Berpantun Ria ala Politisi
Pantun kerap digunakan politisi sebagai media komunikasi politik. Dalam pertemuan antarsesama politisi, acara-acara besar partai hingga saat bertemu masyarakat. Sebatas gimik atau ada hal lain yang ingin dicapai?
Bunga selasih di perempatan,
Rindang daunnya warna kehijauan,
Mumpung masih ada kesempatan,
Mari bergabung di Koalisi Perubahan.
Sederet larik pantun yang dilantunkan oleh Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al Habsyi seusai buka puasa bersama di Nasdem Tower, Jakarta, akhir Maret lalu, tersebut sontak mengundang tawa. Melalui pantun, anggota Komisi III DPR ini mencairkan suasana di tengah sederet pertanyaan berat dari awak media. Melalui pantun itu pula, rasa penasaran wartawan coba untuk dijawabnya.
Dalam acara buka puasa bersama yang digelar Nasdem itu, tak hanya hadir elite dari PKS dan Partai Demokrat yang merupakan mitra koalisi Nasdem dalam Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP). Hadir pula petinggi Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sebenarnya bersama Partai Amanat Nasional (PAN) tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
Kehadiran elite partai politik (parpol) di luar KPP itu yang membuat penasaran awak media, utamanya kemungkinan kehadiran Golkar dan PPP menjadi sinyal kedua partai bergabung dalam KPP. Meski sinyal itu meredup belakangan karena Golkar dan PPP masih memilih bertahan di Koalisi Indonesia Baru (KIB), bahkan PPP sudah memutuskan mengusung capres PDI-P, Ganjar Pranowo, lantunan pantun dari Aboe setidaknya memperlihatkan bagaimana pantun biasa digunakannya untuk mencairkan suasana.
Baca juga:
> KIB Belum Bisa Putuskan Capres, Masih Butuh Pertemuan Lanjutan
> PPP Resmi Usung Ganjar Pranowo, Apa Parpol Berikutnya?
Aboe Bakar juga pernah berpantun seusai pertemuan antara jajaran pimpinan PKS dan Golkar di kantor DPP Golkar, Jakarta, awal Februari lalu. Melalui pantun, ia juga menjawab pertanyaan-pertanyaan serius dari awak media soal kemungkinan berkoalisi untuk menghadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Suasana serius kala itu otomatis berubah menjadi santai. Tergelak oleh pantun bernada rayuan agar Golkar mau melabuhkan pilihan politiknya pada KPP yang kala itu masih bernama Koalisi Perubahan.
Selain saat menjalin komunikasi dengan parpol lain, Aboe Bakar juga kerap menggunakan pantun untuk mendinginkan suasana saat rapat-rapat kerja Komisi III DPR. Kerap pula digunakannya untuk menyampaikan pesan kepada kader PKS saat kegiatan-kegiatan internal partai. Hal ini setidaknya terlihat saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) PKS, Februari 2023. Melalui pantun bernada jenaka, ia mengajak kader PKS dari berbagai penjuru Nusantara mengikuti rakernas hingga tuntas.
”Pantun membuat cerah suasana, membuat enjoy,” tutur Aboe Bakar saat ditanya alasannya kerap melantunkan pantun, beberapa waktu lalu.
Tak sebatas itu, pantun disebutnya telah menjadi bagian dari kehidupannya. Sudah lama ia terpikat oleh keindahan larik berima dalam pantun. Apalagi setiap kali pantun dilantunkan, ia melihat keceriaan yang tampak dari setiap pendengarnya. Bahkan, tak jarang, di tengah perdebatan alot, pantun kerap digunakannya juga dan mampu melunakkan sikap kukuh dari lawan bicara. Melihat setumpuk kelebihan pantun itu, ia pun tak ragu untuk membentuk tim khusus guna membantunya menyiapkan pantun.
Baca juga: Wacana Koalisi Besar Berembus, Apa Plus Minusnya?
