Status Warisan Dunia Bukan Pembenaran Pariwisata Massal
Warisan dunia atau "world heritage" di berbagai negara dimanfaatkan untuk mengembangkan potensi pariwisata. Namun, pariwisata massal yang tak terkendali justru membahayakan keberlanjutan situs warisan dunia.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Status warisan dunia yang melekat di situs budaya atau alam kerap dipandang sebagai potensi pariwisata. Walau tidak dilarang, pariwisata yang dikembangkan sebaiknya pariwisata berkualitas, bukan pariwisata massal. Sebab, pariwisata massal dapat membahayakan keberlanjutan warisan dunia.
Penetapan warisan dunia (world heritage) dilakukan oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Suatu situs baru dapat diakui sebagai warisan dunia jika memiliki nilai universal luar biasa (outstanding universal value/OUV). OUV menakar signifikansi budaya dan/atau alam suatu situs terhadap peradaban manusia.
Menurut Ketua Komite Eksekutif Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs (ICOMOS) Indonesia Soehardi Hartono, status warisan dunia menaikkan prestise suatu situs. Daya tarik pariwisatanya pun kuat. Itu sebabnya status warisan dunia kerap dianggap pembenaran untuk menggenjot pariwisata.
”Masalahnya, kita sering lupa mengelola pengunjung sehingga yang terjadi malah eksploitasi berlebih. Situs (warisan dunia) menjadi 'tambang emas atau batubara'. Di sisi lain, tanggung jawab memelihara warisan dunia diabaikan,” kata Soehardi, Kamis (23/6/2022).
Negara bertanggung jawab menjaga kelestarian warisan dunia. Sebab, situs yang ditetapkan sebagai warisan dunia bukan lagi milik negara atau penduduk setempat saja, melainkan jadi milik warga dunia. Komitmen melindungi warisan dunia tercantum di Konvensi Warisan Dunia 1972.
Adapun Indonesia memiliki sembilan warisan dunia. Lima di antaranya adalah situs budaya, yaitu Kawasan Candi Borobudur, Kawasan Candi Prambanan, Situs Manusia Purba Sangiran, lanskap Subak di Bali, serta cagar budaya tambang batubara Ombilin di Sawahlunto.
Empat lainnya adalah situs alam, yakni Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Lorentz, dan Hutan Hujan Tropis Sumatera. Hutan Hujan Tropis Sumatera masuk ke daftar merah UNESCO atau daftar warisan dunia dalam bahaya sejak 2011.
Pariwisata massal
Di sisi lain, pariwisata massal mengancam kelestarian warisan dunia. Hal itu sempat membuat warisan dunia, salah satunya di Venice, Italia, disorot UNESCO dan warga dunia.
Tingginya gelombang wisatawan melebihi daya tampung ideal Venice. Selain itu, arus kapal pesiar pun merusak kawasan warisan dunia.
Komite Warisan Dunia berpikir untuk memasukkan Venice ke daftar merah. Untuk merespons ini, Italia melarang kapal pesiar besar melintasi pusat bersejarah kota tersebut pada 2021.
Tidak semua situs mesti ‘dijual’ untuk pariwisata massal. Kita melupakan pariwisata berkualitas, yakni saat pengunjung dapat betul-betul menikmati situs dan menyerap nilai-nilai yang dimiliki warisan dunia.
Pariwisata massal juga terjadi pada warisan dunia di Indonesia. Sebelum pandemi Covid-19, Kawasan Candi Borobudur rata-rata didatangi 10.000-an pengunjung per hari. Banyaknya pengunjung yang naik ke candi membuat batuan tangga candi aus.
Banyaknya pengunjung juga membuat candi sulit diawasi. Akibatnya, vandalisme terhadap candi terjadi.
Taman Nasional (TN) Komodo juga disorot karena rencana pengembangan kawasan strategis pariwisata nasional. Pulau Rinca yang menjadi bagian dari TN Komodo akan dijadikan ”Jurrasic Park”. Pembangunan ini bisa berdampak negatif ke OUV yang dimiliki TN Komodo.
”Tidak semua situs mesti ‘dijual’ untuk pariwisata massal. Kita melupakan pariwisata berkualitas, yakni saat pengunjung dapat betul-betul menikmati situs dan menyerap nilai-nilai yang dimiliki warisan dunia,” ucap Soehardi.
Menurut Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Marsis Sutopo, konservasi dan pariwisata di warisan dunia bisa berjalan seimbang jika ada pengelolaan pengunjung. Pengelolaan ini termasuk membatasi jumlah pengunjung sesuai kapasitas ideal situs warisan budaya, mengatur perilaku pengunjung, hingga rencana sirkulasi pengunjung.
”Orang yang tidak bisa naik ke candi bisa diarahkan ke lokasi lain yang menyediakan informasi. Dengan bantuan teknologi, informasi bisa dikemas pengunjung seolah dibawa masuk ke candi,” kata Marsis.
”Pengunjung juga bisa diarahkan untuk berwisata di lingkungan sekitar Borobudur. Mereka bisa safari keliling desa dengan mobil VW, membajak sawah, hingga menangkap belut. Pariwisata seperti ini menawarkan pengalaman,” tambahnya.
Menurut Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, pariwisata berkualitas mesti dikembangkan. Ini mewajibkan pihak pengelola untuk mencari atau menciptakan atraksi-atraksi baru.
”Seperti Borobudur, seharusnya ada perhatian pada 39 situs di kawasan Borobudur. Kita harus melihat Borobudur sebagai lanskap, bukan hanya bangunan candi,” kata Hilmar.