Ahli: Partisipasi Bermakna Belum Dilaksanakan Dalam Pembuatan Undang-Undang
MK seharusnya mengawasi proses pembentukan perundang-undangan oleh pemerintah dan DPR melalui kewenangan konstitusionalnya sebagai lembaga yudikatif. Kewenangan yang dimaksud melalui pengujian formil undang-undang.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA,KOMPAS – Pembentuk undang-undang dinilai belum melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengamanatkan adanya partisipasi bermakna atau meaningfull participation dalam penyusunan sebuah regulasi. Dua syarat adanya partisipasi bermakna, yaitu hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk diberi penjelasan, belum juga dipenuhi. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat baru melaksanakan satu syarat saja, yaitu hak untuk didengarkan.
“Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai Undang-Undang Cipta Kerja (putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2022-re) adalah sebuah terobosan yang sangat penting dalam proses partisipasi, karena merupakan upaya yang luar biasa signifikan untuk mendobrak kejumutan yang selama ini terjadi. Namun, sayangnya, tetap tidak ada perubahan apapun yang dilakukan pembuat undang-undang untuk melaksanakan putusan MK tersebut,” kata pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, saat menyampaikan keterangan ahlinya dalam sidang uji formil UU No 13/2022 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), Kamis (17/11/2022). Sidang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman.
Bivitri memberikan ilustrasi yang lebih detail yang dapat menggambarkan tentang tidak adanya perubahan yang dilakukan oleh pembentuk UU untuk mengikuti putusan MK terkait meaningfull participation. Ia menyoroti beredarnya video ketika anggota DPR memarahi salah satu anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP dalam rapat dengar pendapat umum mengenai RKUHP di Komisi III DPR pada 14 November lalu.
“Salah seorang anggota Aliansi Nasional RKUHP dihardik dengan sangat keras oleh pimpinan Komisi III DPR karena menggunakan argumen MK untuk mempertanyakan hak dipertimbangkan dan hak mendapatkan jawaban. Kebetulan pihak yang dihardik dan diomeli adalah salah satu kuasa hukum yang sekarang juga hadir di depan saya,” kata Bivitri.
Menurut Bivitri, MK seharusnya mengawasi proses pembentukan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR melalui kewenangan konstitusionalnya sebagai lembaga yudikatif. Kewenangan yang dimaksud adalah melalui pengujian formil undang-undang.
Khusus mengenai UU No 13/2022 yang tengah diuji formil, Bivitri melihat partisipasi yang dilakukan dalam pembentukan UU tersebut hanya dilaksanakan sebagai pemenuhan data semata. Tidak ada partisipasi kelompok masyarakat terdampak. Hanya ahli-ahli dengan seminar biasa. “Metodenya juga tidak memberikan ruang untuk hak atas partisipasi bermakna. Dan tidak ada partisipasi dalam proses pembahasan, semua (partisipasi) dilakukan dalam tahap penyusunan,” kata Bivitri.
Selain Bivitri, pemohon uji formil UU No 13/2022 juga menghadirkan Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, sebagai ahli. Terkait pelaksanaan tiga hak publik agar partisipasi bermakna terpenuhi, Aan menyebutkan bahwa hal tersebut merupakan kewajiban prosedural yang harus dilalui oleh pembentuk undang-undang. Pemerintah dan DPR wajib mendengarkan masukan publik, mempertimbangkan, dan memberikan penjelasan atas masukan yang diberikan tersebut.
“Itu kewajiban prosedural yang harus dipenuhi dalam suatu proses pembentukan undang-undang. Tetapi kemudian, apakah isi dari partisipasinya itu atau isi dari pendapat masyarakat itu diterima atau tidak, tidak merupakan kewajiban bagi pembentuk UU untuk menerima. Jadi, pembentuk UU dalam kapasitasnya, bisa menerima atau menolak. Tetapi yang harus dilakukan oleh pembentuk UU adalah memberikan hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk diberi penjelasan. Perkara isinya ditolak, yang penting sudah diberikan penjelasan,” kata dia.
Dalam kaitannya dengan proses pembentukan UU No 13/2022, Aan tidak melihat adanya proses memberikan penjelasan terkait masukan publik sehingga ia pun mempertanyakan apakah masukan publik juga dipertimbangkan.
Aan juga mengurai lebih jauh tentang makna meaningfull participation dalam pembentukan undang-undang. Menurut dia, putusan MK Nomor 91/2022 menyebutkan bahwa partisipasi publik diperuntukkan bagi kelompok masyarakat yang terdampak atau kelompok masyarakat yang memiliki perhatian (concern) atas suatu hal yang dibahas dalam rancangan undang-undang tersebut.
Khusus terkait dengan UU No 13/2022, ada kesalahan subyek yang diundang pembentuk undang-undang yang dilibatkan. Sebab, pembentuk undang-undang seharusnya mengundang dan mendengarkan ahli di bidang hukum tata negara, khususnya ilmu perundang-undangan atau legislative drafting. Akan tetapi, berdasarkan data yang disampaikan oleh pembentuk undang-undang, yang diundang untuk didengarkan keterangannya dalam proses pembentukan UU itu adalah ahli hukum pidana, ahli hukum agraria, dan lainnya.
Pengujian formil UU No 13/2022 diajukan oleh Direktur Setara Institute Ismail Hasani, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Yayasan Bantuan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan sejumlah warga lainnya.
Mereka mempersoalkan proses pembentukan UU No 13/2022 yang tidak sesuai dengan amanat MK tentang perlunya partisipasi bermakna dan kesalahan pemerintah dalam menunjuk pihak yang menjadi leading sector dalam proses pembahasan RUU tersebut, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Padahal, UU yang dibahas terkait dengan tata cara pembentukan aturan perundang-undangan yang seharusnya menjadi urusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia.
Sidang pada Kamis ini merupakan sidang terakhir sebelum MK menjatuhkan putusan apakan proses pembentukan UU No 13/2022 konstitusional atau tidak.