Biaya Politik Pilkada Capai Rp 50 Miliar, KPK Ingatkan Kepala Daerah
Biaya politik pada pilkada mencapai Rp 30 miliar hingga Rp 50 miliar. Gaji dan insentif kepala daerah selama lima tahun tidak sebanding dengan biaya tersebut.
Oleh
YOLA SASTRA
·3 menit baca
PADANG, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi mengingatkan kepala daerah di Sumatera Barat untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi. Meskipun biaya politik pemilihan kepala daerah sangat tinggi, integritas dan idealisme kepala daerah dibutuhkan agar tidak terjebak dalam korupsi.
Berdasarkan data KPK, pembiayaan politik pada pilkada mencapai Rp 30 miliar hingga Rp 50 miliar. Sebesar 84 persen pembiayaan politik itu didanai oleh pihak ketiga. Sementara itu, gaji dan insentif kepala daerah selama lima tahun tidak sebanding dengan biaya tersebut.
”Kami memahami, biaya politik yang dikeluarkan dalam proses pilkada sangat tinggi sehingga berpotensi untuk terjadi penyalahgunaan wewenang untuk mengembalikan biaya-biaya politik itu. Oleh sebab itu, KPK saat ini hadir ke berbagai daerah mengantisipasi hal tersebut, termasuk di Sumbar,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron di Padang.
Ghufron hadir dalam Rapat Koordinasi Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Pimpinan KPK dengan Kepala Daerah Se-Sumatera Barat, Kamis (18/3/2021). Selain gubernur dan bupati/wali kota, rapat dihadiri pula oleh pejabat lembaga lainnya di Sumbar.
Ghufron mengatakan, biaya politik dalam pilkada di Indonesia yang tinggi itu biasanya tidak sepenuhnya berasal dari pasangan kepala daerah, melainkan didukung pihak ketiga. Kondisi itu menjadi salah satu pemicu kepala daerah melakukan korupsi untuk mengembalikan utang.
Ia pun mengingatkan, bagaimanapun kondisinya, kepala daerah mesti menghindari hal-hal yang bisa membuatnya terjebak dalam korupsi. Integritas dan idealisme kepala daerah sangat menentukan agar ia tidak mau melakukan tindakan tersebut.
Sejak 2004, sudah 429 kepala daerah di Indonesia terlibat kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. (Nurul Ghufron)
Menurut Ghufron, sudah banyak kepala daerah yang tersandung kasus korupsi. Sejak 2004, sudah 429 kepala daerah di Indonesia terlibat kasus korupsi yang ditangani oleh KPK. Adapun di Sumbar, ada tiga kasus kepala daerah yang masuk jurang korupsi.
Ghufron menambahkan, sejauh ini memang belum ada kepala daerah hasil Pilkada Serentak 9 Desember 2020, yang dilantik pada 5 Februari 2021, dilaporkan atas kasus korupsi. Selagi belum terjadi, KPK berupaya mencegah dengan mengingatkan para kepala daerah.
”Mumpung belum terjadi, lebih baik kami mencegah. Kami tidak ingin hadir untuk menangkap. Kami hadir untuk mencegah. Sepanjang bisa dicegah, akan kami cegah. Kalau sudah melakukan, tentu sebagai aparat penegak hukum, juga tidak boleh tutup mata, kami akan melakukan proses hukum,” ujar Ghufron.
Sementara itu, Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah dalam rapat mengatakan, pemprov mengapresiasi kedatangan KPK. Apa yang dilakukan tim koordinasi dan supervisi KPK selama ini sejalan dengan visi mewujudkan tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik yang bersih, akuntabel, dan berkualitas.
”Praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) dapat merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat bangsa dan negara sehingga membahayakan eksistensi negara. Ini harus kita hindari. Saya berharap, pada masa kepemimpinan saya, tidak ada yang KKN,” kata Mahyeldi.
Menurut Mahyeldi, kegiatan koordinasi dan supervisi KPK ini bertujuan untuk mendorong pemerintah daerah agar lebih transparan dan akuntabel dalam penyelenggaraan tata kelola pemerintahan. Pemprov akan memberikan perhatian khusus kepada tujuh organisasi perangkat daerah yang masuk dalam area intervensi, antara lain Bappeda, Bakeuda, UKPBJ, DPMPTSP, BKN, dan Inspektorat.
Berdasarkan catatan KPK, skor Monitoring Centre for Prevention (MCP)Sumbar tahun 2020 masih relatif baik, yaitu 71 persen. Meskipun capaian ini turun dibandingkan tahun 2019, yakni 77 persen, skornya masih di atas rata-rata nasional, 64 persen. Skor MCP tertinggi di Sumbar pada 2020 diraih oleh Pemkot Bukittinggi, yaitu 89 persen.