Tiga instansi, yakni Kemenkeu, Kejaksaan Agung, dan Polri, belum memberikan persetujuan terhadap draf RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, DIAN DEWI PURNAMASARI, KRISTIAN OKA PRASETYADI, PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penyelesaian penyusunan draf naskah akademik dan Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana oleh pemerintah belum juga tuntas. Tiga pemimpin instansi, yakni Menteri Keuangan, Jaksa Agung, dan Kepala Polri, belum memberikan persetujuan terhadap draf regulasi yang dirancang untuk memperkuat pemberantasan korupsi itu sehingga surat presiden belum bisa diterbitkan. Proses konsolidasi ditargetkan cepat selesai sehingga pemerintah dapat mengusulkan pembahasan RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebelum masa reses yang dimulai pada 14 April 2023.
Hingga Jumat (31/3/2023), DPR belum menerima surat presiden (surpres) berisi usulan pembahasan RUU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana. RUU itu tak bisa dibahas jika pemerintah belum mengajukan usulan pembahasan kepada DPR.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, naskah akademik dan draf RUU Perampasan Aset sebenarnya sudah selesai disusun. Namun, dari enam pemimpin instansi yang dimintai persetujuan draf RUU, baru tiga yang sudah memberikan paraf persetujuan. Mereka adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly, serta Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana. Sementara tiga pemimpin instansi lain, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, belum memberikan paraf persetujuan.
Direktur Hukum dan Regulasi PPATK Fithriadi Muslim, saat dihubungi, di Jakarta, Jumat, mengungkapkan, permintaan persetujuan dibutuhkan untuk memastikan semua pemimpin instansi terkait sudah sepakat dengan substansi RUU dan naskah akademik serta siap membahas bersama DPR. Jika keenam pemimpin instansi sudah memberikan persetujuan, surpres dapat segera diterbitkan dan dikirim ke DPR.
”Tadi sudah dicek lagi deadline penyampaian adalah 30 hari sejak permintaan paraf. Jadi, masih ada waktu sekitar dua minggu lagi. Mudah-mudahan sebelum (DPR memasuki) reses, (surpres) sudah bisa masuk sehingga di sidang penutupan reses, (surpres) sudah dibacakan,” tuturnya. Sesuai jadwal, DPR akan kembali memasuki masa reses pada 14 April dan akan kembali bersidang pada pertengahan Mei.
Perihal urgensi regulasi tentang perampasan aset untuk memperkuat pemberantasan korupsi sudah disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sejumlah kesempatan. Pada Februari lalu, misalnya, Presiden mendorong agar RUU Perampasan Aset segera diundangkan. Pernyataan itu disampaikan menanggapi penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2022 sekaligus menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mencegah dan memberantas korupsi.
Permintaan persetujuan dibutuhkan untuk memastikan semua pemimpin instansi terkait sudah sepakat dengan substansi RUU dan naskah akademik serta siap membahas bersama DPR
Dorongan serupa juga beberapa kali dilontarkan Menko Polhukam Mahfud MD. Hadir sebagai Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Rabu (29/3), Mahfud menegaskan, upaya pemberantasan korupsi akan semakin efektif jika RUU Perampasan Aset disahkan.
Menurut Fithriadi, pada prinsipnya, pemerintah sudah solid untuk membahas RUU Perampasan Aset. Draf RUU juga sudah disepakati bersama dalam pertemuan antar-pimpinan lembaga yang dipimpin oleh Menko Polhukam. Meski demikian, penyelerasan terus dilakukan antara draf dan naskah akademik sehingga tidak menimbulkan polemik ke depan. Setidaknya terdapat beberapa substansi yang telah disepakati pemerintah untuk diatur di dalam RUU Perampasan Aset. Salah satunya lembaga pengelola aset rampasan dan sitaan akan diserahkan kepada kejaksaan karena kejaksaan memiliki Pusat Pemulihan Aset (PPA).
RUU Perampasan Aset ini juga akan mengatur konsep pembuktian terbalik (illicit enrichment) dengan mekanisme yang berkeadilan. Cakupannya dibuat lebih luas, bukan hanya menyasar penyelenggara negara, melainkan juga pihak swasta. Akan diatur pula pembuktian di pengadilan bagi pihak-pihak yang ingin mengklaim aset mereka yang tengah disita. “Karena, kan, banyak juga untuk kasus narkotika, kasus penipuan, itu mereka punya aset besar, tetapi tidak jelas kepemilikannya. Nah, kami atur cara klaim dengan syarat-syaratnya dengan sangat ketat sehingga tidak ada penegak hukum yang abuse. Semua sudah ada rambu-rambunya,” tuturnya.
Fithriadi menjelaskan, jika RUU Perampasan Aset disahkan, mekanisme penegasan status aset akan lebih jelas. Lebih dari itu, ia berharap, pengesahan RUU Perampasan Aset ini nantinya dapat memperkuat rezim anti-pencucian uang.
Dukungan penuh
Dihubungi secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengaku belum mendapatkan informasi mengenai belum ditandatanganinya draf RUU oleh Jaksa Agung. ”Kalau mengenai paraf-memaraf, itu urusan yang mudah, tinggal koordinasikan saja. Yang penting RUU ini dapat segera terwujud menjadi UU,” tutur Ketut
Meski begitu, menurut Ketut, Kejagung sangat mendukung segera disahkannya UU Perampasan Aset. Dengan begitu, ke depan, terdapat instrumen lain untuk menjerat pelaku tindak pidana. “Harapan kami, pemulihan dan pengembalian keuangan negara dapat bisa dikembalikan lebih cepat,” tuturnya.
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, yang ditemui di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, mengungkapkan, Kemenkeu siap mendukung dengan kajian terkait penyusunan RUU Perampasan Aset. ”Kami prinsipnya sebagai pelaksana siap untuk membantu,” katanya.
Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi Ali Fikri mengungkapkan, KPK sesungguhnya sudah lebih dari sepuluh tahun mendorong RUU Perampasan Aset segera disahkan. Menurut Ali, saat ini merupakan momen yang tepat bagi pemerintah dan DPR membahas RUU itu karena belakangan ada beberapa laporan masyarakat terkait dengan gaya hidup mewah penyelenggara negara.
UU ini, kata Ali, akan mempermudah kerja KPK dalam upaya merampas aset hasil tindak pidana korupsi. Keberadaan regulasi ini juga diharapkan dapat mendukung penegak hukum dalam mengoptimalkan pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi.