Terlibat 3 Kasus Korupsi, Bupati Meranti Himpun Dana untuk Maju di Pilgub Riau
Bupati Kepulauan Meranti M Adil ditetapkan sebagai tersangka untuk 3 kasus korupsi sekaligus. Dua di antaranya kasus penerimaan suap. Dana dari praktik korupsi itu digunakan untuk membiayai dirinya maju Pilgub Riau 2024.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Bupati Kabupaten Kepulauan Meranti Muhammad Adil telah ditetapkan sebagai tersangka untuk tiga kasus korupsi sekaligus yang terjadi dalam kurun waktu 2022-2023. Uang suap dan gratifikasi yang diperoleh itu dikumpulkan oleh orang kepercayaan untuk dana operasional kegiatan safari politik rencana pencalonannya dalam Pemilihan Gubernur Riau tahun 2024 nanti.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alex Marwata dalam konferensi pers, Sabtu (8/4/2023) dini hari, mengatakan, operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK terkait dengan tiga klaster korupsi berbeda. Pertama, Adil yang menjabat sebagai Bupati Kepulauan Meranti sejak tahun 2021, diduga memerintahkan para kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk melakukan setoran uang yang berasal dari pemotongan uang persediaan (UP) dan ganti uang persediaan (GUP).
Potongan uang itu dikondisikan seolah-olah ada utang terhadap bupati. Setoran dalam bentuk uang tunai itu disetorkan melalui Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kepulauan Meranti, Fitria Nengsih, yang merupakan orang kepercayaan Adil.
"Besaran pemotongan UP dan GUP ditentukan Adil dengan kisaran 5 persen sampai 10 persen untuk setiap SKPD," kata Alex.
Potongan uang itu dikondisikan seolah-olah ada utang terhadap bupati.
Kedua, sekitar bulan Desember 2022, Adil menerima imbalan atau fee jasa travel umroh senilai Rp 1,4 miliar dari perusahaan swasta bernama PT Tanur Muthmainnah (PT TM). Alex menyebut, Fitria Nengsih berperan sebagai Kepala Cabang PT TM. Karena perusahaan itu dimenangkan untuk proyek pemberangkatan umroh para Takmir Masjid di Meranti. Sebagai imbalannya, perusahaan memberikan sejumlah uang kepada bupati melalui Fitria Nengsih.
Ketiga, Adil bersama-sama dengan Fitria Nengsih juga menyuap Ketua Tim Pemeriksa Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Riau M Fahmi Aressa sebesar Rp 1,1 miliar. Mereka menyuap auditor muda BPK itu agar audit keuangan Meranti mendapatkan predikat baik Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
"Sebagai bukti awal, total nilai korupsi yang diterima MA (Muhammad Adil) sekitar Rp 26,1 miliar dari berbagai pihak. Hal ini akan ditindaklanjuti dan didalami oleh tim penyidik," jelas Alex.
Uang setoran yang terkumpul itu, menurut Alex, akan digunakan untuk kepentingan Adil sebagai dana operasional kegiatan safari politik rencana pencalonannya dalam kontestasi Pemilihan Gubernur Riau tahun 2024.
Alex menjelaskan pemotongan anggaran oleh kepala daerah ini menjadi salah satu modus korupsi yang rentan terjadi di daerah. Modus itu menjadi perhatian KPK karena rantai korupsinya saling terkait sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban keuangan. Ini bisa mengakibatkan kerugian luar biasa besar bagi keuangan negara.
KPK juga menyayangkan berulangnya kasus suap auditor BPK untuk mendapatkan opini WTP. Tahun lalu, kasus serupa menjerat bekas Bupati Bogor Ade Yasin. Dalam waktu dekat ini, komplotan di internal Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diduga menggunakan tunjangan kinerja hasil penggelembungan untuk berbagai macam kebutuhan. Salah satunya memberikan servis terhadap auditor BPK. Pemberian suap itu untuk memperoleh opini WTP.
