Penghapusan Laporan Sumbangan Dana Kampanye Dinilai Jadi Langkah Mundur
KPU kembali diminta tetap mewajibkan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye di Pemilu 2024. Adapun KPU berjanji membuka akses informasi dari Sistem Informasi Dana Kampanye.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI, YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas menuntut Komisi Pemilihan Umum atau KPU untuk tetap memasukkan kewajiban menyusun dan menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye dalam Peraturan KPU tentang Dana Kampanye. Penghapusan kewajiban tersebut dinilai sebagai bentuk kemunduran transparansi dan akuntabilitas.
Perwakilan Masyarakat Indonesia Antikorupsi untuk Pemilu Berintegritas, Selasa (6/6/2023), mendatangi Kantor KPU di Jakarta. Mereka menyampaikan sikap terkait dengan kebijakan KPU menghilangkan kewajiban menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) di Pemilu 2024. Adapun Koalisi ini terdiri atas 144 organisasi dari beragam latar belakang. Beberapa di antaranya, kelompok pegiat pemilu, anak muda, perempuan, dan pegiat antikorupsi dari berbagai provinsi di Indonesia.
Sejumlah perwakilan koalisi masyarakat sipil itu ditemui oleh anggota KPU RI Idham Holik. Pertemuan berlangsung tertutup. Seusai pertemuan, anggota Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia, Judhi Kristantini menyampaikan bahwa mereka khawatir bahwa kebijakan KPU menghilangkan kewajiban pelaporan LPSDK dapat menghancurkan pendidikan politik yang selama ini diupayakan, khususnya tentang transparansi dan akuntabilitas. Padahal, kedua unsur itu jadi dasar penting dalam kehidupan berpolitik dan demokrasi bangsa Indonesia, yaitu integritas.
”Ini akan merupakan kemunduran dari proses pendidikan kita sebagai bangsa terhadap transparansi dan akuntabilitas,” kata Judhi.
Adapun, LPSDK sudah diterapkan sejak Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Kewajiban itu juga diimplementasikan untuk Pilkada 2015, 2017, 2018, dan 2020. Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR, Senin (29/5/2023), KPU menyebutkan, ada tiga pertimbangan dihapusnya LPSDK. Pertama, LPSDK tak diatur dalam Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu. Selain itu, masa kampanye yang singkat selama 75 hari mengakibatkan sulitnya menempatkan jadwal penyampaian LPSDK. Adapun muatan informasi LPSDK sudah tercantum dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) serta Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Anggota koalisi lainnya, Valentina Sagala menambahkan, LPSDK seharusnya tak dihapus, tetapi dapat diperkuat dengan ketentuan lain yang bersifat inovatif demi pemilu yang berintegritas.
Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil mendesak KPU tetap mewajibkan peserta Pemilu 2024 melaporkan LPSDK. Mereka juga mendesak KPU membuka akses informasi publik atas laporan dana kampanye secaramemadai, termasuk akses terhadap informasi dalam Sistem Informasi Dana Kampanye (Sidakam) dalam format yang mudah diakses,
Koordinator koalisi, Sita Supomo menuturkan, informasi perlu mudah diakses sebelum pemungutan suara guna melihat rekam jejak peserta pemilu.
Sidakam KPU
Anggota Komisi Pemilihan Umum Idham Holik mengatakan LPSDK memang dihapuskan dari Rancangan Peraturan KPU tentang Dana Kampanye. Namun, sebagai gantinya, KPU akan mendorong peserta pemilu melakukan pembaruan harian tentang penerimaan dan pengeluaran dana kampanye melalui Sidakam.
Idham menjelaskan, Rancangan PKPU tentang Dana Kampanye itu sudah dikonsultasikan dengan Dewan Pimpinan Rakyat (DPR) akhir Mei lalu. Saat ini, Rancangan PKPU tersebut sedang diharmonisasi. KPU juga telah menggelar uji publik dengan melakukan diskusi publik terarah bersama masyarakat sipil mengenai aturan itu.
Dia menyebutkan, walaupun dalam Rancangan PKPU LPSDK tidak diatur, bukan berarti sumbangan dana kampanye dari peserta pemilu tidak disampaikan kepada KPU. Sumbangan dana kampanye tetap wajib disampaikan ke KPU, pada saat penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) wajib disampaikan sebelum kampanye oleh peserta pemilu baik partai politik, calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD), maupun pasangan calon presiden dan wakil presiden.
”Penerimaan sumbangan dana kampanye wajib disampaikan melalui LADK. KPU juga sudah menerbitkan kebijakan pada peserta pemilu khususnya partai politik agar membuka rekening khusus dana kampanye (RKDK) sejak satu hari setelah ditetapkan sebagai peserta pemilu. Jadi, pada dasarnya, sumbangan dana kampanye wajib dilaporkan,” katanya.
Dengan aturan pembuatan rekening khusus dana kampanye, jelasnya, sumbangan dana kampanye yang diterima partai politik seharusnya bisa dilaporkan ke KPU. Mulai hari pertama sampai dengan hari ke-75, partai politik diminta agar melakukan pembaruan informasi mengenai sumbangan dana kampanye yang diterima.
Pembaruan informasi harian itulah, kata dia, yang akan dimasukkan dalam Sidakam. Informasi dari Sidakam yang berupa nama penyumbang dan nominal sumbangan dana kampanye juga akan dipublikasikan di situs resmi KPU, yakni www.infopemilu.kpu.go.id. Hanya informasi yang dikecualikan seperti kuitansi pembayaran, dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) penyumbang yang tidak akan ditampilkan.
”Justru dengan aturan baru ini kami akan mendorong jauh lebih transparan dibandingkan yang terdahulu," katanya.
Namun, Valentina Sagala mengatakan, Sidakam tak dapat menggantikan LPSDK. Sebab, sistem itu hanya platform aplikasi yang disediakan KPU guna memudahkan peserta pemilu, tetapi pelaksanaannya diisi berdasarkan kemauan peserta pemilu. Sementara, LPSDK selama ini merupakan konsolidasi pelaporan penerimaan sumbangan dana kampanye yang bersifat keharusan dan mengikat peserta pemilu untuk melaksanakannya.
”Kalau laporan berupa LPSDK, kan, adalah kewajiban yang mandatory (di PKPU lalu). Seharusnya sekarang pun di Rancangan PKPU diatur,” kata Valentina.