Dua Gugatan terhadap PKPU Segera Didaftarkan ke MA
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, menyampaikan, koalisi masyarakat sipil akan mengajukan uji materi aturan 30 persen keterwakilan perempuan ke Mahkamah Agung pada Senin.
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan akan mengajukan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota ke Mahkamah Agung, Senin (5/6/2023). Ada dua gugatan yang disiapkan, yakni terkait keterwakilan 30 persen perempuan dan syarat calon mantan terpidana yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pemilu.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, di Jakarta, Minggu (4/6/2023), mengatakan, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan telah menunggu Komisi Pemilihan Umum merealisasikan janji merevisi PKPU No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun, hampir sebulan sejak KPU mengusulkan merevisi sejumlah pasal dalam PKPU No 10/2023, revisi tidak kunjung dilaksanakan.
Padahal, ada sejumlah pasal yang dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Salah satunya tentang cara penghitungan 30 persen caleg perempuan di tiap daerah pemilihan yang diatur dalam Pasal 8 Ayat (2) PKPU No 10/2023. Aturan itu mengakibatkan keterwakilan perempuan di sejumlah daerah pemilihan tak memenuhi 30 persen seperti diamanatkan UU Pemilu.
Oleh karena itu, pihaknya mengajukan uji materi PKPU No 10/2023 ke MA. Pemohon terdiri atas lima orang yang merepresentasikan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan. Adapun pendaftaran gugatan dibatasi 30 hari kerja setelah PKPU diundangkan, yakni 9 Juni.
”Kami akan mengajukan uji materi aturan 30 persen keterwakilan perempuan ke Mahkamah Agung, besok Senin. Sementara terkait mantan terpidana akan diajukan berikutnya setelah selesai finalisasi naskah gugatan,” ujar Fadli, Minggu.
Fadli, yang juga kuasa hukum pemohon gugatan, menilai KPU telah dua kali berbohong kepada publik. Pertama, saat uji publik PKPU No 10/2023 terkait aturan mengenai keterwakilan 30 persen perempuan sama dengan yang digunakan untuk Pemilu 2019. Namun, ketika diundangkan, aturan justru berbeda, bahkan bertentangan dengan UU Pemilu. Adapun kebohongan kedua, katanya, KPU telah berjanji merevisi Pasal 8 PKPU No 10/2023, bahkan telah menyiapkan usulan pasal, termasuk aturan peralihan. Namun, setelah konsultasi dengan Komisi II DPR, rencana revisi itu tak kunjung dilaksanakan.
Mantan terpidana
Fadli juga menuturkan, masyarakat sipil juga akan menggugat Pasal 11 Ayat (6) PKPU No 10/2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU No 11/2023 tentang Pencalonan Dewan Perwakilan Daerah. Sebab, ketentuan di dua pasal itu menyebutkan mantan terpidana korupsi boleh maju sebagai calon anggota legislatif tanpa harus melewati masa jeda waktu lima tahun sepanjang vonis pengadilan memuat pencabutan hak politik.
”Uji materi ke MA tidak akan mengganggu tahapan, terlebih KPU sejak awal sudah menyiapkan aturan peralihan untuk mengakomodasi parpol melakukan perubahan pada perbaikan dokumen persyaratan bakal caleg,” kata Fadli.
Simulasi penghitungan keterwakilan minimal perempuan berdasarkan Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
Saat dimintai tanggapan terkait rencana pengajuan uji materi PKPU pencalonan, anggota KPU, Idham Holik, tidak memberi respons. Namun, dalam beberapa kesempatan, ia mengatakan, KPU menghormati langkah masyarakat yang menggunakan hak konstitusionalnya. Sebab, masyarakat memiliki hak yang dilindungi undang-undang untuk mengajukan uji materi terhadap peraturan yang diterbitkan KPU.
Ditemuit secara terpisah, Ketua Badan Pengawas Pemilu Rahmat Bagja mengatakan, pengawasan terhadap syarat calon mantan terpidana tetap mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Bakal caleg harus sudah melewati masa jeda lima tahun terhitung sejak tidak lagi menjalani pidana penjara ataupun bebas bersyarat. Namun, ia tidak menjawab saat ditanya soal penghitungan masa jeda bagi mantan terpidana yang mendapat pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
”Kalau ada yang belum melewati masa jeda lima tahun, mau tidak mau, tidak memenuhi syarat. Nah, itu yang harus diawasi oleh Bawaslu,” katanya.
Sementara itu, terkait hilangnya kewajiban peserta pemilu membuat laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK), peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mendesak KPU mengubah Rancangan PKPU tentang Dana Kampanye. Norma tentang kewajiban membuat LPSDK tetap harus dipertahankan karena merupakan mandat dari prinsip pemilu, yakni jujur, terbuka, dan akuntabel.
”Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Bawaslu harus menegur KPU karena menghapus kewajiban LPSDK,” ujarnya.