Pengelolaan Pengunjung, Jalan Tengah Polemik Borobudur
Pembatasan pengunjung Candi Borobudur dapat menjadi solusi polemik antara konservasi dan pariwisata. Pembatasan tidak hanya bersifat kuantitatif, tetapi juga kualitatif.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pariwisata massal berkontribusi terhadap rusaknya beberapa bagian bangunan Candi Borobudur. Para ahli pun menilai konservasi mesti diutamakan, tetapi tidak boleh menutup akses masyarakat ke candi. Hal ini agar diatur di rencana pengelolaan pengunjung Borobudur.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah pengunjung domestik di Borobudur lebih dari 3,6 juta orang atau setara 10.035 orang per hari. Pada 2019 jumlah pengunjung 3,7 juta lebih orang atau 10.270 orang per hari. Sementara pada 2020 jumlahnya turun menjadi 965.699 orang karena pandemi Covid-19 (Kompas, 7/6/2022).
Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI), Marsis Sutopo, pada Selasa (7/6/2022) mengatakan, jumlah pengunjung yang naik ke Candi Borobudur melebihi daya tampung. Idealnya, candi dapat menampung 128 orang selama 1 jam. Jika candi dibuka selama 10 jam, daya tampung candi sekitar 1.280 orang per hari.
Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dipadati pengunjung di musim libur Lebaran, Juni lalu.
Sementara itu, daya tampung ideal halaman candi 523 orang dan taman zona 2 untuk 10.308 orang. Tanpa memperhatikan daya tampung ideal, bangunan candi dapat menampung 1.391 orang, halaman 5.670 orang, dan taman 111.666 orang.
”Masalah paling mengkhawatirkan itu jika jumlah pengunjung bertambah pesat melebihi daya dukung keruangan,” kata Marsis yang juga mantan Kepala Balai Konservasi Borobudur.
Banyaknya jumlah pengunjung membuat batuan tangga candi lekas aus karena tergesek sepatu. Akibatnya, batuan tangga menjadi cekung. Tangga naik di sisi timur serta tangga turun di sisi utara, kata Marsis, mengalami keausan yang sangat dalam.
Selain tangga, lantai batu pada candi pun rawan aus. Oleh karena itu, pengunjung disarankan mengenakan alas kaki lunak.
Vandalisme dan perilaku tidak elok dari pengunjung juga merusak candi, misalnya memanjat dan menduduki stupa. Sampah permen karet yang ditempelkan pengunjung juga merusak candi. Bekas permen karet sulit hilang, bahkan meninggalkan noda.
Kerusakan lain disebabkan oleh faktor alam, seperti panas, hujan, lumut, jamur, serta sementasi karena air hujan dan penguapan setelah hujan. Semua faktor perusak tersebut membahayakan kelestarian candi. Padahal, Candi Borobudur ditetapkan sebagai warisan dunia (world heritage) oleh UNESCO.
”Yang paling bisa dikontrol dan diminimalkan adalah pembatasan pengunjung sesuai daya tampung. Tapi, ini butuh kemauan politik yang kuat dari pemerintah,” ucap Marsis.
Sebelumnya, pemerintah mengubah tarif tiket masuk Borobudur untuk membatasi jumlah pengunjung. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, tarif tiket untuk turis domestik naik dari Rp 50.000 menjadi Rp 750.000, sedangkan tiket turis mancanegara naik dari 20 dollar AS menjadi 100 dollar AS.
Adapun pelajar akan dikenai biaya Rp 5.000. Perubahan tarif ini memicu pro dan kontra masyarakat.
Terjebak nominal
Menurut anggota Komite Eksekutif Dewan Internasional untuk Monumen dan Situs (ICOMOS) Indonesia, Soehardi Hartono, publik terjebak diskursus soal nominal baru tiket Borobudur. Hal ini mengaburkan isu yang mestinya dibahas, yaitu keseimbangan pariwisata dan konservasi.
”Paradigma konservasi dan pariwisata selama ini selalu dianggap bertentangan. Pariwisata ditonjolkan, sementara konservasi diabaikan, atau sebaliknya,” kata Soehardi.
Pariwisata dan konservasi bisa berjalan bersamaan di Candi Borobudur, tetapi baik pemerintah maupun pengelola mesti menentukan bentuk pariwisata yang ingin dijalankan. Selain itu, konteks Candi Borobudur sebagai warisan dunia harus dipahami semua pemangku kepentingan.
Menurut dia, konservasi mesti didahulukan saat ini. Pariwisata masih bisa berjalan jika ada pembatasan pengunjung, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pembatasan kualitas, misalnya, mengatur perilaku pengunjung untuk mencegah kerusakan candi. Ini biasanya diatur di rencana manajemen pengunjung.
”Prioritaskan konservasi untuk mempertahankan keberlanjutan situs. Tapi, perlu diingat juga bahwa misi konservasi adalah menyebar pesan dan nilai penting cagar budaya ini ke masyarakat,” ucap Soehardi. ”Pesan itu hanya bisa ditangkap jika kita hadir di Borobudur secara fisik.”
Pengajar arkeologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Daud Aris Tanudirjo, mengatakan, rencana pengelolaan pengunjung Borobudur sudah disusun sejak tahun 2010, kemudian diperbarui sekitar tahun 2020. Ini disusun bersamaan dengan rencana manajemen Borobudur.
Pada rencana pengelolaan pengunjung terbaru, ada poin yang mengatur kuota, alur pengunjung, durasi berada di candi, hingga perilaku pengunjung. Namun, rencana ini belum berjalan karena pandemi.
”Rencana ini juga mengatur soal guide agar pengunjung diarahkan ke titik-titik tertentu. Jadi, pengunjung tidak hanya naik ke candi, tapi juga mendapat informasi penting,” kata Daud yang ikut menyusun rencana manajemen Borobudur.
Ia menambahkan, sejumlah pihak sudah menyadari bahwa Borobudur terlalu padat sejak 2010. Kepadatan membuat candi sulit diawasi sehingga vandalisme bisa terjadi.
Mempertahankan Candi Borobudur merupakan tanggung jawab moral semua pihak. Sejak ditetapkan sebagai warisan dunia, Candi Borobudur tidak hanya milik orang Indonesia, tetapi juga dunia. Ini karena Candi Borobudur memiliki nilai universal luar biasa (outstanding universal value), baik dari segi peradaban, sosial, budaya, maupun arsitektur.