RUU Perampasan Aset, antara Urgensi dan ”Alergi”
Situasi seperti apa yang menyebabkan RUU Perampasan Aset sedemikian urgen untuk disahkan? Sementara, mengapa DPR ada tendensi ”alergi” dengan RUU tersebut?
Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset kembali ramai dibicarakan. Sebab, dalam rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR, Ketua Komite Koordinasi Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Mahfud MD mengungkapkan harapannya Komisi III DPR mendukung pengesahan RUU tentang Perampasan Aset.
Namun, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto dengan lugas mengatakan, Komisi III tidak dapat berbuat apa-apa. Jika pemerintah ingin RUU tentang Perampasan Aset ”gol” atau disahkan menjadi UU, kata Bambang, yang seharusnya dilobi adalah para ketua umum partai politik.
”Mungkin (RUU) Perampasan Aset bisa (disahkan), tetapi harus bicara dengan para ketum (ketua umum) partai dulu. Kalau di sini enggak bisa. Teori saja. Permintaan panjenengan langsung saya jawab, Bambang Pacul siap, kalau diperintah juragan,” ujar Bambang dalam forum RDPU tersebut, Rabu (29/3/2023). Jawaban Bambang kemudian menjadi viral. Namun, pertanyaannya, situasi seperti apa yang menyebabkan RUU Perampasan Aset sedemikian urgen? Sementara, mengapa DPR ada tendensi ”alergi” dengan RUU tersebut?
Project Officer Kemitraan Refki Saputra mengatakan, rezim perampasan aset muncul ketika peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana pencucian uang kesulitan membuktikan tindak pidana asal (predicate crime). Contoh terkini adalah kasus kekayaan tidak wajar bekas pejabat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo.
”Rezim perampasan aset tidak peduli apa predicate crime-nya. Yang penting diduga dari kegiatan ilegal, maka aset itu bisa dirampas. Model yang dilakukan tidak mengedepankan proses penuntutan terhadap orang, tetapi asetnya yang benar-benar dikejar dan kemudian dirampas untuk negara,” tutur Refki dalam konferensi pers ”Menyoal Komitmen Pembahasan RUU Perampasan Aset” yang diselenggarakan daring.
Refki mengatakan, rezim perampasan aset erat terkait dengan kemunculan rezim anti-pencucian uang muncul di tahun 1970-an. Saat itu, banyak terjadi kegiatan ilegal yang menghasilkan keuntungan berlipat ganda, tetapi sekaligus sulit diberantas. Sebab, penegak hukum telah disuap dan sebagai sebuah kejahatan terorganisasi, semua hal dilakukan di bawah tangan tanpa ada bukti.
Pada awalnya, yang muncul pertama adalah rezim perpajakan yang memerangi pelaku yang tidak taap membayar pajak. Dari situ, muncul rezim anti-pencucian uang sebagai alat yang berfungsi memerangi kejahatan asal dengan mempermudah penegak hukum untuk melacak dan menyita aset hasil kejahatan.
Baca juga: Perumusan RUU Perampasan Aset Belum Tuntas
Dengan dirampasnya aset hasil kejahatan, diharapkan para pelaku tidak bisa mengulangi lagi kejahatannya. Sebab, secara teoretis, ketika hasil kejahatannya dirampas dan tidak bisa dinikmati pelaku kejahatan, terlebih kejahatan terorganisasi, maka lama-kelamaan mereka tidak bisa lagi membiayai kejahatannya. Di sisi lain, aset hasil rampasan tersebut dapat digunakan untuk pembangunan.
”Karena memerangi kejahatan finansial dengan menangkap orang itu tidak akan memberikan apa pun. Apalagi di Indonesia, koruptor dihukum penjara rata-rata 2-3 tahun. Kalau asetnya tidak dikejar, tidak dirampas, ketika dia keluar dari lembaga pemasyarakatan, dia bisa menikmati hasil korupsinya,” ujar Refki.
Menurut Direktur Penegakan Hukum Yayasan Auriga Nusantara Roni Saputra, perampasan aset melalui Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bukan tidak mungkin dilakukan. Hal itu diatur pada Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 38 C dalam UU tersebut. Namun, prosedurnya adalah menggunakan gugatan perdata melalui jaksa pengacara negara yang proses hukumnya bisa sangat lama.
