Bupati Kapuas dan Istri Korupsi buat Biaya Politik
Sumber uang yang diterima pasangan politisi, Ben dan Ary, diduga berasal dari berbagai pos anggaran di Pemkab Kapuas. Nilai totalnya diperkirakan Rp 8,7 miliar, yang di antaranya digunakan untuk membayar lembaga survei.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, NIKOLAUS HARBOWO, MAWAR KUSUMA WULAN
·3 menit baca
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat bersama istrinya yang merupakan anggota DPR Fraksi Partai Nasdem, Ary Egahni, digiring petugas seusai resmi menjadi tahanan dan menuju ruang ekspos di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (28/3/2023). Pasangan politisi Partai Golkar dan Partai Nasdem ini ditahan KPK karena kasus pemotongan anggaran disertai penerimaan suap di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Hasil dari pemotongan anggaran serta suap dipergunakan pasangan bupati dan anggota DPR RI Komisi III ini untuk dana kampanye pemilihan kepala daerah kabupaten maupun gubernur Kalimantan Tengah dan juga dana kampanye pemilihan anggota legislatif DPR RI. Total nilai uang korupsi yang diperoleh dan dipergunakan pasangan politisi ini senilai Rp 8,7 miliar.
JAKARTA, KOMPAS — Dengan modus memotong anggaran daerah, Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat dan istrinya, Ary Egahni, diduga melakukan korupsi untuk mendanai kontestasi di pemilihan kepala daerah maupun legislatif, membayar lembaga survei nasional, dan membiayai kebutuhan hidup. Jelang Pemilu 2024, praktik ini rawan terulang.
Dalam kasus ini, Ben juga diduga menerima gratifikasi dari pihak swasta. Ary yang duduk sebagai anggota DPR dari Fraksi Nasdem pun diduga memerintahkan beberapa kepala satuan kerja di Pemkab Kapuas untuk memberikan uang dan barang mewah.
Diperkirakan uang yang diterima keduanya dari praktik korupsi itu sekitar Rp 8,7 miliar. Pada Selasa (28/3/2023), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menahan keduanya.
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak mengatakan, sebagai Bupati Kapuas selama dua periode, 2013-2018 dan 2018-2023, Ben diduga menerima fasilitas dan sejumlah uang dari berbagai satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Pemkab Kapuas, Kalimantan Tengah, termasuk dari beberapa pihak swasta. Ary juga diduga aktif turut campur dalam proses pemerintahan, antara lain dengan memerintahkan beberapa kepala SKPD untuk memenuhi kebutuhan pribadinya dalam bentuk pemberian uang dan barang mewah.
Menurut Johanis, sumber uang yang diterima Ben dan Ary itu berasal dari berbagai pos anggaran resmi yang ada di SKPD Pemkab Kapuas. Tindak pidana korupsi lewat pemotongan anggaran itu dilakukan seolah-olah sebagai utang kepada penyelenggara negara, disertai dengan penerimaan suap di lingkungan Pemkab Kapuas.
Bupati Kapuas Ben Brahim S Bahat bersama istrinya yang merupakan anggota DPR Fraksi Partai Nasdem, Ary Egahni, diangkut mobil tahanan di Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (28/3/2023). Pasangan politisi parpol Partai Golkar dan Partai Nasdem ini ditahan KPK karena kasus pemotongan anggaran disertai penerimaan suap di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Hasil dari pemotongan anggaran serta suap dipergunakan pasangan bupati dan anggota DPR RI Komisi III ini untuk dana kampanye pemilihan kepala daerah kabupaten maupun gubernur Kalimantan Tengah dan juga dana kampanye pemilihan anggota legislatif DPR RI. Total nilai uang korupsi yang diperoleh dan dipergunakan pasangan politisi ini senilai Rp 8,7 miliar.
Dari pihak swasta, Ben menerima sejumlah uang terkait dengan pemberian izin lokasi perkebunan di Kabupaten Kapuas.
Fasilitas dan uang yang diterima keduanya kemudian digunakan untuk membiayai kebutuhan operasional Ben mengikuti pemilihan bupati Kapuas dan pemilihan gubernur Kalimantan Tengah tahun 2020, termasuk untuk keikutsertaan Ary dalam pemilihan anggota DPR RI tahun 2019. Bahkan, Ben juga meminta beberapa pihak swasta menyiapkan massa untuk kebutuhan kontestasi tersebut.
”Mengenai besaran jumlah uang yang diterima BBSB (Ben) dan AE (Ary) sejauh ini sekitar Rp 8,7 miliar, yang antara lain digunakan untuk membayar dua lembaga survei nasional,” ucap Johanis.
Fasilitas dan uang yang diterima oleh keduanya kemudian digunakan untuk membiayai kebutuhan operasional Ben mengikuti pemilihan bupati Kapuas dan pemilihan gubernur Kalimantan Tengah tahun 2020.
Ben dan Ary dijerat Pasal 12 huruf f dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Perubahan Atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Johanis mengatakan, kepala daerah sebagai penyelenggara negara sepatutnya menjadi teladan institusi dan pengayom bagi jajaran pegawai di lingkungannya. Bukan justru memanfaatkan jabatannya untuk melakukan praktik-praktik pungutan kepada para aparatur sipil negara (ASN) untuk kepentingan pribadinya.
Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Nasdem Bidang Kebijakan Publik dan Isu Strategis Hermawi Taslim mengatakan, partai menghormati proses hukum yang dijalankan oleh KPK terhadap Ary. ”Beliau (Ary) telah memberitahukan partai terkait status (yang diterapkan) KPK atas dirinya,” ujarnya.
Semua kader Nasdem, ujar Hermawi, telah menandatangani pakta integritas. Untuk itu, semua kader harus taat pada hukum. Nasdem pun meminta semua kader tetap menghormati pakta integritas itu.
Ditanya apakah Nasdem akan berikan pendampingan hukum terhadap Ary, Hermawi tak menjawab tegas. Ia hanya menyatakan, Ary sudah didampingi pengacara pribadi.
Terkait dengan Ben, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menegaskan akan memonitor kasus dugaan korupsi yang melibatkan Ben. ”Nanti saya monitor dulu,” ucapnya kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (28/3).
Akan tetapi, saat dikonfirmasi kembali, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyatakan bahwa Ben bukan kader Golkar.
Rawan terulang
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, praktik korupsi seperti yang dilakukan Ben dan Ary rawan terulang, terutama di daerah yang kepala daerahnya berkontestasi lagi di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Karena itu, peran pengawasan internal dan eksternal pemerintah daerah harus diperkuat.
Herman berharap, ada penguatan kolaborasi lembaga-lembaga pengawas dengan publik seperti Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) bersama komponen masyarakat sipil. Dengan demikian, kasus korupsi seperti dilakukan Ben dan Ary tidak terus berulang.