Politik Berbiaya Tinggi Bayangi Pilkada 2024
Kajian Litbang Kemendagri pada Pilkada 2015 menunjukkan biaya politik lebih besar dari gaji kepala daerah selama satu periode. Tingginya biaya politik itu ditengarai membuat sebagian kepala daerah melakukan korupsi.
JAKARTA, KOMPAS — Politik berbiaya tinggi diperkirakan masih membayangi perhelatan Pemilihan Kepala Daerah 2024. Padahal, tingginya biaya politik yang dikeluarkan untuk memenangi pemilihan kepala daerah ditengarai menjadi salah satu penyebab suburnya korupsi kepala daerah. Politik berbiaya tinggi mesti ditekan agar kepala daerah terpilih tak terbebani untuk mengembalikan modal yang dihabiskan untuk memenangi kontestasi.
Anggota Badan Pengawas Pemilu Mochammad Afifuddin dihubungi dari Jakarta, Kamis (2/9/2021), memperkirakan, praktik-praktik mahar politik dan politik uang yang mengakibatkan biaya politik tinggi berpotensi tetap terulang pada Pilkada 2024. Sebab secara aturan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang memuat aturan main pilkada tidak diubah.
Menurut dia, praktik politik uang semestinya ditindak sebagai pelanggaran administrasi, bukan di ranah pidana seperti sekarang. Sebab penindakan dalam ranah pidana harus melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang sering kali membuat perspektif ketiga lembaga dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) berbeda satu sama lain.
”Jalur menuju keterpenuhan unsur pidana politik uang sering kali menjadi perdebatan. Akhirnya penegakan hukum sering kali gagal di Gakkumdu dan ini bisa jadi akan berulang,” kata Afifuddin.
Baca Juga: Benang Kusut Praktik Korupsi
Hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri pada Pilkada 2015 menunjukkan, biaya yang dikeluarkan untuk memenangi kontestasi pemilhan bupati/wali kota berkisar Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar. Sementara untuk pilgub jumlahnya jauh lebih tinggi berkisar Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar. Biaya politik itu jauh lebih besar daripada gaji rata-rata kepala daerah yang berkisar Rp 5 miliar selama satu periode.
Mengutip Jurnal Antikorupsi Integritas, 5 (1), 181-188 berjudul ”Benturan Kepentingan pada Pendanaan Pilkada” yang ditulis Elih Dalilah, Bekti Selawati, Fitrah Pratama, dan Anis Wijayanti dari Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi, komponen biaya terbesar pilkada 2018 untuk keperluan sosialisasi (pertemuan), biaya operasional, biaya saksi, dan dana kampanye. Biaya lainnya untuk mahar politik dan serangan fajar.
Biaya politik itu jauh lebih besar dari gaji rata-rata kepala daerah yang berkisar Rp 5 miliar selama satu periode.
Terkait politik uang, Lembaga Survei Indonesia menemukan praktik politik uang masih terjadi pada Pilkada 2020. Dari hasil survei oleh LSI pada 11-14 Desember 2020, terkuak bahwa 16,9 persen responden mengaku mendapatkan tawaran uang dan barang-barang seperti bahan kebutuhan pokok, untuk memilih calon kepala/wakil kepala daerah tertentu saat Pilkada 2020 (Kompas 11/1/2021).
Perihal mahar politik, ada 20 responden calon kepala daerah yang mengaku mengeluarkan biaya mahar politik antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta per kursi di DPRD. Syarat itu untuk memenuhi ambang batas pengajuan calon kepala daerah minimal mendapatkan dukungan 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen suara sah saat pemilu legislatif di daerah.
Baca Juga: Tingginya Biaya Politik Masih Jadi Sumber Masalah
Tingginya biaya politik itu ditengarai membuat sebagian kepala daerah melakukan korupsi. Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan, sejak 2004 hingga 2020 ada 150 kepala daerah yang terjerat korupsi, terdiri dari 21 gubernur dan 129 bupati/wali kota. Data ini belum, termasuk kepala daerah yang ditangkap di tahun ini, seperti Bupati Probolinggi Puput Tantriana Sari, Bupati Bandung Barat Aa Umbara Sutisna, dan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah. Jumlahnya bisa lebih banyak karena ada sebagian kasus korupsi kepala daerah yang ditangani kepolisian dan kejaksaan.
Dari sebagian kepala daerah yang ditangkap itu, uang hasil korupsi digunakan untuk pemenangan pilkada. Pada Juni lalu, misalnya, Kepolisian Daerah Papua menetapkan Bupati Memberamo Raya Dorinus Dasipana sebagai tersangka penyalahgunaan dana penanganan Covid-19 senilai Rp 3,1 miliar tahun 2020. Dari hasil pemeriksaan, uang itu digunakan untuk kepentingan mengikuti Pilkada Memberamo Raya 2020 dan untuk kebutuhan pribadi.
Kemudian Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah, Wenny Bukamo yang ditangkap KPK, Kamis (3/12/2020), ditengarai melakukan korupsi untuk biaya kampanyenya dalam Pilkada Banggai Laut 2020. Wenny yang saat ditangkap berstatus calon bupati petahana akhirnya kalah dalam pilkada.
