Kasus korupsi tidak berhenti saat pandemi Covid-19. Sikap pasif masyarakat yang bertemu dengan persoalan hukum dan politik turut menyuburkan praktik korupsi di Indonesia.
Oleh
DEDY AFRIANTO/ LITBANG KOMPAS
·5 menit baca
Kasus korupsi masih mengisi jagat pemberitaan di Indonesia. Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah pejabat pemerintah tersandung dugaan kasus korupsi. Misalnya, bekas Menteri Sosial Juliari Batubara, bekas Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, dan Gubernur nonaktif Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah.
Ironisnya, sebagian kasus korupsi yang kini tengah diproses Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhubungan dengan bantuan sosial dan sejumlah program terkait penanganan pandemi Covid-19. Selain kasus korupsi dana bantuan sosial yang menjerat Juliari, terdapat pula dugaan korupsi pengadaan barang terkait tanggap darurat bencana Covid-19 di Dinas Sosial Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Persoalan korupsi ibarat fenomena gunung es. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 16-18 Maret 2021 menunjukkan, persoalan korupsi jamak ditemukan responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Sebanyak 70,6 persen responden menyatakan pernah menemukan kasus korupsi di lingkungan sekitarnya dalam kurun waktu satu tahun terakhir.
Kasus korupsi yang paling banyak ditemukan ialah pungutan liar saat mengurus bantuan sosial atau subsidi pemerintah. Persoalan ini ditemukan sepertiga responden di beberapa daerah. Jika menilik berdasarkan sebaran pulau, pungutan liar saat mengurus bantuan pemerintah menjadi persoalan utama yang paling banyak ditemukan responden di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Pungutan liar termasuk kategori korupsi yang merugikan masyarakat. Kondisi ini semakin menegaskan bahwa program bantuan pemerintah masih dimanfaatkan sejumlah oknum selama satu tahun terakhir.
Selain pungutan liar saat mengurus bantuan sosial, sejumlah persoalan terkait kasus korupsi lainnya juga ditemukan, seperti pungutan saat mengurus dokumen di lembaga pemerintahan, suap pada aparatur pemerintah atau penegak hukum, hingga pemberian uang pelicin untuk mencari pekerjaan. Kondisi ini menunjukkan kasus korupsi masih jadi benang kusut yang belum terurai, bahkan saat Indonesia tengah dilanda pandemi Covid-19.
Faktor pendorong
Responden cenderung menilai ada beberapa faktor pendorong kasus korupsi di Indonesia. Penyebab pertama adalah pemberian hukuman yang tidak menimbulkan efek jera. Tiga dari empat responden menyatakan tidak puas atas vonis pengadilan terhadap terdakwa kasus korupsi, khususnya kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat pemerintah.
Ketidakpuasan ini bukan tanpa sebab. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch, sepanjang tahun 2020 terdapat beberapa terpidana kasus korupsi yang menerima keringanan dalam putusan peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung. Anas Urbaningrum, misalnya, terpidana kasus korupsi proyek Hambalang, menerima keringanan hukuman dari 14 tahun penjara menjadi 8 tahun penjara.
Keringanan juga diterima Sugiharto, pejabat di lingkungan Kementerian Dalam Negeri, yang tersandung kasus korupsi KTP elektronik. Mahkamah Agung memberikan keringanan hukuman menjadi 10 tahun kurungan penjara. Pada 2018 majelis kasasi yang diketuai almarhum Artidjo Alkostar memperberat hukuman Sugiharto menjadi 15 tahun penjara.
Selain hukuman, faktor lain yang menurut responden menjadi penyebab maraknya kasus korupsi di Indonesia adalah tingginya biaya politik untuk menduduki suatu jabatan tertentu. Biaya politik yang dimaksud berupa modal kampanye hingga suap jual-beli jabatan yang dalam beberapa tahun terakhir masih ditemukan di sejumlah daerah.
