Kewajiban Membuat Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye Ditiadakan, Pemilih Dirugikan
Kewajiban peserta pemilu membuat Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye sudah diterapkan di Pemilu 2014 dan 2019 selain di pilkada. Adanya laporan itu dimanfaatkan pemilih untuk mempertimbangkan pilihannya.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Suasana simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
JAKARTA, KOMPAS — Penghapusan kewajiban peserta Pemilu 2024 membuat Laporan Penerimaan Sumbangan Dana Kampanye atau LPSDK bisa merugikan pemilih dan melemahkan semangat antikorupsi. Sebab, akses untuk menjadikan LPSDK sebagai salah satu pertimbangan pemilih dalam menentukan pilihan dihilangkan. Perubahan aturan ini bahkan bertentangan dengan semangat menciptakan keteraturan aturan pemilu.
Pengajar Hukum Pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, penghapusan LPSDK turut berdampak kepada pemilih. Sebagian pemilih yang biasanya menjadikan LPSDK sebagai salah satu pertimbangan dalam menentukan pilihannya kini tidak bisa lagi dilakukan. Padahal, tidak sedikit pemilih yang cenderung menggunakan LPSDK sebagai salah satu instrumen dalam menilai transparansi dan akuntabilitas peserta pemilu.
”Laporan dana kampanye tidak bisa lagi dimanfaatkan pemilih dalam menilai transparansi dan akuntabilitas peserta dalam pendanaan pemilu. Tentu pemilih yang akhirnya dirugikan dan semangat pemilu yang antikorupsi dilemahkan,” ujarnya di Jakarta, Selasa (30/5/2023).
LPSDK sudah diterapkan sejak Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Kewajiban itu juga diimplementasikan untuk Pilkada 2015, 2017, 2018, dan 2020. Namun, KPU menghapus ketentuan tersebut pada Pemilu 2024.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia Titi Anggraini
Saat Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR, Senin (29/5), anggota KPU Idham Holik menyebutkan, ada tiga pertimbangan dihapusnya LPSDK. Pertama, LPSDK tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Selain itu, masa kampanye yang singkat selama 75 hari mengakibatkan sulitnya menempatkan jadwal penyampaian LPSDK. Adapun muatan informasi LPSDK sudah tercantum dalam Laporan Awal Dana Kampanye (LADK) serta Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK).
Menurut Titi, hilangnya LPSDK membuat akses publik untuk mengetahui sumbangan dana kampanye peserta pemilu semakin terbatas. Sebab, informasi yang ada dalam LADK sangat minim, sementara LPPDK baru dipublikasikan setelah proses pemungutan dan penghitungan suara selesai. Akibatnya, laporan dana kampanye tidak dapat dijadikan instrumen atau referensi bagi pemilih dalam mengambil keputusan.
Terlebih, uang menjadi semakin dominan dalam pemilu yang ditunjukkan dengan banyaknya keluhan soal politik biaya tinggi. Selain itu, praktik politik transaksional di pemilu, khususnya di pemilu legislatif dan pemilu presiden terus berulang. Dengan demikian, transparansi dan akuntabilitas dana kampanye menjadi semakin diperlukan.
Lebih jauh, kata Titi, perubahan aturan di Pemilu 2024 justru merusak semangat menciptakan keteraturan aturan pemilu yang diinginkan Pemerintah dan DPR saat memutuskan tidak merevisi UU Pemilu. Sebab, salah satu pertimbangannya saat itu adalah untuk keteraturan aturan main sehingga diputuskan aturan untuk Pemilu 2024 tidak berubah dari Pemilu 2019.
Meskipun tidak diatur khusus dalam UU Pemilu, LPSDK merupakan terobosan dan progresivitas hukum KPU yang memperkuat integritas dan kredibilitas pemilu agar terselenggara sesuai asas-asas yang digariskan konstitusi, terutama asas jujur, adil, dan demokratis.
Bahkan, dalam praktiknya, peserta pemilu dapat mematuhi aturan tersebut dan penyelenggara pemilu dapat mengelola ketentuan tersebut. Pilihan KPU untuk menghilangkan LPSDK justru menghancurkan bangunan integritas yang telah diinisiasi oleh KPU periode sebelumnya.
”Semestinya, praktik-praktik dan implementasi teknis yang baik dan konstruktif pada Pemilu 2019 tidak diubah, bila perlu ditingkatkan kualitas dan kredibilitas pengaturannya oleh KPU, bukan malah dikurangi ataupun dihapuskan,” ujar Titi.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai, pilihan KPU menghapus LPSDK cenderung memudahkan peserta pemilu. Padahal, pemilih membutuhkan LPSDK sebagai salah satu pertimbangan dalam mengetahui aliran dana kepada peserta pemilu. Bahkan, kewajiban itu merupakan bentuk pertanggungjawaban dan keadilan pemilu yang seharusnya dilakukan oleh seluruh peserta pemilu.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta pada konferensi pers di Gedung Bawaslu, Jumat (14/4/2023).
Di sisi lain, ia juga menyoroti perubahan aturan penghitungan keterwakilan 30 persen perempuan di Pemilu 2024. Dengan penghapusan aturan LPSDK, semakin banyak aturan yang diubah KPU untuk mengakomodasi kepentingan peserta pemilu. Padahal, aturan-aturan yang diubah itu diperlukan untuk memastikan pemilu berlangsung secara demokratis.
”Saat satu per satu aturan turunan dari UU Pemilu dihilangkan, KPU berpotensi membuat UU Pemilu menjadi tidak berbentuk,” kata Kaka.