Wacana Koalisi Besar Berembus, Apa Plus Minusnya?
Di tengah intensitas komunikasi politik antarketua umum partai politik yang terus meningkat, wacana koalisi besar mulai muncul. Apa saja plus dan minusnya?
> Koalisi Indonesia Bersatu membuka kemungkinan partai politik lain untuk bergabung.
> Koalisi besar bisa meringankan kampanye capres-cawapres yang diusung.
> Koalisi besar tidak menjamin kemenangan di pemilihan presiden. Tetap harus ditopang elektabilitas capres-cawapres yang diusung.
Wacana pembentukan koalisi besar menjelang Pemilihan Presiden 2024 tiba-tiba saja mengemuka dari Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto setelah berbuka puasa bersama di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Nasdem atau Nasdem Tower, Jakarta, Sabtu (25/3/2023). Semula, awak media memang bertanya soal kemungkinan bersatunya Koalisi Indonesia Bersatu dengan Koalisi Perubahan untuk Persatuan. Pasalnya, momen buka puasa bersama itu telah mempertemukan pimpinan partai politik dari dua poros koalisi berbeda.
Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) merupakan gabungan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Adapun Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) menaungi Partai Nasdem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Selain Airlangga, Wakil Ketua Umum PPP Rusli Effendi juga hadir. Hanya elite PAN yang tidak terlihat. Adapun elite dari tiga partai politik (parpol) dalam KPP semua hadir.
Saat itu, Airlangga mengatakan, penting untuk menjaga komunikasi antarparpol sekalipun berada dalam koalisi yang berbeda. Keterbukaan informasi perlu dijaga agar seluruh proses politik berjalan dengan baik. Ia pun tak memungkiri kemungkinan KIB mengubah komposisi dengan anggota baru dari parpol lain. ”Koalisi besar di mana-mana menguntungkan Indonesia. Jadi, kita tunggu tanggal mainnya,” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyebut, semangat membentuk koalisi besar sudah ada sejak KIB dibentuk. Pertemuan antarketua umum parpol merupakan ajang untuk menguji coba berbagai kemungkinan, baik pasangan calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) maupun komposisi koalisi.
”Saya kira pertemuan antarpimpinan parpol dalam rangka meng-exercise itu semua, membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi,” katanya (Kompas, 28/3/2023).
Tak hanya di internal Golkar, anggota KIB lainnya juga melihat urgensi pembentukan koalisi besar. Ketua Majelis Pertimbangan PPP Romahurmuziy dihubungi dari Jakarta, Kamis (30/3/2023), mengatakan, koalisi besar bisa dibentuk untuk memenuhi kebutuhan taktis pemenangan pilpres.
Baca Juga: Koalisi Dini, Ikhtiar Parpol Lepas dari Bayang-bayang Figur Capres
Strategi itu setidaknya pernah dilakukan oleh parpol-parpol pendukung pasangan Prabowo Subianto dengan Hatta Radjasa pada Pilpres 2014. Prabowo-Hatta diusung Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), PPP, dan Partai Bulan Bintang (PBB) dengan penguasaan mayoritas kursi di DPR, yakni sebesar 52 persen. Koalisi bertambah besar setelah bergabungnya Partai Demokrat sehingga KMP menguasai 323 kursi atau 63 persen dari total kursi di parlemen.
Romahurmuziy yang pada 2014 menjabat sebagai Ketua Divisi Strategi Kampanye KMP mengungkapkan, keuntungan terbesar dari koalisi besar adalah kemudahan memobilisasi massa dalam berkampanye.
Parpol anggota koalisi memiliki basis massa di semua daerah sehingga memudahkan tim untuk menjangkau tokoh populer penarik suara. Saluran kampanye pun menjadi lebih luas karena pasangan capres dikampanyekan oleh para anggota legislatif dan calon anggota legislatif (caleg) di basis wilayahnya masing-masing.
”Biaya juga menjadi lebih ringan. Luasnya basis dukungan dari seluruh anggota koalisi membuat beberapa biaya kampanye dan mobilisasi ditanggung bersama para anggota legislatif dan caleg koalisi,” kata politisi yang akrab disapa Romy.
Tak jamin kemenangan
Meski demikian, ada pula sisi merugikan dari koalisi besar. Durasi kampanye yang terbatas berdampak pada sulitnya pemerataan kampanye capres-cawapres pada semua basis wilayah parpol koalisi. ”Biasanya ini menjadikan semangat pemenangan di partai yang kurang disapa basisnya juga melemah,” tutur Romy.
Baca Juga: Adu Siasat Mengikat Koalisi Partai Politik
Sekalipun mesin parpol terus bergerak, koalisi besar tidak serta-merta menjamin kemenangan pasangan yang diusung. Pada 2014, Prabowo-Hatta kalah dari pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang didukung koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Nasdem, Partai Hanura, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Kekalahan itu tidak terlepas dari faktor personal yang berpengaruh pada keterpilihan capres.
”Waktu itu, Pak Prabowo dipersepsikan ’kalah merakyat’ ketimbang Pak Jokowi. Itu hasil survei kami sejak enam bulan jelang pilpres. Ada 11 aspek kepemimpinan yang kami uji dua pekan sekali, antara lain kewibawaan, pengalaman jabatan, latar belakang keluarga, ketegasan, termasuk merakyat. Pak Prabowo unggul di semua aspek kecuali merakyat. Padahal, merakyat saat itu bobotnya besar sekali di mata pemilih,” papar Romy.
