Hakim Agung Nonaktif Gazalba Saleh Divonis Bebas, Jaksa Bakal Ajukan Kasasi
Vonis bebas terhadap Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh berpotensi membuat masyarakat kian pesimistis terhadap pemberantasan korupsi. Jaksa penuntut umum menyatakan bakal mengajukan kasasi terkait vonis bebas itu.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·4 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh divonis bebas terkait kasus suap di lingkungan Mahkamah Agung. Menanggapi vonis tersebut, jaksa penuntut umum akan mengajukan kasasi karena menganggap bukti-bukti yang dikumpulkan cukup untuk menjerat Gazalba.
Sidang putusan terkait kasus yang menjerat Gazalba itu dilaksanakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung pada Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat, Selasa (1/8/2023). Majelis hakim dari sidang yang dilaksanakan sekitar pukul 13.00 hingga 14.15 ini dipimpin Ketua Pengadilan Negeri Bandung Yoserizal dengan hakim anggota T Benny Eko Supriyadi dan Jeffry Yefta Sinaga.
Dalam amar putusan yang tercantum di Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Bandung, Gazalba Saleh dinyatakan bebas dari dakwaan. Majelis hakim menyatakan, Gazalba tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan alternatif pertama maupun dakwaan alternatif kedua.
Oleh karena itu, majelis hakim juga memutuskan Gazalba dibebaskan dari tahanan. Hak-hak Gazalba dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya juga dipulihkan.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Gazalba dengan hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Gazalba dinilai jaksa terlibat dalam kasus suap di lingkungan Mahkamah Agung.
JPU KPK Arif Rahman menyatakan, vonis bebas diberikan karena majelis hakim menilai tidak cukup bukti untuk menjerat terdakwa dalam kasus ini. Namun, jaksa tetap akan mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung karena masih meyakini alat bukti yang diberikan mampu menjerat Gazalba.
”Bukti dan petunjuk yang kami temukan kuat untuk membuktikan dakwaan kami. Namun, majelis hakim menilai lain. Kami akan kupas dan perdalam lagi dalam memori kasasi kami,” ujar Arif saat ditemui seusai persidangan.
Dalam kasus ini, jaksa KPK mengumpulkan ratusan alat bukti dan menghadirkan 19 saksi. Salah satu alat bukti yang dianggap kuat adalah uang tunai 20.000 dollar Singapura yang diduga terkait kasus suap perkara di lingkungan Mahkamah Agung.
Kasus suap tersebut terkait perkara kasasi kasus pidana Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Gazalba menjadi majelis hakim dalam kasus tersebut. Namun, dalam persidangan, Gazalba selalu menyangkal terlibat dan menerima suap tersebut.
Saksi Prasetio Nugroho, yang saat itu bertugas sebagai asisten Gazalba, juga menyebut bahwa uang 20.000 dollar Singapura yang diterimanya hanya digunakan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Dalam sidang saksi pada 12 Juni silam, Prasetio mengaku menggunakan nama Gazalba untuk meyakinkan Redhy Novarisza yang menjembatani pemberian suap. Prasetio juga mengaku uang itu hanya diterima oleh dirinya, lalu dia gunakan untuk membayar utang dan keperluan lain.
Meski demikian, JPU KPK meyakini Gazalba terlibat dalam kasus suap tersebut. Berdasarkan bukti percakapan dan penelusuran aliran dana, suap itu diyakini sampai ke tangan Gazalba dan berdampak pada putusan yang diambilnya.
”Kami meyakini ada persesuaian dari petunjuk dan terus kami hubungkan dengan keterangan saksi. Wajar terdakwa tidak mengaku dan kami hargai putusan hakim. Namun, karena tidak sejalan dengan tuntutan, masih ada upaya hukum lain dan bukti-bukti akan kami perdalam lagi,” ungkap Arif.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Bandung Nandang Sambas menyayangkan vonis bebas yang dijatuhkan hakim terhadap Gazalba Saleh. Dia menilai, jaksa telah memiliki alat bukti yang kuat sehingga meyakini terdakwa melakukan kesalahan dan terlibat tindak pidana korupsi.
Putusan bebas tersebut, kata Nandang, dikhawatirkan membuat masyarakat kian pesimistis terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Apalagi, dia menilai, saat ini tingkat kepercayaan publik terhadap KPK sebagai lembaga antirasuah terus menurun.
Bukti dan petunjuk yang kami temukan kuat untuk membuktikan dakwaan kami. Namun, majelis hakim menilai lain.
Meski demikian, Nandang masih meyakini KPK tidak sembarangan dalam menetapkan tersangka. Oleh karena itu, dia menilai, para hakim yang menangani kasus ini dipanggil oleh Komisi Yudisial (KY) agar masalah ini menjadi jelas.
”Terlepas adanya tudingan-tudingan miring terkait menurunnya kepercayaan dan kualitas, saya yakin KPK masih berpegang pada prinsip dan tupoksi (tugas pokok dan fungsi) penyidikan terkait ditemukannya dua alat bukti. Tampaknya para hakim perlu diperiksa KY agar memberikan rasa kepastian pada masyarakat, terutama untuk menilai hakim yang memutus perkara ini,” ujarnya.