dan lembaga mana yang tidak menjatuhkan sanksi bagi anggotanya yang tidak melaporkan LHKPN. Ia menunggu langkah KPK yang diberi mandat secara langsung untuk mengelola LHKPN.