DPRD Telusuri Dugaan Penyimpangan Dana Covid-19 di BPBD Sumbar
DPRD Sumatera Barat melalui panitia khusus menelusuri dugaan penggunaan dana penanggulangan Covid-19 yang tak sesuai aturan senilai Rp 49 miliar di BPBD Sumbar.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — DPRD Sumatera Barat melalui panitia khusus menelusuri dugaan penggunaan dana penanggulangan Covid-19 yang tak sesuai aturan senilai Rp 49 miliar di Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumbar. Selain itu, ada pula indikasi pemahalan harga cairan pembersih tangan senilai Rp 4,9 miliar.
Wakil Ketua Pansus Covid-19 DPRD Sumbar Nofrizon, Rabu (24/2/2021), mengatakan, penelusuran itu didasari Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). ”Anggaran Rp 49 miliar tersebut ada indikasi diragukan penggunaannya. Kami siang ini meminta keterangan tim audit BPK,” kata Nofrizon.
Nofrizon menjelaskan, BPBD Sumbar mendapatkan anggaran Rp 160 miliar untuk penanganan Covid-19. Sebanyak Rp 10 miliar dikembalikan ke kas negara karena tidak terpakai. Dari total Rp 150 miliar yang digunakan, Rp 49 miliar dicurigai tidak sesuai aturan dan Rp 4,9 miliar dicurigai ada indikasi pemahalan harga.
Nofrizon mengatakan, Rp 4,9 miliar itu untuk pembelian cairan pembersih tangan (hand sanitizer). Berdasarkan LHP BPK, harga hand santizer Rp 9.000 per botol dilipatgandakan menjadi Rp 35.000 per botol. Dana sebanyak Rp 4,3 miliar dari Rp 4,9 miliar itu sudah dikembalikan rekanan ke kas negara karena temuan BPK itu.
Pansus Covid-19, kata Nofrizon, sudah memanggil organisasi perangkat daerah (OPD) terkait dan rekanan penyedia barang pekan lalu. Dari 11 rekanan, hanya tiga yang datang memenuhi panggilan, yaitu satu perusahaan alat kesehatan dan dua perusahaan batik.
”Kami tanya, bapak/ibu dapat kerja (orderan) dari siapa? Mereka jawab dari istri Kepala BPBD Sumbar. Dari tiga rekanan, dua belum berpengalaman (perusahaan batik) dan izinnya baru tahun 2020. Masa perusahaan batik mengadakan hand sanitizer?” ujar Nofrizon.
Menurut Nofrizon, ketiga rekanan itu mengaku tidak memberikan upah (fee) apa pun kepada keluarga pejabat yang memberi mereka order. Namun, saat ditanya lebih lanjut ke BPBD Sumbar, salah satu pejabatnya justru mengakui mendapat upah Rp 5.000 per botol hand sanitizer.
”Ia mengaku mendapat fee Rp 5.000 per botol. Ada di catatannya di notulensi rapat pekan lalu. Itu baru hand sanitizer, belum lagi thermogun, hazmat, masker, dan lainnya, yang belum sempat kami telusuri karena waktu terbatas,” ujar Nofrizon.
Selain hand sanitizer, lanjut Nofrizon, ketiga rekanan itu juga mendapat paket pengadaan barang lainnya dengan nilai total hingga Rp 17 miliar. Selain pemahalan harga, pembayaran juga dinilai tidak sesuai aturan karena dibayar secara tunai dengan jumlah miliaran rupiah tanpa disaksikan oleh petugas inspektorat.
Politisi Partai Demokrat itu menambahkan, Kamis (25/2/2021), pansus kembali memanggil semua rekanan dan pihak terkait dalam penggunaan anggaran penanganan Covid-19 di BPBD Sumbar. Hasil penelusuran pansus bakal disampaikan sehari kemudian.
Kepala Pelaksana BPBD Sumbar Erman Rahman tidak bersedia menjelaskan lebih lanjut terkait LHP BPK dan penelusuran Pansus Covid-19 DPRD Sumbar. Erman hanya mengatakan BPBD Sumbar menghormati dan menunggu hasil penelusuran oleh pansus.
”LHP BPK sudah keluar. Sekarang, pansus sedang bekerja, tentu kami hormati. Kami berterima kasih kepada pansus telah melakukan pengawasan kepada kami untuk bekerja lebih baik ke depan. Apa yang diputuskan pansus, itu yang terbaik bagi kami, kami serahkan ke pansus. Mudah-mudahan dalam waktu dekat hasilnya keluar,” kata Erman.
Ketua DPRD Sumbar Supardi menjelaskan, pembentukan Pansus Covid-19 untuk menindaklanjuti LHP BPK terkait penggunaan anggaran penanganan Covid-19 di BPBD Sumbar. Pansus dibentuk 17 Februari 2021 dan punya waktu kerja seminggu.
Menurut politisi Partai Gerindra ini, hasil kerja Pansus Covid-19 ini bisa dalam bentuk pendalaman materi ke BPK Perwakilan Sumbar. DPRD Sumbar juga bisa meminta BPK melakukan audit kembali, baik audit investigasi maupun audit lainnya.
Apa pun bentuk dan motifnya, tindakan merugikan negara harus diproses secara hukum. (Firdaus Diezo)
”Selain itu, DPRD Sumbar nantinya memberikan rekomendasi kepada Pemprov Sumbar agar secepatnya menindaklanjuti dan melaksanakan rekomendasi yang diperintahkan dalam LHP BPK. Jika ada unsur pidana, BPK juga bisa langsung meminta polisi menindaklanjuti,” kata Supardi.
Secara terpisah, pengamat hukum kesehatan Universitas Ekasakti, Firdaus Diezo, mendorong pansus bekerja lebih cepat mengungkap kasus dugaan penggunaan anggaran Covid-19 tidak sesuai peraturan di BPBD Sumbar. Ini agar jelas apakah tindakan itu termasuk pelanggaran atau tidak sehingga bisa segera ditindaklanjuti. Pemerintah daerah pun kemudian bisa fokus dalam menangani Covid-19.
”Dalam kondisi pandemi Covid-19 sekarang, jika dugaan (penyelewengan anggaran) ini benar, tentu sangat tidak terpuji. Negara sedang keteteran menghadapi pandemi, lalu ada dugaan penyelewengan dana,” kata Diezo.
Menurut Diezo, apa pun bentuk dan motifnya, tindakan merugikan negara harus diproses secara hukum. Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, memang ada kelonggaran dalam penggunaan anggaran dalam kondisi darurat. Namun, itu tidak serta-merta membiarkan penyalahgunaan anggaran.
Jika terbukti ada tindakan korupsi, kata Diezo, pelaku bisa dikenai hukuman mati sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
”Hukuman mati bisa diperuntukkan dalam kondisi tertentu, termasuk bencana, krisis ekonomi, dan lain-lain. Pandemi Covid-19 sudah ditetapkan pemerintah sebagai bencana nasional, sekalipun bukan bencana alam. Harus ada efek jera, kalau ini terbukti nanti,” ujar Diezo.