KPK Nilai Kasus Gratifikasi dan Cuci Uang Andhi akibat Lemahnya Pengawasan
”Pegawai yang secara normatif tidak mungkin bisa menghimpun kekayaan yang sedemikian besar dan kami meyakini tidak mungkin rekan sejawat, atasan, atau pimpinannya tidak tahu,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi menahan bekas Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Makassar, Sulawesi Selatan, Andhi Pramono. Andhi diduga menerima gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang terkait pengurusan barang ekspor-impor pada kantor pelayanan bea dan cukai Makassar.
”Diawali dengan adanya temuan internal KPK dalam data LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara) yang diduga tidak sesuai dengan profil, KPK kemudian melakukan penyelidikan untuk menemukan adanya dugaan peristiwa pidana korupsi. Selanjutnya, berdasarkan kecukupan bukti permulaan, kemudian naik ke tahap penyidikan dengan menetapkan dan mengumumkan tersangka (Andhi Pramono),” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (7/7/2023).
Ia menjelaskan, pada 22 Januari 2010, Andhi diangkat sebagai penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) pada Kementerian Keuangan. Dalam rentang waktu antara 2012 sampai 2022, Andhi dalam jabatannya selaku PPNS sekaligus pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diduga memanfaatkan posisi dan jabatannya untuk bertindak sebagai broker (perantara). Andhi juga memberikan rekomendasi kepada para pengusaha yang bergerak di bidang ekspor-impor agar dipermudah dalam melakukan aktivitas bisnisnya.
Sebagai broker, Andhi diduga menghubungkan antarimportir untuk mencarikan barang logistik yang dikirim dari Singapura dan Malaysia menuju Vietnam, Thailand, Filipina, dan Kamboja. Dari rekomendasi dan tindakan broker yang dilakukannya, Andhi diduga menerima sejumlah uang dalam bentuk fee (imbalan).
Setiap rekomendasi yang dibuat Andhi diduga menyalahi aturan kepabeanan. Pengusaha yang mendapatkan izin ekspor-impor diduga tidak berkompeten. ”Siasat yang dilakukan AP (Andhi) untuk menerima fee, di antaranya melalui transfer uang ke beberapa rekening bank dari pihak-pihak kepercayaannya yang merupakan pengusaha ekspor-impor dan pengurusan jasa kepabeanan dengan bertindak sebagai nominee (perantara),” kata Alexander.
Alexander mengatakan, tindakan Andhi tersebut diduga sebagai upaya menyembunyikan dan menyamarkan identitasnya sebagai pengguna uang untuk membelanjakan, menempatkan, ataupun menukarkan dengan mata uang lain. Pada proses penyidikan, ditemukan transaksi keuangan layanan perbankan melalui rekening Andhi dan ibu mertuanya.
Andhi diduga menerima gratifikasi sekitar Rp 28 miliar dan masih terus ditelusuri lebih lanjut. Ia diduga membelanjakan dan mentransfer uang hasil korupsi tersebut untuk keperluan pribadi dan keluarganya. Di antaranya, dalam kurun waktu 2021 dan 2022 membeli berlian senilai Rp 652 juta, polis asuransi senilai Rp 1 miliar, dan rumah di Pejaten, Jakarta Selatan, senilai Rp 20 miliar.
Alexander mengingatkan, Andhi merupakan tersangka kedua setelah bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, yang ditangani KPK setelah terungkap dalam pemberitaan yang viral. Keduanya mendapatkan sorotan dari publik karena gaya hidupnya yang mewah.
Menurut Alexander, dugaan korupsi yang dilakukan dua tersangka tersebut terjadi akibat sistem pengawasan internal di kedua instansi yang lemah. Jika pengawasan itu berjalan dengan baik, korupsi bisa dicegah sejak awal.
”Jadi, seorang pegawai yang secara normatif tidak mungkin bisa menghimpun kekayaan yang sedemikian besar dan kami meyakini tidak mungkin rekan sejawat, atasan, atau pimpinannya tidak tahu,” kata Alexander.
Ia menjelaskan, salah satu penanda terjadinya suatu korupsi bisa dilihat dari gaya hidup. Jika seorang aparatur sipil negara (ASN) atau penyelenggara negara bisa memiliki rumah seharga Rp 20 miliar, tentu menjadi pertanyaan besar dari mana mendapatkan uang untuk membeli rumah tersebut.
Dari pemetaan KPK, masih banyak pejabat yang LHKPN-nya tidak mencerminkan seorang ASN. Beberapa pejabat instansi strategis, seperti Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, serta aparat penegak hukum sangat rawan dalam penggunaan kewenangan yang dimiliki.
KPK juga menyoroti ketidakpatuhan penyelenggara negara dalam melaporkan LHKPN. Alexander berharap pimpinan instansi menegur atau mencopot pejabat yang tidak patuh dalam menyampaikan LHKPN. Alhasil, LHKPN tidak dilihat hanya sekadar laporan, tetapi kewajiban dan bentuk transparansi pejabat publik.
Seusai konferensi pers, Andhi hanya tertunduk menghindari sorotan kamera wartawan yang tertuju kepadanya. Ia juga tidak mau menjawab pertanyaan wartawan.