Stabilitas pemerintah
Ketua Dewan Pakar PAN Dradjad Wibowo mengatakan, pembentukan koalisi besar lebih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pasca-pemilu, yakni mewujudkan stabilitas pemerintahan. Sistem pemilu proporsional terbuka menghasilkan parlemen yang multipartai tanpa dominasi satu parpol, sebagai wujud dari kebinekaan rakyat. Konsekuensinya, presiden membutuhkan koalisi parpol yang besar. ”Dalam sistem ketatanegaraan kita, presiden membutuhkan mayoritas di DPR agar visi dan misinya bisa diwujudkan,” ujarnya.
Oleh karena itu, ada dua kemungkinan waktu terbentuknya koalisi besar. Pertama, jika pilpres berlangsung pada putaran kedua, pembentukan koalisi besar akan berlangsung jelang putaran kedua pilpres. Kedua, saat konsolidasi pemerintahan setelah ada presiden terpilih.
Berkaca pada empat periode kepemimpinan terakhir, pemerintahan selalu ditopang oleh koalisi besar yang dominan di parlemen. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memenangi Pilpres 2004 sekalipun diusung oleh koalisi yang kalah dominan dari pasangan lawan, yakni Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi. Dukungan koalisi yang tak dominan itu sempat menghambat kerja pemerintah karena terjadi konflik perebutan kursi pimpinan alat kelengkapan Dewan (AKD) di DPR antara pendukung pemerintah yang menamakan diri Koalisi Kerakyatan dan Koalisi Kebangsaan yang berada di luar pemerintahan.
Namun, koalisi pemerintahan kemudian membesar ketika Golkar berpindah haluan lantaran Kalla terpilih sebagai ketua umum partai beringin. Koalisi pendukung Yudhoyono-Kalla pun menguasai 404 kursi atau 73,45 persen dari total 550 kursi di DPR.
Bahkan, pada periode kedua kepemimpinannya bersama Boediono, Yudhoyono kembali membentuk koalisi pemerintahan yang memiliki 423 kursi atau 75,53 persen dari total 560 kursi DPR.
Lima tahun berikutnya, pola serupa kembali terjadi. Pasangan Joko Widodo-Kalla yang diusung Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dengan penguasaan kursi parlemen sebesar 37,14 persen menang atas pasangan Prabowo-Hatta yang didukung KMP. Namun, setelah Jokowi terpilih lalu dilantik, KMP yang memiliki kursi dominan di parlemen bermanuver dengan menguasai seluruh pimpinan AKD di DPR. Itu membuat DPR lumpuh selama 48 hari. Parlemen baru berfungsi kembali setelah ada kesepakatan pembagian kursi pimpinan AKD.
Baca Juga: Sederet Daya Memikat Parpol untuk Tiket Pencalonan Anggota Legislatif
Karena itu, Jokowi memperbesar koalisi dengan menarik PPP, PAN, dan Golkar ke pemerintahan. Dengan bergabungnya ketiga parpol itu, KIH yang kemudian berubah nama menjadi Koalisi Kerja Sama Partai Pendukung Pemerintah (KP3) menguasai 60,17 persen kursi di DPR, yaitu sebanyak 337 kursi.
Pada periode keduanya, Jokowi bahkan membentuk koalisi pemerintahan yang lebih besar, yakni dengan menguasai 81,9 persen dari total 575 kursi di DPR, yakni sebanyak 471 kursi.
Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati, melihat, pembentukan koalisi besar secara politis memang dapat berkontribusi menjaga stabilitas pemerintahan. Secara administratif, pengisian jabatan di pos-pos tertentu oleh figur yang ideal juga akan lebih mudah karena ada sistem setor nama dari setiap parpol anggota koalisi.
”Secara psikologis, posisi koalisi besar sama strategisnya, baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Hal ini yang kemudian bisa memengaruhi pilihan politik, baik pemilih maupun kandidat,” kata Wasisto.
Baca Juga: Lika-liku Parpol Raih Simpati Anak Muda demi Mendulang Suara
Kendati demikian, ia mengingatkan, koalisi besar yang dominan di parlemen berpotensi memiliki kekuasaan yang lebih besar ketimbang presiden. Logika parlementer ini bisa membuat langkah presiden sebagai eksekutif terbatas karena harus mengakomodasi kepentingan legislatif. Koalisi besar juga belum tentu utuh hingga akhir masa pemerintahan.
”Pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa pada setiap akhir periode pemerintahan, parpol anggota koalisi sudah menyiapkan sekoci politik dengan bermanuver sendiri,” ujar Wasisto.
Selain itu, koalisi besar tak bisa menjamin pasangan capres dan cawapres yang diusung bakal menang. Kekuatan elektoral figur, terutama yang memiliki basis massa loyal, lebih berpengaruh signifikan di hadapan pemilih ketimbang dukungan parpol.
”Itu mengingatkan pada konteks Pilpres 2014 ketika posisi Jokowi yang underdog ternyata lebih difavoritkan oleh pemilih daripada Prabowo yang notabene sudah kuat, baik secara koalisi maupun latar belakang personal,” kata Wasisto.