Agar peristiwa serupa tak terjadi, tim auditor bisa dipantau dan diawasi secara berjenjang. Ini untuk melihat apabila ada temuan tidak sesuai dengan mekanisme audit, terutama jika ada upaya suap terhadap auditor. Potensi suap dan gratifikasi itu idealnya diawasi secara berjenjang oleh pejabat di atasnya.
"Sudah banyak auditor BPK yang diberhentikan dalam proses audit karena terbukti menerima sesuatu. Karena risiko seorang auditor untuk disuap dan menghilangkan temuan asli itu tinggi, sebaiknya ada pengawasan berjenjang di luar inspektorat," terangnya.
Uang setoran yang terkumpul itu, menurut Alex, akan digunakan untuk kepentingan Adil sebagai dana operasional kegiatan safari politik rencana pencalonannya dalam kontestasi Pemilihan Gubernur Riau tahun 2024.
Selain M Adil, KPK juga menetapkan dua orang tersangka lainnya dalam perkara ini, yaitu Fitria Nengsih dan M Fahmi Aressa. Mereka ditetapkan sebagai tersangka setelah penyidik mengantongi barang bukti. Penyidik juga memeriksa 25 orang saksi lain untuk dimintai keterangannya.
Atas perbuatannya itu, Adil dijerat dengan pasal penerima suap dan pemberi suap. Sebagai penerima suap, dia dijerat dengan pasal 12 huruf f atau pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Adapun, sebagai pemberi suap, Adil dijerat dengan pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-undang Nomor 31/1999 sebagaimana diubah UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Untuk Fitria Nengsih, KPK menjeratnya dengan pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor.
Auditor muda BPK M Fahmi Aressa dijerat pasal penerima suap yaitu pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman berpandangan, modus pemotongan anggaran yang dilakukan Bupati Meranti ini hampir sama dengan kasus sebelumnya yang diungkap KPK yaitu Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah Ben Brahim S Bahat. Mereka memotong anggaran daerah untuk mendanai kontestasi di pemilihan kepala daerah. Dia memperkirakan menjelang Pemilu 2024, praktik semacam itu rawan terulang.
“Pengawasan internal melalui Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) harus diperkuat. Namun, penguatan inspektorat itu sering terkendala karena secara struktural mereka berada di bawah ketiak kepala daerah, sehingga tidak bertaji,” jelasnya.
Herman juga berharap di masa rawan itu, pembinaan dan pengawasan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri terutama pengelolaan belanja daerah ditingkatkan. Pembinaan dan pengawasan perlu dilakukan sejak proses penganggaran dan penetapan alokasi anggaran.
Pemerintah pusat juga perlu memperkuat sosialisasi e-lapor sebagai sistem digitalisasi pengawasan. Kemendagri bisa berkolaborasi dengan lembaga-lembaga pengawas negara, seperti Komisi Aparatur Sipil Negara dan Ombudsman RI, untuk mengoptimalkan pengawasan pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan daerah.
Pemerintah pusat juga perlu memperkuat sosialisasi e-lapor sebagai sistem digitalisasi pengawasan.
Pengawasan itu harus diperkuat karena jika mengandalkan pengawasan dari DPRD tidak akan optimal. Sama seperti calon kepala daerah, mereka juga mempersiapkan kontestasi sebagai calon legislatif di Pemilu 2024.
“Kasus pemotongan anggaran akan menjadi sangat rentan karena tahun depan ada kontestasi politik lokal. Kami tahu bahwa membiayai kontestasi seperti ini butuh dana besar. Mereka bisa memanfaatkan berbagai cara untuk mendapatkan dana seperti itu,” imbuhnya.
Tak kalah penting, pengawasan eksternal dari organisasi non pemerintah baik dari masyarakat sipil, akademisi, dan media juga perlu dioptimalkan.