Politisi lain
Aboe Bakar bukan satu-satunya politisi yang memilih pantun dalam komunikasi politik. Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, misalnya, sering pula berpantun atau membacakan parikan, pantun dalam bahasa Jawa. Bahkan, karena kebiasaannya berpantun, ia mengaku tidak butuh waktu lama untuk membuat sebuah pantun. Sering kali pantun justru muncul spontan di tengah acara setelah melihat, misalnya, suasana di acara tersebut.
”Pantun merupakan kesatuan dari tradisi kita. Penggunaan pantun memudahkan pesan untuk dipahami, utamanya di awal atau akhir pidato,” ujar Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKB ini menjelaskan alasan penggunaan pantun, di kantor DPP PKB, Jakarta, Kamis (16/3/2023).
Dengan alasan serupa, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan rajin menyelipkan pantun dalam pidatonya. Salah satu pantun yang kemudian diamplifikasi oleh banyak media massa adalah pantun yang dikemukakan dalam pidatonya saat acara pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) PAN, di Semarang, Jawa Tengah (Jateng), akhir Februari lalu.
Melalui pantun tersebut, ia ”menjodohkan” dua figur potensial capres-cawapres, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo-Menteri BUMN Erick Thohir. Presiden Joko Widodo, Ganjar, Erick, serta tamu undangan lain yang hadir, sontak merespons dengan tawa, senyum, sorak, hingga tepuk tangan. Di tengah rasa penasaran publik atas siapa capres-cawapres yang akan diusung parpol, tak butuh waktu lama bagi awak media menyerap dan memberitakannya sehingga spekulasi PAN akan mengusulkan pasangan ini untuk Pilpres 2024 berembus kencang.
Baca juga: Ganjar, Prabowo, dan Intensi Presiden Jokowi untuk Jadi ”King Maker”
Menurut Ketua Dewan Pakar PAN Drajad Wibowo, Zulkifli menyiapkan sendiri setiap pantun yang dibacakannya. Ada yang disiapkan sebelum acara, tetapi tidak jarang pantun spontan dilantunkannya di tengah acara alias tanpa persiapan sama sekali. Kepiawaian dalam berpantun ini disebutnya karena Menteri Perdagangan itu sudah terbiasa berpantun sejak kecil. ”Beliau dari Lampung. Pantun itu sudah bagian dari budaya masyarakat di sana,” ujarnya.
Pengalaman berpantun
”Jam terbang” dalam penggunaan pantun membuat Zulkifli tak terdengar kaku setiap membacakan pantun. Pesan dalam pantun akhirnya bisa tersampaikan kepada pendengarnya. Ini sekalipun materi yang ingin disampaikan terbilang berat di tengah massa pendengar yang justru tak ingin mendengarkan materi-materi yang berat. Sebagai contoh, menurut Drajad, saat kampanye terbuka PAN, visi dan misi partai yang disampaikan melalui pantun dilihatnya lebih bisa diserap masyarakat.
Selain Zulkifli, lanjut Drajad, banyak kader PAN lain yang juga gemar berpantun. Pantun ini bahkan kerap disampaikan dalam percakapan biasa di antara sesama kader sebagai bahan candaan.
Meski pantun disebut tak lepas dari ”keseharian” kehidupan di PAN, Drajad menepis pantun dijadikan sebagai alat untuk membangun citra tertentu. ”Tidak untuk citra, malah tidak kepikiran bercitra dari pantun. Pantun bukan sesuatu yang diprogramkan, tetapi muncul begitu saja, jadi kebiasaan. Jangan-jangan emang bagus, ya, kalau diprogramkan?” ujarnya.
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Airlangga Hartarto yang selama ini terkenal kaku dan sangat serius juga tak kalah dalam berpantun.
Keduanya seolah ingin memperlihatkan sisi lainnya yang ”santai” melalui pantun. Prabowo, misalnya, melontarkan empat pantun di Muktamar Rabithan Melayu-Banjar, di Tabalong, Kalimantan Selatan, 17 Maret lalu. Tiga di antara pantun tersebut isinya menyapa dan memuji warga Tabalong. Satu lainnya, Prabowo menyampaikan pesan persahabatan yang isinya meminta ia tak dilupakan apabila sudah mendapatkan kawan baru.
