Jangan Abaikan Hak Asasi Manusia dalam Proyek Raksasa Pariwisata
Pembangunan pariwisata semestinya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya. Karena itu semestinya pembangunan pariwisata tidak mengabaikan kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat.
Oleh
Susana Rita / Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Proyek-proyek raksasa di bidang pariwisata perlu dilaksanakan dengan pendekatan hak asasi manusia. Sebab, jika persoalan HAM diabaikan, yang timbul adalah persoalan dengan masyarakat. Pemerintah harus betul-betul menyadari apakah betul proyek itu menjadi masa depan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut ataukah justru membuat warga menjadi jauh lebih miskin karena kehilangan sumber penghidupan.
”Kalau proyek-proyek pariwisata justru menimbulkan kemiskinan atau masyarakat menjadi tersisih, proyek tersebut perlu ditinjau ulang. Apa gunanya bagi warga? Kalau tidak, mari duduk bersama agar proyek tersebut betul-betul menimbulkan kesejahteraan,” ujar Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Eksternal Amiruddin Al Rahab dalam acara Konsultasi Nasional Peran Mediasi HAM dalam Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Konflik dan Sengketa Agraria pada Sektor Pariwisata, Rabu (8/12/2021).
Amiruddin menilai selama ini pembangunan proyek-proyek prestisius pemerintah sering kali melalui proses yang berdarah-darah. Ia mencontohkan pembangunan sebuah bandara di Pulau Jawa yang dimaksudkan untuk mendukung pariwisata di wilayah tersebut. ”Apa yang terjadi? Prosesnya tidak semulus yang dibayangkan. Saya datang bolak-balik empat lima kali untuk meyakinkan semua warga. Pancasila tanpa HAM itu buah bibir saja kalau ternyata rakyat kehilangan sumber penghidupannya. Kita tidak menjalankan secara sungguh-sungguh,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah tidak hanya mempertimbangkan kepentingan bisnis atau investasi saja dalam melaksanakan pembangunan. Perintah konstitusi untuk melindungi hak warga negara tidak boleh diabaikan. ”Sulit, itu pasti. Karena butuh waktu dan sulitlah. Makanya pejabat negara harus mampu mengelolanya. Kalau tidak mau menghadapi kesulitan, jangan mau jadi pejabat negara,” ujarnya.
Kasus agraria
Komisoner Komnas HAM Subkomisi Mediasi, Hairansyah, mengungkapkan, kasus agraria termasuk kasus tertinggi yang dilaporkan ke Komnas HAM selain kasus ketenagakerjaan. Pada 2017, Komnas HAM menangani 65 kasus agraria dan 41 berkas kasus ketenagakerjaan. Pada 2018, kasus agraria sebanyak 52 kasus dan ketenagakerjaan 40 berkas.
Jumlah kasus yang masuk ke Komnas HAM paling tinggi terjadi pada 2019, yaitu dengan 86 kasus agraria dan 42 kasus ketenagakerjaan. Angka tersebut menurun pada 2020, dengan 27 kasus agraria dan 25 kasus ketenagakerjaan.
Kalau proyek-proyek pariwisata justru menimbulkan kemiskinan atau masyarakat menjadi tersisih, proyek tersebut perlu ditinjau ulang. Apa gunanya bagi warga? Kalau tidak, mari duduk bersama agar proyek tersebut betul-betul menimbulkan kesejahteraan
Menurut Hairansyah, pemerintah membutuhkan kecepatan dalam melaksanakan pembangunan atau investasi. Sementara proses pembebasan lahan dan penyelesaian persoalan lain yang terkait dengan warga biasanya membutuhkan waktu yang relatif lama. Umumnya, kebutuhan pembangunan yang cepat itu mengakibatkan hak warga terabaikan.
Asisten Deputi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Sartin, menceritakan pengalamannya menyelesaikan konflik antara masyarakat dan pemerintah saat membangun sirkuit di Mandalika, Nusa Tenggara Barat. Pemerintah melakukan mediasi dengan pihak-pihak yang bersengketa sehingga akhirnya persoalan tersebut dapat terselesaikan.
Delima Silalahi, Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat yang membahas situasi di Danau Toba, mengatakan, pariwisata didengung-dengungkan akan menyejahterakan masyarakat. Namun, di Danau Toba, Sumatera Utara, yang menjadi destinasi wisata, justru pembangunan pariwisata menambah masalah yang telah ada. Masyarakat Toba relatif miskin dan terbelakang.
”Sekarang ditambah perampasan tanah. Data menunjukkan justru di daerah-daerah yang banyak industrinya, masyarakat lebih miskin dibandingkan daerah-daerah yang berbasis pertanian,” kata Delima.
Delima melihat pembangunan pariwisata jutru menjadi ancaman terbesar terhadap hak masyarakat adat. Pemerintah selalu mengambil posisi yang berpihak kepada perusahaan. Dialog-dialog yang dikatakan terjadi ternyata tidak seadanya karena masyarakat yang diajak dialog adalah masyarakat yang sudah dipilih duluan.
Akibatnya, masyarakat semakin terpinggirkan dalam konflik yang berlarut-larut karena perusahaan swasta dan lembaga pemerintah tertentu memperoleh hak untuk membangun infrastruktur atau industri ekstraktif di atas lahan dan hutan yang sejak lama menjadi hak-hak masyarakat adat.
”Masyarakat lokal tidak dilibatkan dan pemerintah terus memberikan izin kepada perusahaan. Ini adalah bentuk pelanggaran HAM yang nyata,” kata Delima. Semestinya, lanjut Delima, Komnas HAM dilibatkan sejak awal perencanaan pembangunan. Bukan sebagai mediator saat konflik sudah meledak.
Cypri Jehan, peneliti dari Center for South East Asian Studies, mengatakan, rencana pembangunan pariwisata di Pulau Komodo ini juga menjadi pembangunan yang tuna HAM dan tuna ekologi. Pasalnya, pembangunan itu sangat lemah perspektif hak asasi dan ekologinya.
Proses pembangunan pariwisata berlangsung cepat, tapi di sisi lain disertai dengan potensi bencana sosial dan ekologis. Menurut Cypri, hal itu kemungkinan terjadi lantaran kebijakan dibuat tanpa memedulikan kepentingan warga yang menempati Pulau Komodo dan sekitarnya.
Pada tahun 1980-an, misalnya, masyarakat Manggarai, Nusa Tenggara Timur, yang sebelumnya hidup dengan sistem seperti jaring laba-laba, tiba-tiba dipaksa pindah ke daerah yang relatif sempit. Selain itu, walaupun pemerintah mengklaim hanya mengelola sekitar 22 hektar di Taman Nasional Komodo, di belakangnya ada puluhan hingga ratusan hektar lain yang diserahkan kepada perusahaan swasta.
”Apa yang dilakukan masyarakat sekarang adalah merebut kembali hak-haknya untuk mengelola sendiri dan menentang proyek privatisasi,” kata Cypri.