Warga Pulau Komodo Hidup dalam Bayang-bayang Pengusiran
Penduduk asli Pulau Komodo, Ata Modo, berharap mendapatkan hak atas tanah mereka di Loh Liang dan Desa Komodo.
Tatapan Haryanto (41), warga Pulau Komodo, sedikit layu sesaat setelah tiba di Loh Liang, Taman Nasional Komodo. Tempat yang turun-temurun dihuni keluarganya itu kini telah disulap menjadi tempat wisata. Penduduk asli terpaksa pindah ke Desa Komodo atau 3 kilometer di barat daya tempat itu.
Di Loh Liang, pohon kedondong peninggalan penduduk lama masih tegak berdiri sejajar dan rapi. Usianya sudah puluhan tahun. Dulu fungsinya adalah pembatas kebun milik penduduk. Pohon itu merupakan salah satu bukti otentik bahwa Ata Modo, sebutan untuk penduduk asli Pulau Komodo, pernah tinggal di lokasi tersebut.
Tertoho atau tempat suci milik leluhur Ata Modo juga masih ada yang bersebelahan dengan sejumlah gundukan tanah berupa makam. Lokasinya kini dipenuhi tanaman-tanaman. Namun, batang kayu dan kain putih untuk ritual masih tampak kendati berserakan.
”Itu sebagian bukti sejarah Ata Modo mendiami wilayah ini (Pulau Komodo) secara turun-temurun. Bahkan, sebelum adanya negara (Indonesia), penduduk sudah hidup di sini,” kata Haryanto mengenang tanah milik leluhurnya di Loh Liang, Pulau Komodo, Jumat (5/1/2024).
Meskipun begitu, ingatannya samar terhadap situasi di Loh Liang karena masih berusia muda saat penduduk berpindah ke Desa Komodo. Haryanto mengaku masih digendong ibunya saat peristiwa pengusiran terjadi. Hanya 94 orang yang dahulu sempat berjuang untuk menolak pengusiran.
Salah satu saksi sejarah itu adalah Pua Magu (65), Ketua Adat Suku Modo. Magu menyebut masa kecilnya dihabiskan di Loh Liang. Tanaman buah-buahan dan kegiatan perdagangan dengan masyarakat pulau lain menjadi kesehariannya di masa lalu.
Pada 1970-an, penduduk Loh Liang dipaksa pindah atas nama konservasi. Tanah tempat rumah-rumah dan perkebunan warga disebut berdiri di atas lahan cagar alam. Intimidasi dan ancaman menjadi ”makanan” sehari-hari saat itu. Pada akhirnya, warga melemah setelah anjing-anjing yang mereka miliki dibunuh secara massal.
Kapan pun kami bisa diusir dari sini. Kami tidak punya hak atas tanah, tidak diakui di tanah kami sendiri, tanah nenek moyang dan leluhur kami. Tapi kalau diusir (dari Pulau Komodo), kami akan mati-matian membelanya.
Meski hanya berjarak 3 kilometer dari Loh Liang, di Desa Komodo warga harus beradaptasi kembali, baik dengan Ata Modo lainnya maupun dengan kondisi wilayah. Sejak saat itu, kehidupan warga diatur secara ketat. Mereka dilarang menebang pohon hingga menangkap ikan di tanahnya yang diklaim sebagai kawasan konservasi.
Selain itu, mereka juga terpaksa meninggalkan tradisi yang sudah dilakukan turun-temurun. Kehidupan Ata Modo pada awalnya adalah berburu dan meramu. Warga sejak dulu telah berburu babi hutan dan rusa yang hidup di Pulau Komodo. Babi hutan umumnya tidak dikonsumsi oleh warga, tetapi hanya sekadar diberikan ke komodo.
”Kalau rusa jadi makanan masyarakat. Dagingnya untuk warga, sedangkan kulit, tulang, dan jeroannya diberikan untuk makanan komodo,” kata Magu.
Akan tetapi, semua tradisi itu harus ditinggalkan karena aturan konservasi dan pembagian zonasi. Warga pun kembali mencoba peruntungannya di ladang-ladang dan laut sebagai tempat berburu yang baru.