Sementara, jika RUU tentang Perampasan Aset disahkan, proses penuntutan terhadap perampasan aset tindak pidana dapat dilakukan dengan metode permohonan yang memakan waktu jauh lebih cepat. Mekanisme tersebut tidak perlu melalui upaya hukum banding, kasasi, dan peninjauan kembali.
”Yang penting adalah bagaimana agar hasil dari perbuatan kejahatan yang menimbulkan kerugian negara seharusnya dikembalikan atau dirampas bagi negara. Dengan demikian, ide untuk memiskinkan pelaku kejahatan itu bisa dilakukan melalui pendekatan RUU Perampasan Aset,” kata Roni.
Pada kesempatan tersebut, Direktur Pusat Studi Kejahatan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta Ari Wibowo mengatakan, dari berbagai kajian akademis, hampir semua berkesimpulan bahwa RUU tentang Perampasan Aset akan menunjang efektivitas dalam pemberantasan kejahatan ekonomi, salah satunya tindak pidana korupsi. Sebab, tidak hanya memampukan penegak hukum mengejar aset hasil kejahatan di dalam negeri, tetapi regulasi tersebut akan memberikan solusi untuk mengembalikan aset hasil kejahatan yang dibawa ke luar negeri.
”Tanpa adanya UU tentang Perampasan Aset, pemberantasan kejahatan ekonomi, termasuk tindak pidana korupsi itu, tidak akan efektif dan efisien,” kata Ari.
Menurut koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Pengadilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, hingga saat ini, belum ada tawaran regulasi yang konkret dari pemerintah dan DPR untuk mengatasi kejahatan ekonomi secara efektif. Di satu sisi pemerintah dan DPR menggemborkan tentang pentingnya pencegahan dan tidak fokus pada pemenjaraan badan. Namun, di sisi lain, regulasi untuk merampas aset hasil kejahatan tetap tidak kunjung disahkan.
Sebagaimana pemantauan ICW terhadap tren vonis sepanjang 2021, dari 1.403 terdakwa kasus tindak pidana korupsi, hanya 12 orang yang divonis menggunakan pasal pidana pencucian uang. Hal itu memperlihatkan kegagapan negara dalam menerapkan rezim pencucian uang.
”Persoalan harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak kejahatan harus menjadi lampu merah bahwa RUU tentang Perampasan Aset ini sudah tidak bisa tidak harus segera dibahas dan disahkan,” kata Lalola.
Takut RUU Perampasan Aset disahkan?
Dengan sedemikian efektifnya RUU tentang Perampasan Aset, menurut Roni, maka tidak mengherankan ketika banyak pihak menjadi takut dengan disahkannya regulasi tersebut, khususnya para pejabat negara. Terlebih, Pemilu 2024 sudah semakin dekat. ”Kita bayangkan misalkan UU ini disahkan dan berjalan efektif, maka aset-aset yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung dari tindak pidana atau merupakan hasil proceeds of crime itu bisa dirampas oleh negara,” ujar Roni.
Sebab, penegak hukum bisa merampas aset yang tidak bisa dibuktikan asalnya. Demikian pula penegak hukum dapat menelusuri penambahan kekayaan yang tidak wajar yang terindikasi berasal dari sumber yang tidak sah.
Terkait dengan pernyataan Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto, peneliti Pusat Studi Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Orin Gusti Andini, mengatakan, kerja untuk memberantas korupsi atau kejahatan ekonomi akan selalu mendapatkan turbulensi atau tantangan. Yang disayangkan, turbulensi itu justru datang dari pihak yang seharusnya menjadi mitra pendukung untuk penyelenggaraan tata kelola negara yang bersih.
Menurut Orin, pernyataan Ketua Komisi III DPR tersebut sekaligus memperlihatkan bahwa praktik oligarki masih tumbuh subur di dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia. ”Maka, kami sangat mendukung upaya untuk percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset dan menolak upaya untuk menyeret mundur RUU Perampasan Aset,” kata Orin.
Disahkannya RUU Perampasan Aset merupakan urgensi untuk mengatasi korupsi. Akankah harapan publik dipenuhi atau malah dipatahkan seperti jawaban Bambang Wuryanto kepada Mahfud MD?