Pengembangan Taman Nasional Komodo Perlu Melibatkan Masyarakat
Pariwisata berbasis konservasi di TN Komodo memberikan dampak positif pada kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, pengelolaan ekowisata perlu melibatkan dan mengutamakan kepentingan masyarakat lokal.
Rencana pemerintah untuk membatasi jumlah kunjungan wisatawan ke Pulau Komodo dan Pulau Padar yang menjadi bagian dari Taman Nasional Komodo segera diterapkan. Rencana itu berupa mekanisme menaikkan tarif kunjungan wisatawan ke dua destinasi itu dari Rp 200.000 per orang menjadi Rp 3,75 juta per orang per tahun. Biaya ini ditujukan untuk tiket masuk sekaligus biaya konservasi. Awalnya, tarif baru itu akan diterapkan mulai 1 Agustus 2022. Namun, rencana itu ditunda dan baru resmi diterapkan mulai 1 Januari 2023.
Rencana penerapan kebijakan tersebut berdasarkan hasil kajian pemerintah bersama lembaga pendidikan tinggi. Dari kajian itu disebutkan bahwa jumlah wisatawan yang berkunjung ke dua pulau tersebut dibatasi maksimal 219.000 orang per tahun. Alasannya, ada perubahan perilaku komodo dan kondisi lingkungan karena jumlah pengunjung yang berlebih.
Kebijakan itu menuai protes dari masyarakat lokal dan pegiat wisata. Mereka menyesalkan kenaikan tarif yang sangat tinggi itu karena dapat mengancam penghidupan mereka dari sektor pariwisata. Jika tarif dinaikkan, jumlah kunjungan wisatawan dikhawatirkan akan menurun. Hal itu kemudian akan berdampak pada berkurangnya pendapatan mereka.
Sejauh ini, menurut Ketua Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Provinsi NTT Agus Bataona, selama dua hingga tiga bulan ke depan, sekitar 10.000 wisatawan membatalkan kunjungannya ke Labuan Bajo. Hal ini semakin membuat khawatir masyarakat dan pengusaha wisata apabila penerapan kebijakan itu direalisasikan dalam jangka panjang.
Aksi protes kemudian dilakukan sebagai bentuk penolakan kebijakan kenaikan tarif tersebut. Selain itu, para pegiat wisata menghentikan segala aktivitas dan layanan pariwisata sebagai wujud protes. Dalam aksi protes dan aksi mogok itu, terjadi kericuhan antara massa dan petugas keamanan.
Jumat (29/7/2022) siang, warga Pulau Komodo, NTT, mendatangi kantor jaga Balai Taman Nasional Komodo dan mengancam akan menyegel pulau jika pemerintah tetap menaikkan tarif masuk Pulau Komodo menjadi Rp 3,75 juta. Selain di Pulau Komodo, ratusan pelaku pariwisata dan warga di Labuan Bajo juga berunjuk rasa di depan lokasi peluncuran aplikasi masuk ke Pulau Komodo. Mereka menolak keputusan pemerintah menaikkan harga tiket masuk Pulau Komodo dengan tidur di jalan raya.
Hal itu mengundang simpati dari khalayak di media sosial. Bentuk dukungan dan simpati terhadap masyarakat lokal dan pegiat wisata tersebut terlihat dari ramainya perbincangan yang dipantau Litbang Kompas melalui aplikasi Talkwalker selama sepekan (29 Juli 2022 hingga 4 Agustus 2022).
Perbincangan terkait isu komodo muncul sebanyak 36.300 yang menghasilkan 159.900 interaksi dari berbagai platform media sosial. Dari perbincangan tersebut tampak warganet menaruh perhatian yang berwujud kritik atas kenaikan tarif untuk wisatawan yang dinilai terlalu mahal. Warganet mempertanyakan alasan pemerintah menaikkan tarif yang dapat membebani wisatawan.