Baca juga: Menyapa Pagi di Desa Komodo
Kepala Desa Komodo Aksan menjelaskan, profesi nelayan benar-benar dilakoni oleh seluruh masyarakat Komodo hingga pertengahan tahun 1990. Warga mulai mengurangi intensitas melaut saat mereka mulai dilibatkan sebagai pemandu wisata, perajin, dan penjual cendera mata.
Transisi pekerjaan Ata Modo juga terekam dalam buku JAJ Verheijen yang berjudul Pulau Komodo: Tanah, Rakyat, dan Bahasa (1987). Mata pencarian hingga kehidupan mereka berubah dari hidup di gunung dan kebun menjadi di pesisir pantai. Sejak itu, mereka hidup dari tangkapan ikan-ikan kecil di air dangkal dan binatang laut lainnya.
Terancam
Menurut Magu, saat ini warga hanya berusaha untuk melanjutkan hidup. Bayang-bayang pengusiran masih terekam jelas dalam benak Ata Modo. Selama ketidakpastian masih ada, warga tidak akan pernah hidup dengan tenang.
”Kapan pun kami bisa diusir dari sini. Kami tidak punya hak atas tanah, tidak diakui di tanah kami sendiri, tanah nenek moyang dan leluhur kami. Namun, kalau diusir (dari Pulau Komodo), kami akan mati-matian membelanya,” tuturnya.
Menurut dia, ancaman pengusiran berbau relokasi terus diterima warga. Konflik antara warga dan negara sudah berlangsung sejak kawasan Pulau Komodo ditetapkan sebagai cagar alam pada 1996. Sejak saat itu, alarm tanda bahaya sudah menyala. Perlawanan dan protes dilakukan.
Sejak awal pengusiran dari Loh Liang, misalnya, warga sudah melawan. Warga juga masih melawan saat konflik tahun 2010-2012. Pada 2019, saat bergulir isu penutupan Taman Nasional Komodo (TNK), terjadi perlawanan yang sama.
Bukan tanpa alasan, lanjut Magu, Ata Modo hanya menuntut hak atas tanahnya. Bukan meminta kembali kepemilikan Pulau Komodo secara keseluruhan, melainkan tanah yang dihuni warga di Loh Liang dan Desa Komodo.
”Kalau mau, satu pulau sebenarnya bisa karena dari zaman dulu kami sudah hidup berpindah-pindah di Pulau Komodo. Hanya Desa Komodo dan Loh Liang. Kami saat itu hanya hidup di dua wilayah tersebut,” kata Magu menjelaskan.
Baca juga: Jangan Abaikan Hak Asasi Manusia dalam Proyek Raksasa Pariwisata
Selain Magu, Aksan mengungkapkan hal senada. Tanah yang dirampas dari penduduk asli Pulau Komodo memang harus dikembalikan. Masyarakat perlu diberi kepastian untuk hidup dan mengolah tanahnya.
Lengkap
Saat ini, seluruh penduduk Pulau Komodo menetap di Desa Komodo. Merujuk data terbaru, desa memiliki 1.869 penduduk yang terdaftar dalam 515 kartu keluarga (KK). Mereka tersebar di 5 RW dan 10 RT.
Secara administratif, Desa Komodo sudah memiliki fondasi yang kokoh. Hal itu seperti fasilitas desa; sekolah-sekolah, seperti pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, dan SMP; serta puskesmas pembantu. Saat ini juga tengah dibangun gedung Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri Restorasi Pulau Komodo dan puskesmas.
Berbagai fasilitas pemerintahan di Pulau Komodo serta rumah-rumah warga tidak ada yang memiliki sertifikat tanah dan hak guna. Mereka dinilai belum memiliki landasan hukum yang kuat untuk tinggal. Hal itu pula yang membuat Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat menyebut Ata Modo sebagai penduduk liar pada 2019.
Walau tanpa pengakuan atas tanah, masyarakat sudah memiliki KTP dan KK. Dalam kolom alamat, mereka dicatat tinggal di Pulau Komodo dengan RT/RW masing-masing. Mereka juga ditagih Pajak Bumi dan Bangunan. Pembayaran hanya berlaku atas Pajak Bumi.
Salah satu warga dan pejuang hak atas tanah, Aminudin, mengatakan, seharusnya tidak ada alasan bagi negara untuk tidak mengakui hak atas tanah warga Pulau Komodo. Mulai dari bukti sejarah hingga aparatur pemerintahan tingkat desa beserta fasilitas pendukungnya sudah tersedia.
