Legislasi Minus Partisipasi, Akankah Berlanjut?
Minimnya partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang, selama periode kedua Presiden Jokowi, diperkirakan berlanjut pada 2024.
Tahun 2023 tercatat sebagai tahun saat Mahkamah Konstitusi menerima permohonan pengujian undang-undang paling banyak sejak berdiri tahun 2003. Ada 168 permohonan pengujian undang-undang, naik dibandingkan dengan permohonan pada 2022 sebanyak 121 perkara dan 2021 yang hanya 71 perkara.
Apabila ditilik lebih jauh terkait jenis pengujian yang diajukan, terdapat dua kategori permohonan, yakni pengujian materiil dan formil. Sepanjang tahun lalu, terdapat 10 permohonan pengujian formil dan tiga lainnya gabungan pengujian formil/materiil. Sisanya adalah permohonan pengujian konstitusionalitas norma undang-undang.
Meskipun tidak terlalu tinggi, angka permohonan pengujian formil yang mempersoalkan prosedur pembentukan sebuah undang-undang tetap memiliki makna yang signifikan. Setidaknya hal itu menunjukkan ada masalah dalam proses pembahasan sebuah rancangan regulasi di Senayan.
Minimnya RUU yang dihasilkan pembentuk undang-undang tersebut tidak membuat undang-undang yang dihasilkan ataupun proses pembahasannya menjadi berkualitas.
Memang, secara kuantitatif, kinerja legislasi DPR dan pemerintah tidak terlalu menggembirakan. Dari target 39 undang-undang yang seharusnya diselesaikan pada tahun lalu, hanya enam rancangan undang-undang atau sekitar 15,3 persen yang disahkan. Hingga tahun keempat masa jabatan DPR periode 2019-2024, hanya 7,3 persen atau 19 RUU dari 259 RUU yang menjadi target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) lima tahunan tersebut dapat diwujudkan.
Minimnya RUU yang dihasilkan pembentuk undang-undang tersebut tidak membuat undang-undang yang dihasilkan ataupun proses pembahasannya menjadi berkualitas. Dari segi proses dan prosedur pembentukan undang-undang, Pusat Studi Hukum Kebijakan pun mencatat kekurangan utama yang hari ini masih ada, yakni sulitnya publik mengakses informasi yang pada akhirnya berkorelasi dengan minimnya partisipasi publik yang bermakna.
Adanya partisipasi publik yang bermakna, bukan sekadar formalitas dan sosialisasi satu arah, menjadi syarat yang harus ada dalam prosedur pembentukan regulasi. Perintah tersebut tercantum dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menjadi landmark decision bagi pengujian formil ke MK.
Dalam putusan tersebut, MK mensyaratkan terpenuhinya tiga hak masyarakat saat berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan/undang-undang, yaitu hak untuk didengarkan (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan terkait masukannya (right to be explained).
Politik hukum Presiden
Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mempertanyakan politik hukum Presiden dalam legislasi. Sebab, ada begitu banyak produk perundang-undangan yang dibuat tanpa proses partisipasi yang memadai. Menurut Zainal, hal ini tak hanya terjadi pada tahun 2023. Sejak kepemimpinan periode kedua Presiden Joko Widodo, proses legislasi yang minus partisipasi sudah dilakukan.
Sebut saja pembentukan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU No 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dan undang-undang lain yang dipersoalkan baik di ruang publik maupun di Mahkamah Konstitusi.
Khusus pada tahun 2023, ada UU No 6/2023 tentang Penetapan Perppu No 2/2023 tentang Cipta Kerja, UU No 17/2023 tentang Kesehatan, UU Informasi dan Transaksi Elektronik hasil revisi kedua yang bagi masyarakat sipil memuat sejumlah pasal bermasalah, dan lainnya.
UU Penetapan Perppu Cipta Kerja ini dipersoalkan sejumlah pihak (terutama kalangan serikat pekerja) ke MK melalui pengujian formil. Sementara UU Kesehatan saat ini masih dalam sidang pemeriksaan pengujian formil yang diajukan oleh sejumlah organisasi profesi medis.
Baca juga: Ahli: Partisipasi Bermakna Belum Dilaksanakan Dalam Pembuatan Undang-Undang
Catatan paling tajam diberikan Zainal yang akrab dipanggil Uceng tersebut saat Presiden memilih mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Cipta Kerja, yang kemudian disetujui DPR menjadi UU No 6/2023. Perppu tersebut diterbitkan sebagai pelaksanaan putusan MK No 91/2020 yang menggariskan bahwa pembentukan regulasi di DPR harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik. Tak sekadar partisipasi, tetapi MK juga menekankan partisipasi yang bermakna.
Seperti diketahui, MK menyatakan proses pembentukan UU Cipta Kerja bermasalah dan memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk memperbaiki prosedur pembentukan undang-undang tersebut dengan menekankan adanya partisipasi yang bermakna. Waktu dua tahun disediakan MK untuk memperbaiki regulasi tersebut. Namun, alih-alih melaksanakan putusan MK, pemerintah justru menerbitkan perppu.
”Mudah untuk menyimpulkan bahwa menggeser ke perppu adalah cara Presiden untuk menghindari hak yang digariskan ke MK yang mewajibkan partisipasi bermakna (meaningfull participation), plus pada saat yang sama merupakan bentuk pembangkangan pada konstitusionalitas ajudikasi yang diinginkan oleh MK,” ungkap Zainal.
Dalam banyak kasus, lanjutnya, ketidaktaatan konstitusional sering dilakukan pembentuk undang-undang untuk menghindari proses pengambilan keputusan dan/atau pembentukan regulasi yang bersifat prosedural, termasuk prosedur partisipasi. ”Padahal, partisipasi dan proseduralnya ini berkaitan erat dengan prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat itu sendiri,” ujarnya.
