KPU Tiadakan LPSDK, Masyarakat Sipil Minta Bawaslu Turun Tangan
Bawaslu diminta memastikan KPU mengatur kewajiban LPSDK bagi peserta Pemilu 2024 dalam Rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye. LPSDK penting untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Masyarakat Sipil Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas mendesak Badan Pengawas Pemilu menerbitkan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum agar mengatur kewajiban Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye atau LPSDK bagi peserta Pemilu 2024. Peniadaan kewajiban LPSDK dalam Rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye merugikan pemilih, bahkan mengakibatkan pengawasan terhadap dana kampanye tidak optimal.
Desakan tersebut disampaikan Masyarakat Sipil Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Senin (19/6/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Sebanyak tujuh perwakilan masyarakat sipil, antara lain mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Ida Budiarti; mantan anggota Bawaslu, Wahidah Suaib; pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini; serta pendiri Institut Perempuan, Valentina Sagala, diterima oleh Ketua Bawaslu Rahmat Bagja. Pertemuan berlangsung tertutup.
Seusai audiensi, Valentina mengatakan, Bawaslu harus memastikan KPU mengatur kewajiban LPSDK dalam Rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye. Sebagai lembaga pengawas, Bawaslu harusnya bisa memastikan aturan-aturan yang dibuat KPU sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemilu. Salah satunya mengatur kewajiban LPSDK sebagai bagian meningkatkan transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu dalam menerima dana-dana untuk kampanye.
”LPSDK adalah salah satu contoh kebijakan KPU sejak beberapa pemilu lalu yang sangat baik untuk mencegah korupsi dan masuknya dana ilegal dalam kampanye. Kalau dihapuskan, justru merugikan pemilih dan menambah buruk indeks persepsi korupsi yang terus menurun,” ujar Valentina.
LPSDK sudah diterapkan saat Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Kewajiban itu juga diimplementasikan untuk Pilkada 2015, 2017, 2018, dan 2020.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR, Senin (29/5/2023), KPU menyebutkan, ada tiga pertimbangan dihapusnya LPSDK. Pertama, LPSDK tak diatur dalam Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu. Selain itu, masa kampanye yang singkat selama 75 hari mengakibatkan sulitnya menempatkan jadwal penyampaian LPSDK. Adapun muatan informasi LPSDK sudah tercantum dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) serta Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Menurut Valentina, terobosan hukum yang dilakukan anggota KPU pada periode sebelumnya harusnya dilanjutkan. Sebab, LPSDK menjadi salah satu instrumen bagi pemilih untuk mempertimbangkan pilihannya. Jika dihilangkan, publik menjadi kesulitan memantau dana kampanye peserta pemilu selama tahapan kampanye berlangsung. ”Bawaslu harus mendorong rapat tripartit antara KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk memastikan KPU mengatur kewajiban peserta pemilu menyusun dan melaporkan LPSDK, disertai pengawasan oleh Bawaslu,” tuturnya.
Menurut Titi, masyarakat sipil menaruh harapan kepada Bawaslu untuk memastikan KPU mengembalikan pengaturan LPSDK. Sebagai lembaga pengawas pemilu, Bawaslu harusnya merekomendasikan pengaturan LPSDK kepada KPU. Sebab, pengawasan terhadap dana kampanye bisa terhambat jika peserta pemilu tidak diwajibkan membuat LPSDK. Instrumen pengawasan dana kampanye menjadi sangat terbatas karena hanya ada laporan di awal melalui LADK dan di akhir tahapan melalui LPPDK.
Rekomendasi Bawaslu kepada KPU jangan diartikan sebagai bentuk intervensi kepada sesama penyelenggara pemilu. Namun, rekomendasi menjadi bentuk pencegahan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki Bawaslu untuk menciptakan pemilu yang berintegritas.
”Justru menjadi problematik ketika Bawaslu tidak merekomendasikan pengaturan LPSDK di dalam peraturan KPU, karena itu akan melemahkan tugas-tugas Bawaslu di dalam melakukan pengawasan terhadap pelaporan dana kampanye,” katanya.
Wahidah mengatakan, LPSDK seharusnya diatur dalam PKPU. Sebab dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu mengatur tentang penerimaan dan batasan sumbangan dana kampanye. Oleh karena itu, pengawasannya juga harus dibuat melalui PKPU dan tidak cukup hanya melalui petunjuk teknis.
”Laporan di awal dan akhir masa kampanye tidak bisa mencerminkan realitas yang ada. Harus ada LPSDK yang dibuat di tengah tahapan kampanye sehingga publik bisa mengawasi aliran dana kampanye peserta pemilu sesuai aturan,” tambah Wahidah.
Ida mengingatkan, KPU harus bekerja profesional. Pelaporan dana kampanye mestinya diatur dalam PKPU, bukan hanya di petunjuk teknis. Sebab, juknis hanya aturan turunan dari PKPU. Jika PKPU tidak mengatur pelaporan dana kampanye, kekuatan petunjuk teknis sangat lemah dan berpotensi tidak dilaksanakan oleh peserta pemilu karena hanya bersifat imbauan.
”Kontradiksi pengaturan di PKPU dan juknis bisa menimbulkan konflik dengan peserta pemilu,” katanya.
Secara terpisah, anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, rancangan PKPU tentang dana kampanye telah masuk dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Dalam rancangan PKPU tersebut, tetap tidak ada pengaturan LPSDK sebagaimana hasil konsultasi dengan Komisi II DPR. Sebagai gantinya, KPU akan meminta peserta pemilu menyampaikan laporan harian penerimaan dana kampanye dalam Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam).
”Laporan harian justru lebih update dan lebih maju dibandingkan LPSDK yang dilaporkan di tengah tahapan kampanye,” ujarnya.