Sebelumnya pada 2018, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK akan menggunakan uang hasil suap untuk dana kampanye saat ingin maju kembali pada Pilkada 2018.
Baca Juga: Biaya Politik Pilkada Capai Rp 50 Miliar, KPK Ingatkan Kepala Daerah
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengatakan, PDI-P terus berupaya menekan biaya politik dalam pilkada. Di dalam peraturan partai, dijabarkan kebijakan pemenangan dengan strategi gotong royong yang salah satu implementasi dari strategi itu adalah untuk menekan biaya kampanye.
Dengan mengedepankan strategi gotong royong, seluruh anggota dan kader partai berdisiplin di dalam memenangkan pasangan calon. Jika semuanya bergerak, biaya pilkada bisa ditekan. Strategi-strategi pemenangan itu diajarkan dalam Sekolah Partai yang wajib diikuti oleh seluruh pasangan calon kepala daerah yang diusung PDI-P.
”Di sini, strategi menjadi penting. Dengan strategi yang tepat, maka efektivitas kampanye bisa diukur," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengatakan, PDI-P terus berupaya menekan biaya politik dalam pilkada.
Selain itu, lanjut Hasto, partai terus mengingatkan pentingnya penegakan disiplin, termasuk untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dengan korupsi. PDI-P mengingatkan kadernya dalam setiap acara partai, bahkan saat penutupan sekolah para calon kepala daerah dilakukan penantanganan komitmen.
”PDI-P secara periodik tiap tiga bulan sekali mengeluarkan surat edaran untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan, termasuk tidak melakukan korupsi,” ujarnya.
Baca Juga: Mahalnya Biaya Partisipasi Politik
Menurut Hasto, PDI-P tidak menutup mata bahwa kekuasaan yang dibangun dalam sistem pemilu yang liberal dengan prinsip one man, one vote, one value, sebagaimana terjadi di Amerika Serikat, memang membawa dampak negatif berupa konvergensi antara politisi, pengusaha, media, dan kapitalisasi kekuasaan politik.
Bangunan sistem integritas melalui penegakan hukum didukung oleh budaya hukum, ketaatan pada mekanisme hukum, dan kedisiplinan menyeluruh harus menjadi bagian dari penopang utama sistem politik, termasuk pentingnya integritas dan moral politik. Hal itulah yang menjadi perhatian utama partai agar praktik politik liberal tidak diikuti berbagai transaksi kekuasaan politik.
”Karena itulah kaderisasi menjadi penting, juga penegakan disiplin dan membangun kesadaran seluruh kader partai agar tidak menyalah gunakan kekuasaan politik,” ujar Hasto.
Sementara Partai Golkar, kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar Ace Hasan Syadzily, mengutamakan kemungkinan keterpilihan dalam mengusung calon kepala daerah. Ketika memberikan rekomendasi, Golkar mengklaim tidak meminta mahar politik kepada kandidat yang diusung maupun yang didukung.
”Dengan parameter elektabilitas, tidak ada alasan untuk menarik mahar atau apa pun karena tokoh yang diusung sudah memiliki elektabilitas yang cukup tinggi untuk berkontestasi,” katanya.
Menurut Ketua Golkar Institute tersebut, Golkar selalu mengingatkan kader yang menduduki jabatan kepala daerah untuk tidak melakukan korupsi. Setelah memenangi pilkada, kader diminta menandatangani pakta integritas untuk tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum.
Ketika memberikan rekomendasi, Golkar mengklaim tidak meminta mahar politik kepada kandidat yang diusung ataupun yang didukung.
Kepala daerah secara berkala setiap tahun mendapatkan pendidikan yang salah satu materinya tentang integritas dengan pembicara Ketua KPK. Dalam pelatihan di Golkar Institute, partai juga memberikan pelatihan peningkatan kapasitas manajemen pemerintahan, kebijakan publik, dan integritas pemimpin antikorupsi.
”Sebelum kepala daerah dilantik, Golkar Institute memberikan pengetahuan tentang menajemen risiko antikorupsi, batasan-batasan hal yang masuk kategiru korupsi, serta hal-hal yang tidak boleh dilakukan saat menjabat,” tutur Ace Hasan.
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan menilai, tingginya biaya politik memang menjadi salah satu faktor terjadinya korupsi kepala daerah. Namun, hal itu bukan penyebab tunggal karena di sisi lain, penegakan hukum dan penegak hukum cenderung lemah sehingga kepala daerah mudah melakukan korupsi.
Menurut dia, biaya politik terbesar dalam pilkada adalah untuk mahar politik dan politik uang untuk membeli suara. Kedua hal ini sejatinya dilarang dalam kontestasi, tetapi diyakini masih terus berlangsung hingga kini. Sekalipun rezim pemilihan langsung diubah menjadi tidak langsung, praktik mahar politik diperkirakan sulit hilang.
Oleh sebab itu, penegakan hukum saat pemilu ataupun pascapemilu perlu diperkuat. Praktik mahar politik dan politik uang yang mengakibatkan politik biaya tinggi bisa tumbuh subur karena penegakan hukum yang lemah.
”Biaya politik yang tinggi hanya salah satu gejala dari sistem penegakan hukum yang kacau balau,” ujarnya.