Lobi Partai Percepat Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pengesahan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Kamis ini, ditunda. Namun, berkat berbagai lobi, delapan dari sembilan fraksi menerima DIM yang diajukan pemerintah. Pengesahan pun tinggal menunggu waktu.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Partai politik menggencarkan lobi-lobi untuk meloloskan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Mayoritas fraksi di DPR yang semula menolak substansi pengubahan undang-undang tersebut tiba-tiba satu suara berkat arahan partai. Langkah tersebut dikritik karena semakin menunjukkan proses legislasi yang sarat kepentingan tertentu.
Proses pembahasan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP) oleh Panitia Kerja (Panja) Rancangan UU (RUU) PPP tuntas pada Rabu (13/4/2022) malam. Badan Legislasi (Baleg) DPR dan pemerintah sepakat untuk membawanya ke pembicaraan tingkat II di paripurna untuk disetujui sebagai UU. ”Baleg sudah bersurat (kepada pimpinan DPR) untuk mengagendakan (di paripurna),” kata Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Gerindra Supratman Andi Agtas yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (14/4).
Supratman menambahkan, secara substansi terdapat tiga perubahan yang disepakati DPR dan pemerintah. Pertama, pemindahan kewenangan pengundangan undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan presiden, dari Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) ke Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg). Disepakati juga bahwa pihak yang mewakili pemerintah dalam sidang Mahkamah Konstitusi tidak hanya Kemenkumham, tetapi juga didampingi oleh kementerian teknis terkait UU yang dibahas.
Selain itu, disepakati pula bahwa koreksi redaksional terhadap sebuah RUU masih bisa dilakukan meski sudah disahkan sebagai UU dalam rapat paripurna DPR. Meskipun demikian, ia menjamin bahwa mekanisme ini hanya berlaku untuk perbaikan tata bahasa, bukan substansi. Oleh karena itu, ia mengklaim tidak akan ada pasal-pasal yang akan diselundupkan dalam tahapan tersebut. ”Pasti. Dari dulu penyelundupan pasal yang tidak diputuskan di panja itu dilarang,” ujarnya.
Ketua Panja RUU PPP dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi menambahkan, sembilan fraksi yang ada di panja semula menolak daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diajukan pemerintah. Mereka berpandangan bahwa kewenangan pengundangan semestinya tetap berada pada Kemenkumham, bukan Kemensetneg.
Akan tetapi, dalam proses pembahasan terjadi berbagai lobi untuk menyepakati DIM yang diajukan pemerintah. Termasuk dari partai politik (parpol).
”Jadi DPR itu semuanya awalnya dalam posisi menolak (DIM yang diajukan pemerintah). Tetapi, kan, partai koalisi mayoritas ya. Kalau sudah arahan dari partai, fraksi sebagai perpanjangan tangan dari partai, ya, ikut arahan partai,” kata Baidowi.
Anggota Panja RUU PPP dari Fraksi Nasdem Taufik Basari mengatakan, dalam pembahasan, ia merupakan salah satu yang terus bertahan dalam menolak DIM pemerintah. Khususnya terkait pemindahan kewenangan pengundangan dari Kemenkumham ke Kemensetneg. ”Namun, saya menghormati keputusan bersama yang sudah diambil untuk menyetujui DIM dari pemerintah,” katanya.
Jadi DPR itu semuanya awalnya dalam posisi menolak (DIM yang diajukan pemerintah). Tetapi, kan, partai koalisi mayoritas ya. Kalau sudah arahan dari partai, fraksi sebagai perpanjangan tangan dari partai, ya, ikut arahan partai. Baidowi
Setelah pembahasan yang diwarnai lobi dan perdebatan alot, delapan dari sembilan fraksi di Panja RUU PPP menyepakati revisi dalam rapat pleno tingkat I. Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menolak RUU PPP untuk dibawa ke paripurna. Alasannya, pembahasan RUU PPP terlalu tergesa-gesa, bahkan seperti kejar tayang untuk segera disahkan.
Belum disahkan
Meski proses pembahasan sudah tuntas dan Baleg DPR telah mengirim surat kepada pimpinan DPR untuk mengagendakan pengesahannya di paripurna, namun RUU tersebut tidak ada dalam daftar agenda Rapat Paripurna Penutupan Masa Persidangan IV 2021—2022, pada Kamis.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad saat membuka rapat mengatakan, pimpinan DPR telah menerima surat dari Baleg tertanggal 13 April 2022 tentang RUU tentang Perubahan Kedua UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang PPP. Surat yang dimaksud diterima pada 13 April. ”Oleh karena itu, kami akan rapim (rapat pimpinan) dan bamuskan (badan musyawarah) pada masa sidang berikutnya,” kata Dasco.
Kompas telah menanyakan alasan penundaan pengesahan kepada Dasco melalui pesan singkat di Whatsapp. Akan tetapi hingga Kamis malam, ia tidak menjawabnya meski pesan telah dibaca.
Lebih lanjut, disampaikan Baidowi, penundaan pengesahan RUU PPP menjadi UU sudah bisa ia prediksi. Sebab, pada rapat Bamus DPR sebelumnya, RUU PPP sudah dijadwalkan untuk disahkan dalam paripurna pada Selasa (12/4) jika sudah selesai pembahasannya di tingkat I pada Senin (11/4). Sementara itu, paripurna penutupan masa sidang hanya memuat agenda tunggal, yakni pidato Ketua DPR Puan Maharani. ”Jadi, (pengesahan) soal waktu saja,” katanya.
Selain itu, menurut Baidowi, penundaan pengesahan juga menunjukkan bahwa tidak ada pemaksaan agar RUU PPP segera disahkan menjadi UU. Pembahasan dalam waktu cepat semata untuk mempercepat kerja Baleg sebelum masa sidang berakhir.
Sarat kepentingan
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Feri Amsari menilai, sejak awal proses revisi UU PPP sarat dengan kepentingan untuk menjadi dasar perbaikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa proses UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan sehingga pemerintah dan DPR harus memperbaiki tata cara pembentukan UU Cipta Kerja. Untuk kepentingan tersebut, Feri menduga, ada sejumlah cara inkonstitusional yang ditempuh.
Pertama, menunjuk Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan revisi UU PPP. Padahal, itu tidak sesuai dengan konteks pembentukan peraturan perundang-undangan yang semestinya dikomandoi Kemenkumham. Pembahasan juga terkesan tergesa-gesa dan mengabaikan partisipasi publik. Meski sedang diubah, semestinya aturan yang terdapat di UU PPP itu tetap dipatuhi.
”Revisi UU PPP ini sarat kepentingan karena untuk meloloskan itu, berbagai cara dilakukan hingga memunculkan logika pembentukan peraturan perundang-undangan yang aneh. Misalnya, Kemensetneg memiliki kewenangan pengundangan, itu merupakan sesat pikir karena kita sudah punya Kemenkumham,” kata Feri.
Sejak awal proses revisi UU PPP sarat dengan kepentingan untuk menjadi dasar perbaikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Feri Amsari
Menurut dia, harus ada perbaikan kesadaran wawasan konstitusional dan ketatanegaraan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan. ”Kalau prosedur pembentukan perundang-undangan hanya dibuat untuk kepentingan tertentu, maka suatu saat UU ini akan mempersulit tidak hanya lembaga, tetapi juga seluruh warga negara,” ujar Feri.