Publik Ingin RUU Perampasan Aset Segera Dituntaskan
Publik menanti keseriusan pemerintah dan DPR untuk menuntaskan RUU Perampasan Aset. Sebanyak 82,2 persen responden jajak pendapat ”Kompas” menilai pembahasan dan pengundangan RUU ini mendesak dilakukan.
Oleh
Arita Nugraheni/Litbang Kompas
·4 menit baca
Saat ini Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana masih dalam tahap penyelesaian draf dan naskah akademik. Hingga akhir pekan lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum menerima surat presiden terkait RUU ini. Surat presiden tersebut belum bisa dikirim karena Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Kepala Polri belum memberikan persetujuan terhadap draf regulasi yang dirancang untuk memperkuat pemberantasan korupsi tersebut.
Padahal, publik sangat berharap RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana ini segera diundangkan karena RUU ini diyakini akan memberikan preseden baik dalam usaha pemberantasan korupsi dan tindak pidana ekonomi lainnya.
Sikap publik ini tergambar dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pekan lalu. Delapan dari 10 responden menyatakan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana mendesak dibahas. Bahkan, 35,5 persen responden menyebut RUU ini sangat mendesak untuk segera disahkan.
Opini tersebut muncul sama kuatnya dari tiap lapisan masyarakat. Bahkan, publik yang memiliki preferensi politik yang berbeda juga menyampaikan desakan yang sama. Artinya, persoalan perampasan aset pada pelaku perampok uang negara ini menjadi kegelisahan di berbagai lapisan masyarakat.
Perjalanan untuk mengundangkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana perlu terus dikawal meski telah masuk daftar Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2023. Pasalnya, RUU ini sebelumnya sudah dua kali masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas tahun 2008 dan 2014, tetapi tidak berbuah hasil.
Lebih jauh ke belakang, RUU Perampasan Aset telah diinisiasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sejak 2003. Penyusunannya mengadopsi ketentuan The United Nations Convention Against Corruption dan konsep non-conviction based forfeiture negara-negara common law. Diharapkan pada tahun ke-20 ini, RUU Perampasan Aset dapat mencapai titik final.
Upaya pemerintah dan DPR perlu dipastikan tidak berlarut-larut dalam polemik saling tunggu. Dalam sejumlah kesempatan, Presiden Joko Widodo mendorong agar RUU Perampasan Aset segera diundangkan. Pada Februari 2023, misalnya, pernyataan tersebut disampaikan saat menanggapi penurunan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2022.
Perampasan aset
Hasil jajak pendapat juga merekam 78,5 persen responden sepakat negara berhak melakukan perampasan aset penyelenggara negara jika aset tersebut tidak sesuai dengan harta kekayaan yang dilaporkan. Termasuk apabila pejabat publik tidak dapat membuktikan penghasilan tersebut berasal dari sumber yang sah.
Opini publik tersebut selaras dengan semangat yang termuat dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. RUU tersebut memuat substansi utama, yakni aset yang diperoleh pejabat negara dari pendapatan yang tidak wajar, serta tidak dapat dibuktikan diperoleh secara sah dan diduga terkait aset tindak pidana, dapat dirampas untuk negara.
Hingga saat ini, PPATK dan penegak hukum lain baru memanfaatkan dua aturan untuk menyelamatkan uang negara. Kedua aturan itu adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain.
Tak hanya itu, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana juga menjawab tantangan pengelolaan aset dan barang rampasan. Merujuk Laporan Akhir Naskah Akademik RUU Perampasan Aset Tindak Pidana per Oktober 2012, RUU ini akan turut serta mengatur tata cara pengelolaan aset.
Mayoritas responden (87,9 persen) dalam jajak pendapat ini meyakini lemahnya regulasi yang jitu dalam menyita aset hasil korupsi menjadi faktor menjamurnya korupsi di negeri ini. Aset dari kejahatan korupsi, pencucian uang, dan tindak pidana lainnya masih dapat dimanfaatkan, bahkan untuk kejahatan baru oleh pelakunya.
Pengawalan pada pembahasan RUU Perampasan Aset perlu diupayakan serius mengingat perjalanan penyusunan RUU ini yang tidaklah singkat. Terungkapnya kekayaan fantastis para pegawai pemerintahan belakangan ini menjadi momen tepat menggaungkan kembali RUU Perampasan Aset. Dengan aturan pembuktian terbalik, pejabat yang dicurigai harus bisa membuktikan asal-usul asetnya.
Kejengahan publik pada pelaku tindak pidana boleh jadi semakin tinggi dengan terungkapnya kekayaan luar biasa Rafael Alun Trisambodo (RAT), mantan pejabat eselon III di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Pasalnya, kekayaan yang tidak wajar dari pejabat pajak ini justru terungkap dari persoalan penganiayaan yang dilakukan anak RAT, bukan dari penelusuran hukum atas kekayaan tersebut.
Dengan demikian, penelusuran aset pejabat publik perlu mendapatkan payung hukum yang kuat. Dengan pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, penegak hukum dapat melakukan perampasan aset tanpa perlu membuktikan kejahatan atau tindak pidana asal dari pelaku korupsi atau TPPU.
Pada akhirnya harapan publik ini tetap bergantung pada komitmen pemerintah dan DPR untuk betul-betul menjalankan proses legislasi RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Ada 61,3 persen responden dengan 8,6 persen di antaranya menyebut sangat yakin RUU ini tak hanya akan mengakselerasi pemberantasan korupsi, tetapi sekaligus mengerdilkan bibit korupsi di negeri ini. Jadi, mempercepat proses pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi undang-undang adalah sebuah jawaban dari harapan publik.
Akankah hal ini diwujudkan pemerintah dan DPR? Kita tunggu saja.