RUU Perampasan Aset Tak Hanya Mengincar Hasil Korupsi
Perampasan aset bisa diterapkan pada tindak pidana umum asalkan tindak pidana tersebut ancaman hukumannya, minimal pidana penjara 4 tahun.
JAKARTA, KOMPAS — Perampasan aset hasil tindak pidana akan lebih mudah dilakukan oleh aparat penegak hukum apabila Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset disahkan. Aset yang dirampas tersebut tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana korupsi, tetapi juga tindak pidana umum yang ancaman pidana penjaranya mencapai 4 tahun atau lebih. Nominal aset yang dirampas pun minimal Rp 100 juta.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Eddy OS Hiariej, dalam diskusi daring bertema ”Akselerasi Reformasi Hukum dengan Penyusunan UU Perampasan Aset”, Rabu (10/5/2023), mengatakan, rencana Indonesia yang menggagas RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah tertinggal 17 tahun. Sebab, jika merujuk pada Konvensi Antikorupsi PBB (United Nation Convetion against Corruption/UNCAC), kehadiran regulasi itu seharusnya sudah ada selambat-lambatnya pada 31 Desember 2005.
Setidaknya ada tiga tujuan dari Konvensi UNCAC tersebut. Pertama, membasmi korupsi secara efisien dan efektif. Kedua, kerja sama internasional dalam pemberantasan korupsi. Ketiga, pemulihan aset (asset recovery). Perampasan aset ini merupakan turunan atau bagian dari pemulihan asset recovery itu sendiri. ”Jadi, ini terlambat sebetulnya dan RUU ini sangat urgen untuk harus segera disahkan,” ujar Eddy.
Diskusi yang digagas oleh Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) ini turut dihadiri oleh Ketua KPK periode 2011-2015 Abraham Samad, Penasihat Ahli Kapolri Ifdal Kasim, dan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana.
Baca juga: RUU Perampasan Aset Diserahkan ke DPR, Presiden Minta Prioritas Utama Persetujuan
Presiden Joko Widodo baru mengirimkan surat presiden (surpres) terkait pembahasan RUU Perampasan Aset berikut naskah RUU kepada pimpinan DPR pada 4 Mei 2023. Dalam surpres tersebut, Presiden menugasi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo mewakili pemerintah membahas RUU tersebut.
Eddy menegaskan bahwa pemerintah saat ini sudah satu suara terkait substansi RUU sehingga diharapkan akan mempercepat pembahasan bersama dengan DPR nanti. Ia berharap di pembukaan masa sidang DPR pada 16 Mei surpres dapat dibacakan. Dengan begitu, RUU dapat segera dibahas.
”Tentu, kami butuh political will bersama. Kalau pemerintah, sih, sudah kami satukan. Tinggal dari DPR bagaimana. Mengenai lobi-lobi politik, saya tidak tahu-menahu karena urusan saya semata-mata mengurusi substansi dan prosedural yang ditempuh dalam pembahasan RUU ini,” tutur Eddy.
Tidak perlu kasus pidana
Draf RUU Perampasan Aset yang disampaikan pemerintah kepada DPR terdiri dari 7 bab dan 68 pasal. Dalam Pasal 2 RUU tersebut ditegaskan bahwa perampasan aset tidak didasarkan pada penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana. Kemudian di Pasal 3 Ayat 1 berbunyi, perampasan aset tidak menghapuskan kewenangan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana.
Baca juga: RUU Perampasan Aset dan Kawanan Domba dalam Pemberantasan Korupsi
Eddy menjelaskan, RUU Perampasan Aset ini menggunakan konsep non-conviction based forfeiture. Artinya, perampasan aset dilakukan meski tidak ada kasus pidananya atau putusan pidananya. ”Karena kalau kita bicara mengenai perampasan aset, yang harus ada putusan pidana, itu sudah ada di Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi dan beberapa UU existing. Karena itu, dalam RUU Perampasan Aset yang disampaikan peemrintah kepada DPR, ini sesuatu yang belum diatur sama sekali,” kata Eddy.