Selain itu, perhatian warganet juga tertuju pada aksi protes yang diwarnai kericuhan. Pemberitaan dan video viral tentang tindak represif aparat keamanan terhadap pendemo menjadi fokus utamanya. Warganet menyayangkan tindakan aparat keamanan dan tindakan hukum yang diberikan kepada para pendemo. Simpati warganet menyiratkan penolakan atas tekanan kelompok berkuasa terhadap masyarakat kecil yang sering terjadi dalam kasus-kasus pengembangan suatu kawasan. Oleh sebab itu, isu pun berlanjut dengan tuntutan atas izin yang diberikan pemerintah terhadap pihak swasta dalam pengelolaan salah satu situs dari tujuh keajaiban dunia tersebut.
Transformasi pengelolaan
Setidaknya ada tiga hal utama yang menggambarkan kompleksnya kondisi warga dan pegiat wisata di Taman Nasional Komodo. Kenaikan tarif dikhawatirkan membuat kunjungan wisatawan menurun dan pendapatan masyarakat berkurang. Di sisi lainnya, dalam proses pengembangan kawasan wisata, warga sering kali hanya menjadi obyek dan tidak diberikan ruang diskusi yang setara dengan pemerintah ataupun swasta. Pada akhirnya, ketika muncul kebijakan pengelolaan baru, apalagi dengan keterlibatan pihak swasta, muncul resistensi dari masyarakat.
Dalam kasus Taman Nasional Komodo, kompleksnya permasalahan itu sudah terjadi berulang kali. Jika merunut pada masa lalu, kondisi demikian merupakan dampak dari transformasi pengelolaan seiring dengan berubahnya status kawasan tersebut. Hal ini diungkapkan oleh penelitian berjudul ”Puzzling Confluence of Conservation and Ecotourism in Komodo National Park, Indonesia”.
Dalam penelitian itu disebutkan bahwa pengakuan Pulau Komodo dan sekitarnya sebagai suatu kawasan yang dilindungi mengubah pola penghidupan masyarakat. Hal ini dimulai pada 1980 saat pemerintah memutuskan kawasan itu menjadi area konservasi atau suaka margasatwa. Selanjutnya, pada 1992 dan diperbarui pada 2000, Pulau Komodo, Rinca, dan Padar diakui sebagai taman nasional. Di kancah internasional, pada 1988, UNESCO menetapkan kawasan itu sebagai World Heritage Site and a Man and Biosphere Reserve dan pada 2013 sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia.
Sejak ditetapkan sebagai taman nasional, kontrol seluruh wilayah diambil alih pemerintah dari masyarakat lokal. Zonasi dilakukan untuk melindungi area-area yang rentan dan memiliki valuasi lingkungan yang tinggi. Penduduk yang tinggal di kampung-kampung tersebar direlokasi dan dikelompokkan.
Masyarakat yang sebelumnya hidup dari mengumpulkan makanan, berburu, dan berkebun diarahkan untuk mulai beralih ke sektor pariwisata. Meski demikian, kala itu privatisasi belum muncul karena status area yang dilindungi negara.
Baru pada 1995, konsep ekowisata diperkenalkan dan diterapkan pada Taman Nasional Komodo. Konsep ini mendapat bantuan dari konsorsium bisnis konservasi The Nature Conservancy (TNC) dan dukungan Bank Dunia. Dalam pengelolaannya, kawasan Komodo diarahkan untuk konservasi berorientasi wisata. Hal ini dilakukan dengan mengembangkan taman nasional hingga wilayah perairan serta mempromosikan wisata bawah laut guna meningkatkan pendapatan.
Selanjutnya, pada 2004 pengelolaan dilanjutkan oleh Komodo Collaborative Management (KCM) dengan manajemen PT Putri Naga Komodo (PT PNK). Namun, masyarakat lokal menolak pengelolaan itu karena dirasa membatasi akses mereka terhadap sumber daya di pulau tersebut. Apalagi, di sisi lain, pengelolaan itu justru memberikan akses terbuka dan keuntungan bagi perusahaan wisata yang lebih kuat. Pada akhirnya, lima hingga enam tahun setelahnya, kerja sama pengeolaan itu terhenti.