”Bahkan, Ata Modo memiliki bahasa sendiri yang berbeda. Apa lagi yang dibutuhkan untuk mengakui keberadaan kami?” ujarnya.
Baca juga: Pengembangan Taman Nasional Komodo Perlu Melibatkan Masyarakat
Kondisi yang penuh ketidakpastian membuat masyarakat Pulau Komodo seolah terjajah di tanahnya sendiri. Mulai dari pengusiran dan pengekangan yang berbuah ketidaknyamanan. Apalagi, mayoritas masyarakat Pulau Komodo kini bergantung pada sektor pariwisata. Keputusan TNK itu dinilai sangat berpengaruh bagi kehidupan warga.
Ia berharap kepastian atas kepemilikan tanah dan pengakuan segera diberikan kepada warga. Dengan demikian, masyarakat lebih tenang karena memiliki jaminan. Setelah itu, negara bisa bicara soal kerja sama dengan masyarakat setempat mengenai pengelolaan pariwisata.
Pada dasarnya, sebelum dikelola TNK, warga sudah mengelola Pulau Komodo untuk pariwisata. Turis-turis mancanegara dan lokal datang dan membayar kepada desa. Uang tersebut kemudian dikelola oleh kepala desa dan ketua adat untuk kepentingan masyarakat.
”Kalau sekarang, posisi kerja samanya tidak seimbang. Warga memandu wisatawan menginjak-injak dan mengunjungi tanahnya, sementara pengakuan pun tidak diberikan negara,” tuturnya.
Menurut Aminudin, Ata Modo berada dalam posisi dilematis. Mereka sudah ada sejak negara belum berdiri, tetapi dianggap penduduk ilegal karena tidak memiliki sertifikat tanah. Padahal, sertifikat tersebut diterbitkan oleh negara. Karena itu, wajar jika Ata Modo mempertanyakan komitmen negara untuk melindungi warganya.
Baca juga: Silang Pendapat Penutupan Taman Nasional Komodo Resahkan Pelaku Pariwisata
Kompas telah menghubungi dan menemui Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Lukman Hidayat, tetapi ia menolak memberikan komentar. Begitu pula dengan Kepala Balai TNK Hendrikus Rani Siga.
Kian khawatir
Secara kronologis, merujuk catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), perlindungan komodo sudah dilakukan sejak sebelum Indonesia merdeka. Pada 1915, Kesultanan Bima mengeluarkan surat keputusan untuk melindungi komodo. Namun, tidak ada informasi mengenai bentuk perlindungan yang diberikan kesultanan terhadap komodo.
Kemudian, pada 1965, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan, Pulau Komodo ditunjuk sebagai suaka margasatwa. Empat tahun setelahnya, Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Pulau Rinca ditetapkan sebagai hutan wisata oleh pemerintah daerah. Pada 1977, Organisasi Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) menetapkan tiga pulau itu sebagai cagar biosfer.
Baru pada 1980 pemerintah menetapkan kawasan komodo sebagai taman nasional dengan nama Taman Nasional Komodo. Semenjak itu, TNK terus berkembang, bahkan diakui sebagai warisan dunia. Lebih jauh, pemerintah pun menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk mendongkrak pariwisata di Pulau Komodo.
Pada saat bersamaan, privatisasi terjadi di kawasan TNK. Sedikitnya tujuh perusahaan mengajukan izin usaha penyediaan sarana pariwisata alam di kawasan TNK. Beberapa dari perusahaan itu pun disebut telah mengantongi izin dan beroperasi.
Pada 2018-2019, penolakan dari masyarakat terus terjadi. Hal itu kian memanas setelah ditetapkannya Labuan Bajo sebagai destinasi wisata superprioritas. Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat juga sempat mewacanakan penutupan Pulau Komodo dan relokasi penduduk di sana.
Privatisasi dan penerbitan izin bagi korporasi menjadi salah satu polemik yang disorot penduduk Pulau Komodo. Mereka bertanya, bagaimana negara dengan mudahnya memberikan izin kepada investor dan perusahaan sementara penduduk asli dibiarkan tidak memiliki sertifikat tanah.
Baca juga: Status Warisan Dunia Bukan Pembenaran Pariwisata Massal