Tingginya biaya politik salah satunya dapat diamati dari laporan pengeluaran dana kampanye kepala daerah pada Pilkada 2020. Pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur, misalnya, Komisi Pemilihan Umum mencatat pengeluaran dana kampanye calon gubernur dan wakil gubernur mencapai Rp 5,6 miliar per pasangan calon. Artinya, dalam waktu lima tahun, butuh Rp 92,8 juta per bulan untuk mengembalikan modal kampanye.
Bahkan, di tingkat pemilihan wali kota dan wakil wali kota, terdapat beberapa calon yang menghabiskan dana kampanye lebih dari Rp 10 miliar. Artinya, butuh sekitar Rp 166,7 juta per bulan selama lima tahun untuk mengembalikan modal dana kampanye yang dibutuhkan jika calon kepala daerah ini menang dalam pilkada.
Jumlah yang dilaporkan pasangan calon kepala daerah ke KPU itu pun oleh sejumlah kelompok masyarakat sipil dinilai masih jauh dari jumlah riil yang dikeluarkan pasangan calon baik saat kampanye maupun keseluruhan proses pemilihan. Besarnya biaya politik ini yang menurut publik turut mendorong pejabat untuk korupsi.
Masyarakat pasif
Di balik persoalan hukum dan biaya politik, hal lain yang juga turut mendorong menjamurnya kasus korupsi adalah sikap pasif masyarakat. Lebih dari separuh responden (53,3 persen) mengaku hanya diam saat menemukan atau mengalami tindakan yang berkaitan dengan korupsi, seperti pungutan liar dan suap.
Sebagian responden memutuskan untuk diam karena takut terlibat masalah hukum. Sebagian yang lain memilih diam karena tak memahami cara pelaporan jika menemukan kasus pungutan liar atau suap di lingkungan mereka.
Layanan pelaporan terkait dugaan korupsi telah disediakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui laman KPK Whistleblower System (kws.kpk.go.id). Namun, belum seluruh masyarakat mengetahui adanya layanan aduan ini. Hanya 6,1 persen responden yang memilih melaporkan kepada KPK melalui layanan aduan yang tersedia saat menemukan kasus korupsi. Kondisi ini tentu jadi salah satu penghambat pemberantasan korupsi hingga ke tingkat daerah.
Bagi masyarakat yang aktif, sebagian di antaranya (27 persen) memutuskan untuk melaporkan temuan praktik suap atau pungutan liar ke pemerintahan setempat, seperti RT, RW, atau kelurahan. Hal ini tentu tidak menjamin seutuhnya upaya pemberantasan korupsi mengingat belum adanya mekanisme yang jelas saat aparat pemerintahan dalam skala terkecil menerima laporan dari masyarakat terkait adanya praktik korupsi skala kecil.
Alternatif
Di tengah sulitnya mengurai benang kusut korupsi di Indonesia, publik menawarkan alternatif sebagai jalan keluar, yakni memberlakukan kebijakan preventif dan kuratif secara bersamaan. Kedua kebijakan ini tidak hanya dilakukan pemerintah, tetapi juga dijalankan dengan menggandeng masyarakat pada semu daerah.
Upaya preventif menurut publik yang harus dilakukan pemerintah antara lain memberikan pendidikan antikorupsi hingga menanggung biaya politik saat kampanye. Sementara dari sisi masyarakat, upaya preventif dapat dilakukan dengan tidak memberikan uang atau barang dalam bentuk apa pun dalam setiap pengurusan dokumen.
Sementara itu, upaya kuratif yang dapat dilakukan pemerintah, menurut sebagian besar responden (54,9 persen), ialah dengan memberikan hukuman tambahan bagi koruptor. Hal senada juga dinilai perlu dilakukan masyarakat dengan memberikan hukuman sosial bagi koruptor, salah satunya dengan tidak memilih tokoh yang pernah tersandung kasus korupsi dalam pemilu.
Hingga saat ini publik juga masih menaruh harapan besar kepada KPK sebagai lembaga utama di Indonesia dalam pemberantasan korupsi. Kondisi ini tentu dapat menjadi modal sosial bagi pemerintah dan KPK untuk menggandeng warga agar bersikap aktif dalam upaya pencegahan ataupun penanganan korupsi di Indonesia.