Jika merujuk pada Pasal 7 RUU Perampasan Aset, setidaknya ada empat kondisi sejauh mana perampasan aset dapat dilakukan. Pertama, tersangka atau terdakwa meninggal, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya. Kedua, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Ketiga, perkara pidananya tidak dapat disidangkan. Keempat, terdakwa telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di kemudian hari diketahui terdapat aset yang belum dirampas.
Eddy menyampaikan, perampasan aset yang diatur dalam RUU nanti tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana korupsi, tetapi juga tindak pidana umum. Asalkan tindak pidana tersebut memiliki ancaman pidana penjara 4 tahun atau lebih. Kemudian, terdapat nilai nominal minimal aset yang dirampas, yakni Rp 100 juta.
”Jadi, ini mengapa menentukan 4 tahun? Karena ada beberapa kejahatan yang sebetulnya dari sisi pidana penjara ringan, tetapi itu kejahatan yang berdampak terhadap ekonomi dan terhadap keuangan. Karena itu, bukan 5 atau 10 tahun, tetapi kami ambil beberapa undang-undang yang ancaman pidana ringan, tetapi memberikan dampak pada perekonomian,” kata Eddy.
Mengejar kerugian negara
Kurnia Ramadhana pesimistis RUU ini dapat berjalan mulus di DPR karena melihat tanggapan Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bambang Wuryanto beberapa waktu lalu ketika rapat bersama Menko Polhukam Mahfud MD dalam membahas dugaan tindak pidana pencucian uang yang terjadi di Kementerian Keuangan. Dalam rapat tersebut, Bambang Wuryanto mengungkapkan, pentingnya membangun lobi dengan ketua umum partai politik agar RUU yang diinginkan pemerintah bisa segera dibahas.
”Karena itu, karena bolanya sekarang ada di DPR, wajar masyarakat pesimistis karena melihat peta politik begitu dan ini tidak bisa dilepaskan dengan konfigurasi politik di DPR. Apalagi ini jelang Pemilu 2024. Di satu sisi harapan itu mesti terus disampaikan, tetapi kita harus realistis juga,” kata Kurnia.
Terlepas dari itu, Kurnia berharap pembahasan legislasi ini dapat terbuka. DPR dan pemerintah jangan sampai memunculkan produk legislasi yang tidak membuka ruang partisipasi publik.
ICW pernah mencoba menghitung jumlah kerugian negara yang salah satunya diakibatkan oleh tindak pidana korupsi (tipikor). Berdasarkan catatan ICW pada 2021, jika melihat seluruh perkara korupsi yang masuk dalam persidangan di seluruh pengadilan tipikor Indonesia, kerugian negaranya mencapai Rp 62 triliun. Ironisnya, uang yang dikembalikan kepada negara hanya sekitar Rp 1 triliun.
Baca juga: Publik Ingin RUU Perampasan Aset Segera Dituntaskan
”Jadi, bayangkan, ada gap sangat besar yang belum mampu dikembalikan dengan proses hukum. Tentu ini ada faktornya, seperti tidak ada frekuensi yang sama antara jaksa dan hakim dalam memandang definisi dari uang pengganti dan lain-lain. Jadi, ini yang juga harus dikejar,” kata Kurnia.
Ifdal Kasim sepakat dengan Kurnia. Dalam RUU Perampasan Aset nanti, perlu dipertimbangkan pula soal pengadilan yang ditunjuk untuk mengadili kasus perampasan aset tersebut. Menurut dia, sangat penting meletakkan kasus perampasan aset pada pengadilan tipikor bukan pada pengadilan negeri sehingga tetap inline. Meskipun perampasan aset bukan hanya dari hasil tipikor, hakim yang terlatih menangani bidang ini tidaklah banyak.
”Kita tahu MA memberikan sertifikasi pada hakim-hakim spesialis antikorupsi sehingga lebih bisa menangani kasus ini daripada dilimpahkan ke pengadilan negeri yang tidak punya spesialisasi yang kuat mengenai itu. Jadi, ini juga perlu diperhatikan untuk sebagai masukan untuk RUU Perampasan Aset ini,” tutur Ifdal.