Hakim Agung Nonaktif Divonis Bebas, Komitmen Pemberantasan Korupsi Peradilan Dinilai Lemah
Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh mendapat vonis bebas dalam kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA. Sementara itu, Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati mendapat pengurangan hukuman 1 tahun.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
Hakim Agung Gazalba Saleh mengenakan rompi tahanan dan digiring petugas menuju mobil tahanan setelah diperiksa dan dinyatakan menjadi tersangka kasus suap di Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, Kamis (8/12/2022).
BANDUNG, KOMPAS — Vonis bebas Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh dan pengurangan hukuman Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati dalam kasus dugaan suap untuk pengurusan perkara di Mahkamah Agung dinilai menunjukkan masih lemahnya komitmen institusi peradilan pada pemberantasan korupsi.
Gazalba divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Jawa Barat, Selasa (1/8/2023). Ia dinyatakan majelis hakim yang dipimpin Ketua Pengadilan Negeri Bandung Yoserizal dengan hakim anggota T Benny Eko Supriyadi dan Jeffry Yefta Sinaga tak terbukti bersalah melakukan korupsi. Sebelumnya, pada Kamis (13/7/2023), Gazalba dituntut 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara.
Sementara itu, hukuman Sudrajad Dimyati dikurangi dari 8 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan penjara menjadi 7 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Bandung. Masa pengabdian Sudrajad di MA selama 38 tahun menjadi alasan majelis hakim mengurangi hukuman.
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi, Arif Rahman, menyatakan, vonis bebas diberikan karena majelis hakim menilai tak cukup bukti untuk menjerat terdakwa Gazalba. Namun, pihaknya akan mengajukan kasasi ke MA karena meyakini alat bukti yang diberikan mampu menjerat Gazalba.
”Bukti dan petunjuk yang kami temukan kuat. Namun, majelis hakim menilai lain. Kami akan kupas dan perdalam lagi dalam memori kasasi kami,” ujarnya.
Dalam kasus ini, jaksa KPK mengumpulkan ratusan alat bukti dan menghadirkan 19 saksi. Salah satu alat bukti yang dianggap kuat adalah uang tunai 20.000 dollar Singapura yang diduga terkait kasus suap perkara.
Kasus suap tersebut terkait perkara kasasi pidana Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana dengan nomor 326 K/Pid/2022 dan Gazalba menjadi majelis hakim dalam kasus tersebut. Namun, saat pemaparan saksi dan alat bukti, Gazalba selalu menyangkal terlibat dan menerima suap tersebut.
Keterangan serupa didapatkan dari para saksi yang menyebut uang suap tersebut dinikmati pribadi. Bahkan, saksi Prasetio Nugroho yang menerima 20.000 dollar Singapura tersebut menyatakan uang suap ini tidak diterima Gazalba dan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Meski demikian, jaksa penuntut meyakini Gazalba terlibat dalam kasus suap tersebut. Bukti percakapan dan penelusuran dana diyakini sampai ke tangan Gazalba dan berdampak pada putusan yang mengabulkan kasasi sehingga Budiman Gandi Suparman sebagai Ketua KSP Intidana bisa dipenjara.
”Kami yakin ada persesuaian dari petunjuk dan terus kami hubungkan dengan keterangan saksi. Wajar terdakwa tak mengaku dan kami hargai putusan hakim. Namun, karena tak sejalan dengan tuntutan, masih ada upaya hukum lain dan bukti-bukti akan kami perdalam lagi,” ujarnya.
Masyarakat pesimistis
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung Nandang Sambas menyayangkan vonis bebas yang dijatuhkan hakim terhadap Gazalba Saleh. Dia menilai, para jaksa telah memiliki alat bukti yang kuat sehingga meyakini terdakwa melakukan kesalahan dan terlibat tindak pidana korupsi.
Putusan bebas, lanjut Nandang, berdampak pada masyarakat yang pesimistis terhadap upaya pemberantasan korupsi. Apalagi, saat ini dia menilai tingkat kepercayaan publik terhadap KPK terus menurun.
Namun, Nandang melihat konsistensi penegakan hukum oleh KPK melalui penetapan tersangka tidak sembarangan. Dia menganggap para hakim juga perlu dipanggil oleh Komisi Yudisial agar jelas dan terang benderang.
Menurut Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia Julius Ibrani, bebasnya Gazalba dan berkurangnya hukuman Sudrajad menunjukkan komitmen pemberantasan korupsi yang masih lemah di institusi peradilan. Ia menegaskan, tak ada pembenahan dan perubahan di institusi peradilan.
Vonis bebas terhadap Gazalba dipertanyakan. Alasannya, terdakwa lain divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam kasus ini.
Menurut Julius, selama ini tak ada mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap putusan oleh Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial. Akibatnya, disparitas hukuman menjadi celah yang dimanfaatkan hakim karena tak ada yang mengoreksi putusan.
Ia mendorong agar semua putusan yang bermasalah bisa dikoreksi yang membawa pada pemeriksaan etik, profesionalisme, dan penjatuhan sanksi. Hakim yang dinyatakan bersalah dihukum tak boleh memeriksa perkara dalam jangka waktu tertentu.