Adapun Airlangga mencoba melontarkan pantun lucu dua baris saat ia bersama istrinya, Yanti K Isfandiary, dan keluarga menonton konser grup musik asal Korea Selatan, Blackpink, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta, pertengahan Maret lalu. Pantun dari Menteri Koordinator Bidang Perekonomian itu, beserta istrinya, diabadikan dalam gambar video yang disiarkan melalui akun Instagram-nya.
”There is hiu doing camping, We love you Blackpink.” Demikian isi pantun yang setiap barisnya dibacakan terpisah oleh Airlangga dan Yanti.
Baca juga: Adu Siasat Mengikat Koalisi Partai Politik
Kian sering digunakan
Pengajar Sastra Indonesia Universitas Gadjah Mada, Aprianus Salam, mengatakan, pantun merupakan bagian dari tradisi lisan yang ada di hampir semua daerah di Indonesia meski disebut dengan nama yang berbeda-beda. Semula, pantun digunakan dalam komunikasi informal masyarakat untuk saling menasihati dan bergurau. Akan tetapi, ada pula penggunaannya dalam sejumlah upacara formal.
Seiring dengan perkembangan zaman, pantun kini lebih sering digunakan dalam ruang-ruang formal, tidak terkecuali dalam agenda politik. Ada proses konversi yang menggeser sifatnya dari seremonial dan bernuansa ritual menjadi produk bahasa yang sangat profan. Pergeseran itu juga turut mengubah persiapan seseorang dalam berpantun.
”Penggunaan pantun cenderung spontan, dulu. Sekarang berbeda, harus disiapkan karena juga lebih sering digunakan pada acara-acara formal,” kata Aprianus.
Raih popularitas
Pengajar Komunikasi Politik Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Aloysius Gonzaga Eka Wenats, melihat, pantun dalam interaksi antarpolitisi cenderung digunakan untuk mencairkan suasana. Nuansa pembicaraan politik yang terkesan kaku hendak dibuka dengan cara yang lebih ringan. Produk budaya lokal itu juga bisa menjadi jembatan yang membuka pembicaraan ke arah yang lebih serius.
”Pantun dipilih karena singkat, mudah diingat, dan ada unsur humornya,” ujar Eka.
Unsur hiburan di dalam pantun itu juga yang membuatnya lebih disukai oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, tidak terkecuali politisi. Karena itu, pesan apa pun yang disampaikan melalui pantun, termasuk hal-hal yang menyakitkan, cenderung lebih bisa diterima.
Sekalipun ringan, pantun dapat menjadi penanda keseriusan seseorang dalam berbahasa. Hal itu terlihat ketika penggunanya menggabungkan kalimat dalam kerangka yang utuh dan logis. Keseriusan itu juga memberikan kesan penting pada peristiwa yang tengah berlangsung sehingga lebih mudah untuk diperhatikan.
Baca juga: ”Tiki-taka” Partai Politik Membonceng Piala Dunia 2022
Dalam konteks komunikasi politik, kata Eka, kemampuan berpantun memberikan impresi kecerdasan verbal seorang politisi. Kemampuan khas menyambung kata dan kalimat yang berima dalam waktu cepat juga bisa membuat mereka lebih populer di mata masyarakat.
Kendati demikian, popularitas yang bisa diraih berkat kecerdasan berpantun itu tidak serta-merta bisa berbuah insentif elektoral. Sebab, tingkat keterpilihan seorang politisi tidak hanya dipengaruhi oleh citra yang dia munculkan. Hal itu membutuhkan waktu yang lebih panjang karena dipengaruhi kuat oleh kerja nyata mereka yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.
”Pantun sebagai alat untuk mencapai popularitas itu memang satu hal. Namun, untuk elektabilitas itu berbeda karena ukurannya adalah kinerja dan rekam jejak para politisi itu,” kata Eka.