Koalisi Dini, Ikhtiar Parpol Lepas dari Bayang-bayang Figur Capres
Koalisi dini yang dibangun Partai Golkar, PAN, dan PPP jelang Pemilu 2024 merupakan pola baru dalam praktik politik di Tanah Air. Namun, pola baru itu tidak akan ideal jika tak memenuhi sederet persyaratan.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (tengah) berbincang dengan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan (kanan) dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa (kiri) di Rumah Heritage Jakarta, Kamis (12/5/2022) untuk membahas penjajakan koalisi partai dalam Pemilu 2024.
Lebaran selalu menjadi momen istimewa bagi elite-elite partai politik karena pada saat itulah ada alasan khusus untuk saling bertemu dan berkomunikasi lebih dalam satu sama lain. Tidak terkecuali bagi elite Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. Pada bulan Syawal ini, momen keakraban itu bahkan berujung pada koalisi politik.
Komunikasi antarelite parpol sebenarnya sudah dijalin sejak 2020, karena pada saat itu setidaknya ada tiga ketua umum parpol yang baru terpilih. Mereka adalah Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono, dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa. Tidak lama berselang setelah dilantik, ketiganya pun aktif bersilaturahmi ke sejumlah pimpinan partai yang lain.
Sepanjang 2021, komunikasi antarparpol semakin intens. Hingga pada 2022, intensitas pertemuan antarelite kian bernuansa politis karena pemilu terhitung tinggal dua tahun lagi. Terbaru, ada pertemuan silaturahmi dalam rangka Lebaran antara Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri, serta Agus Harimurti Yudhoyono dengan Airlangga Hartarto.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (tiga dari kiri) berbincang santai dengan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa (dua dari kiri), dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (kedua dari kanan) didampingi Bendahara Umum Golkar Dito Ganinduto, politikus PAN Asman Abnur, dan politikus PPP Muhamad Mardiono.
Dari berbagai ”silaturahmi” itu, pertemuan yang diinisiasi Airlangga di Rumah Heritage, Jakarta Pusat, Kamis (12/5/2022), menjadi yang paling menonjol. Sebab, pada pertemuan itu secara konkret disepakati pembentukan Koalisi Indonesia Bersatu, yang terdiri atas tiga partai, yakni Golkar, PAN, dan PPP. Ini menjadi koalisi parpol yang paling awal terbentuk menjelang Pemilu 2024.
Baca juga: Menakar Arah Koalisi Dini Tiga Partai Politik
Situasi ini sedikit berbeda dengan fenomena pembentukan koalisi parpol sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019 yang cenderung dilakukan di menit-menit terakhir menjelang pendaftaran pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Koalisi yang terbentuk ketika itu pun cenderung berbasis pada pilihan capres. Figur capres dan elektabilitasnya seolah menjadi ”batu penjuru” bagi pembentukan koalisi partai.
Soal kekuatan figur, sejarah politik di Indonesia pun turut mencatat bagaimana parpol yang sudah lama eksis seperti PPP terbelah hanya karena perbedaan pilihan capres dan koalisi. Paca Pemilu 2014, PPP terbelah menjadi dua kelompok, yakni kubu Romahurmuziy dan kubu Djan Faridz, karena berbeda pilihan koalisi. Saat itu, kubu Djan ingin tetap mendukung Prabowo Subianto, sementara kubu Romi memilih merapat ke koalisi parpol pendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Perbedaan pilihan capres itu pun berlanjut hingga menjelang Pemilu 2019.
Dengan konstelasi koalisi yang telah terbentuk antara Golkar, PAN, dan PPP, apakah ini berarti ada perubahan pola koalisi? Sebab, berbeda dengan pola pada pemilu sebelumnya, koalisi tiga partai itu bahkan belum memiliki capres-cawapres definitif, dan disebut belum ada pembicaraan ke arah sana.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F01%2F19%2F81a050e4-6cfe-467c-b8b9-a377f345439e_jpg.jpg)
Sekretaris Fraksi PAN Yandri Susanto saat ditemui di Kompleks DPR, Jakarta, Jumat (19/1/2022).
”Kalau dilihat dari jumlah kursi dan syarat mengusung capres (presidential threshold 20 persen), memang tiga partai ini lebih dari cukup. Namun, siapa presidennya belum dibicarakan, karena ini baru pertemuan awal. Segalanya masih dinamis dan kami terbuka untuk kerja sama dengan partai lainnya,” ungkap Wakil Ketua Umum PAN Yandri Susanto, Minggu (15/5/2022) di Jakarta.
Yandri yang juga Ketua Komisi VIII DPR ini pun optimistis komunikasi intensif akan terus terjadi di antara ketiga partai dengan partai-partai lainnya. Sebab, Zulkifli tidak memiliki hambatan apa pun untuk menjalin komunikasi dengan partai lain. PAN siap bekerja sama dan terbuka dengan parpol lainnya.
Keberadaan koalisi dengan Golkar dan PPP, lanjut Yandri, dipandang sebagai langkah awal yang positif untuk membangun kesepahaman antarpartai dalam membangun Indonesia ke depannya yang lebih baik. Tujuan antara yang ingin dicapai saat ini ialah kemenangan Pemilu 2024.