Padahal, partisipasi masyarakat dalam pembentukan kebijakan hukum inilah yang membedakannya dengan sebuah negara demokrasi dan negara otokrasi. Semakin kuat partisipasi semakin menunjukkan demokrasi. Akan tetapi, dalam kacamata Zainal, hukum dan pembentukan aturan saat ini seakan-akan hanya diserahkan kepada oligarki dan pemilik kepentingan yang pada akhirnya akan membawa hukum ke arah yang mereka inginkan.
”Itulah sebabnya, partisipasi ditinggalkan dan adopsi pada kepentingan oligarki menjadi besar,” ujarnya.
Peneliti PSHK Violla Reininda menyoroti proses pembahasan sebuah rancangan undang-undang yang kurang akuntabel dan cenderung tertutup. Dokumen-dokumen pendukung, seperti naskah akademik naskah RUU, ataupun daftar inventarisasi masalah (DIM) dalam sebuah pembahasan sebuah RUU, sulit diakses masyarakat.
”Partisipasi publik yang bermakna itu tidak dapat diimplementasikan apabila ruang-ruang untuk melakukan partisipasi ditutup. Misal, ruang untuk memberikan masukan di dalam RDPU (rapat dengar pendapat umum) ataupun aksesibilitas terhadap dokumen di mana hal itu merupakan hal mendasar, tetapi belum bisa diselesaikan,” ungkapnya.
Dokumen-dokumen pendukung, seperti naskah akademik naskah RUU ataupun daftar inventarisasi masalah dalam sebuah pembahasan sebuah RUU, sulit diakses masyarakat.
Dalam praktik berdemokrasi seperti di atas, menjadi tidak mengherankan jika kemudian norma-norma yang dihasilkan pun masih mengancam ruang masyarakat sipil untuk berkontribusi dalam pembuatan kebijakan. Misalnya, masih adanya pasal karet di KUHP baru (UU No 1/2023).
Minusnya partisipasi publik yang bermakna dalam proses pembahasan RUU, menurut Violla, juga tampak pada pembahasan UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, UU No 17/2023 tentang Kesehatan, dan juga UU No 20/2023 tentang Aparatur Sipil Negara. Playbook success story kemunduran pembentukan legislasi terus dipraktikkan oleh Presiden dan DPR. Padahal, MK sudah menggariskan standar-standar pembentukan legislasi yang konstitusional.
Hal tersebut juga dipengaruhi oleh tiadanya kelompok oposisi di DPR, yang mengakibatkan tidak optimalnya fungsi checks and balances para wakil rakyat untuk mengimbangi kekuasaan eksekutif. Begitu pula dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang tidak optimal menjalankan checks and balances kekuasaan DPR.
”Proses dekadensi demokrasi menghasilkan dan mempertahankan aturan yang mempersempit ruang kebebasan masyarakat sipil untuk berkontribusi dalam pembentukan kebijakan,” kata Violla.
Kian suram
Lantas, bagaimana nasib legilasi pada tahun 2024? Perlu diingat, tahun ini merupakan tahun politik yang di dalamnya pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pemilihan kepala daerah digelar. Faktor ini tentu saja akan memengaruhi kerja hukum dan legislasi di tahun ini.
Zainal menilai, selain faktor kemampuan dan kemauan pemerintah, tahun politik dan peralihan kekuasaan dengan kontestasi demokrasi menjejali kemungkinan betapa suramnya dan buramnya kemungkinan di tahun 2024. Di sisi kemauan, ia melihat tidak adanya kemauan dari pemerintah untuk memperbaiki proses legislasi dan hukum di negeri ini. Sementara dari sisi kemampuan, ia pun menilai sulit untuk diharapkan mengingat konsentrasi sudah terpecah untuk kepentingan elektoral.
Baca juga: Lobi Partai Percepat Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Sementara itu, Violla masih merasakan adanya kesempatan yang mungkin bisa diraih masyarakat, yakni dengan memanfaatkan momen transisi atau pergantian kekuasaan melalui pemungutan suara 14 Februari 2024. Dalam kacamata yang optimistis, agenda politik lima tahunan tersebut bisa dipandang sebagai momentum untuk mereformasi praktik berdemokrasi dan juga menegakkan supremasi konstitusi.
Oleh karena itu, berpartisipasi di dalam pemilu, bagi Violla, menjadi sangat penting sebagai upaya memperbaiki praktik berdemokrasi. Salah satunya tip yang dibagikannya adalah memilih kandidat baik untuk pemilu presiden ataupun pemilu legislatif di tingkat nasional yang menunjukkan sifat oposisi.
Persoalannya, adakah saat ini oposisi atau koalisi sejati? Zainal mengingatkan, koalisi atau oposisi baru memang seakan tercipta, tetapi tak dapat dibaca sebagai oposisi sejati. Yang ada saat ini hanyalah oposisi dan koalisi elektoral yang mudah berubah seiring dengan hasil pemilu.
Dalam konteks tersebut, Violla pun menyadarinya. Ia mengetahui bahwa tidak ada jaminan bahwa oposisi yang dipilih tersebut tetap mempertahankan sikap politiknya atau malah nantinya bergabung dengan koalisi yang mempertahankan status quo.
Akan tetapi, setidaknya dengan menggunakan hak pilih, masyarakat sudah berperan aktif dalam menyusun perimbangan siapa yang duduk di kursi eksekutif dan legislatif yang nantinya bertugas mengawasi eksekutif.