Lama Mengabdi Jadi Alasan Hukuman Hakim Agung Nonaktif Sudrajad Dikorting
Dengan pertimbangan sudah 38 tahun mengabdi di MA, Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati dikurangi hukumannya 1 tahun. Hukuman bagi terdakwa penerimaan suap untuk pengurusan perkara di MA itu pun jadi 7 tahun.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Atas pertimbangan telah lama mengabdi di Mahkamah Agung, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Bandung menjatuhkan putusan mengurangi hukuman Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati selama satu tahun. Dengan putusan itu, hukuman untuk terdakwa kasus penerimaan suap untuk pengurusan perkara di MA itu berkurang dari delapan tahun menjadi tujuh tahun penjara.
Dengan adanya putusan tersebut, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta komitmen bersama dalam memberantas korupsi. Untuk selanjutnya, KPK akan mempelajari putusan tersebut untuk mengambil langkah hukum berikutnya.
Putusan pengurangan hukuman itu dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Muzaini Achmad dengan didampingi Agus Suwargi dan Lufsiana Abdullah selaku hakim anggota di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi (PT) Bandung, Jawa Barat, Senin (31/7/2023).
Putusan pengurangan hukuman itu dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Muzaini Achmad dengan didampingi Agus Suwargi dan Lufsiana Abdullah selaku hakim anggota.
”Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Sudrajat Dimyati selama tujuh tahun serta pidana denda Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama tiga bulan,” demikian cuplikan putusan yang dikutip dari salinan putusan PT Bandung, Selasa (1/8/2023).
Dengan demikian, putusan Nomor 21/PID.SUS-TPK/2023/PT BDG tersebut mengubah putusan di pengadilan tingkat pertama, yakni Putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Bandung Nomor 23/Pid.Sus-TPK/2023/PN.Bdg tanggal 30 Mei 2023.
Di pengadilan tingkat pertama, Pengadilan Tipikor PN Bandung memvonis Sudrajad dengan hukuman pidana penjara selama 8 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan penjara. Majelis hakim yang diketuai Yoserizal berkeyakinan Sudrajad menerima suap 80.000 dollar Singapura dan menikmati hasil suap dalam kasus pengurusan perkara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana di Mahkamah Agung (MA) tersebut. Hukuman tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK, yakni pidana selama 13 tahun, denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan, dan membayar uang pengganti 80.000 dollar Singapura.
Adapun salah satu pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tinggi Tipikor Bandung mengurangi hukuman Sudrajad adalah masa pengabdian terdakwa kepada negara di MA selama 38 tahun. Kariernya dimulai dari pegawai negeri sipil (PNS) hakim yang dilanjutkan menduduki jabatan beberapa kali sebagai Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi, hingga akhirnya menjabat sebagai hakim agung di MA.
Negara, dalam hal ini MA, tidak bisa mengabaikan masa pengabdian terdakwa dalam melayani masyarakat pencari keadilan dan kesetiaan pengabdian pada negara. Dalam kurun waktu pengabdian tersebut, terdakwa belum pernah dijatuhi hukuman disiplin ataupun hukuman pidana.
Majelis hakim tingkat banding ini menyadari bahwa terdakwa telah melakukan kesalahan. Karena itu, terdakwa harus dipidana, tetapi lamanya hukuman dikurangi karena masa pengabdian terdakwa pada negara, dalam hal ini MA.
Butuh upaya bersama
Menanggapi pengurangan hukuman tersebut, Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan, upaya pemberantasan korupsi butuh komitmen bersama dari hulu hingga hilir. Ia menegaskan, aspek penindakan merupakan cara penjeraan bagi koruptor dan penyelenggara negara lain agar bersih dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangannya.
Menanggapi pengurangan hukuman tersebut, Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan, upaya pemberantasan korupsi butuh komitmen bersama dari hulu hingga hilir.
”Sekalipun (demikian) kami hargai putusan lembaga peradilan tersebut, kami akan segera pelajari putusan lengkapnya sebelum KPK mengambil langkah hukum berikutnya,” kata Ali.
Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (Leip) Alfeus Jebabun mengatakan, putusan menjadi diskresi hakim. Demikian halnya terhadap pemotongan hukuman dengan pertimbangan pengabdian selama 38 tahun sebagai alasan yang meringankan.
Akan tetapi, kata Alfeus, perlu dipertimbangkan juga alasan yang memberatkan seperti Sudrajat merupakan penegak hukum, apalagi seorang hakim agung. ”Mahkamah Agung (hakim agung) merupakan benteng terakhir kita sebagai pencari keadilan dalam memperjuangkan keadilan. Kalau benteng terakhir juga roboh karena korupsi, apa yang mesti kita harapkan lagi?” kata Alfeus.
Menurut Alfeus, alasan yang memberatkan tersebut perlu dipertimbangkan oleh hakim. Ia mengingatkan, penyakit di proses peradilan, terutama vonis hakim, selalu terjadi disparitas jumlah hukuman. Menurut dia, masing-masing hakim masih menjatuhkan jumlah hukuman sesuka hati.