Gelombang pengembangan berikutnya terjadi saat pemerintah menjadikan Labuan Bajo-Flores sebagai salah satu destinasi 10 Bali Baru dan Ekowisata Kelas Dunia. Ada sejumlah rencana dilakukan untuk mendukung program itu. Di antaranya menjadikan Pulau Komodo sebagai destinasi wisata eksklusif dengan tarif masuk hingga 1.000 dollar AS, merelokasi penduduk di Pulau Komodo, hingga rencana pembangunan Jurassic Park di Pulau Rinca. Sebagian rencana itu sudah dilaksanakan.
Penghidupan masyarakat
Berubahnya lanskap pengelolaan kawasan Pulau Komodo yang mengatasnamakan pariwisata berbasis kelestarian lingkungan tersebut turut mengubah pola sosial-ekonomi masyarakat. Dari masyarakat yang dulu kala mengandalkan penghidupannya pada hasil kebun dan laut kini menjadi berbasis pada jasa wisata dan industri kecil rumah tangga.
Secara umum, fenomena tersebut relatif cukup menguntungkan bagi masyarakat. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tercatat ada 227 masyarakat lokal yang terlibat dalam kegiatan ekowisata di TNK. Mereka berprofesi sebagai pemandu wisata, pedagang souvenir hingga perajin patung komodo. Selain itu, masih banyak usaha jasa ataupun industri yang dikelola masyarakat untuk melengkapi kebutuhan wisatawan.
Hanya saja, pengelolaan TNK, khususnya setelah gelombang ekowisata muncul, cenderung memarjinalkan masyarakat lokal. Menurut penelitian yang sama, pengelolaan TNK untuk destinasi wisata tidak hanya membatasi hak agraria masyarakat, tetapi mulai merambah ke pemberian keuntungan hanya kepada pihak-pihak tertentu.
Dalam prosesnya, masyarakat tetap bertahan dengan penghidupan mereka dari sektor wisata. Namun, mereka juga melakukan perlawanan atas kebijakan-kebijakan yang dinilai mengesampingkan hak dan kepentingan mereka. Misalnya, pada 2019, saat pemerintah berencana merelokasi penduduk Pulau Komodo, warga lokal melakukan demo hingga akhirnya rencana tersebut dibatalkan.
Serupa dengan itu, situasi saat ini kembali menjadi refleksi aksi-aksi masyarakat yang telah dilakukan sebelum-sebelumnya. Tujuannya sama, memastikan hak-hak dan kepentingan penghidupan mereka. Hak yang dimaksud salah satunya adalah ruang-ruang diskusi dan keterlibatan masyarakat dalam setiap perencanaan pengelolaan TNK. Keterlibatan ini sangat penting karena akan berdampak terhadap keberlanjutan penghidupan masyarakat, baik dari sektor pariwisata maupun pertanian dan perikanan.
Tuntutan tersebut bukan berarti masyarakat menolak konservasi dan perlindungan lingkungan TNK. Buktinya, sejak dahulu kala, warga lokal Komodo dan sekitarnya sudah hidup berdampingan dengan Komodo dan alam sekitarnya melalui tradisi mereka sendiri.
Hanya saja, pengembangan pariwisata di TNK yang menjadi sumber penghidupan mereka saat ini diharapkan juga mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Konservasi dan perlindungan lingkungan di destinasi wisata berbasis alam dan budaya memang penting. Namun, kembali lagi, sesuai dengan konsep pariwisata berkelanjutan dan ekowisata yang diterapkan pada TNK, aspek lingkungan dan kebermanfaatan bagi masyarakat harus sama-sama diutamakan. (LITBANG KOMPAS)