”Ya, tentu intinya kami ingin menang pemilu. Pasti ada pertemuan-pertemuan berikutnya untuk membicarakan visi-misi, strategi, serta banyak hal lain yang mesti dituntaskan. Apakah perlu juga mengajak partai lain dan sebagainya, itu akan dibahas, termasuk siapa capresnya,” katanya.
Politik gagasan
Ketua DPP Partai Golkar yang juga memimpin Golkar Institute, suatu lembaga kajian dan pengkaderan Golkar, Tubagus Ace Hasan Syadzily, mengatakan, partainya tidak mau serta-merta terbelenggu dengan popularitas dan elektabilitas semata. Saat ini, yang dibutuhkan ialah politik gagasan.
”Kita ini kan berbangsa dan bernegara bukan soal popularitas. Nasib bangsa itu ditentukan oleh pendekatan gagasan yang akan kita kedepankan serta apa yang ditawarkan kepada rakyat. Baru setelahnya kita bicara soal siapa figur bangsa yang tepat mengisi peran dan posisi itu. Kalau sekadar popularitas, kenapa tidak memilih artis saja,” ungkapnya.
Dengan dasar argumentasi politik gagasan itulah, koalisi yang diinisiasi Golkar tersebut ingin membentuk lanskap politik dari koalisi yang menggunakan pendekatan teknokratis. Selain itu, juga kesepahaman dalam membangun platform, visi-misi, dan program bersama, yang nantinya akan menjadi arah perjuangan politik di 2024.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F01%2F08%2F020b60ca-5b87-4530-9f83-d99c98e8e13a_jpg.jpg)
Ace Hasan Syadzilly
”Soal figur dan lain-lain itu akan pula menjadi bagian yang nanti akan dibicarakan. Hanya saja, kami ingin lanskap politik kita itu dalam membentuk koalisi memang didasarkan pada pergulatan pemikiran dan pendekatan yang lebih teknokratis dalam merumuskan arah pedoman perjuangan,” ucapnya.
Baca juga: Pasca-Koalisi Golkar-PAN-PPP, Ridwan Kamil Sowan ke Airlangga dan Zulkifli
Ace memastikan pembentukan koalisi itu salah satunya ialah untuk meraih kemenangan, terutama di dalam pilpres. Namun, sifat koalisi itu inklusif dan terbuka untuk komunikasi politik lebih lanjut dengan parpol lainnya.
Koalisi itu pun lebih diorientasikan pada pilpres, sementara untuk pemilu legislatif (pileg), setiap calon anggota legislatif partai dapat berkompetisi secara fair. ”Hanya untuk konteks pilpres, kita bisa menyatukan diri di dalam konsep bersama,” kata Ace.
Meminimalkan perpecahan
Menurut Sekretaris Jenderal PPP Arwani Thomafi, salah satu tujuan pembentukan koalisi itu ialah untuk memperkuat komitmen parpol menghadirkan kompetisi yang lebih elegan, dan “mengasyikkan,” serta memberikan pendidikan politik. Dengan demikian, pendekatan itu diharapkan bisa meminimalisir potensi-potensi perpecahan.

Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arwani Thomafi hadir dalam acara Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) II PPP di Jakarta, Jumat (15/4/2022).
“Jangan sampai pemilu menjadi pintu perpecahan antarkelompok, antaranak bangsa, seperti terjadi pada Pemilu 2019 lalu,” katanya.
Soal potensi perpecahan ini, PPP sejak awal mendorong agar dapat hadir minimal tiga capres dalam Pemilu 2024 untuk meminimalisir terjadinya polarisasi. Namun, apakah hadirnya koalisi ini akan bisa mewujudkan poros capres yang baru, atau memungkinkan hadirnya capres lebih dari dua?
“Apakah bisa lebih dari dua calon, atau tiga calon, itu lihat dinamika nanti,” ungkapnya.
Dalam koalisi ini, PPP mengedepankan pembangunan demokrasi yang lebih berkeadaban, dan menjunjung tinggi persatuan. Soal nanti siapa capres yang akan diusung oleh koalisi, hal itu akan dirumuskan lebih teknis dalam pertemuan intensif berikutnya.

“Pada saatnya, kami akan duduk bareng membicarakan hal-hal itu secara lebih pas, baik mengenai capres dan hal-hal lainnya. Namun, menjaga persatuan itu yang utama bagi kami,” katanya.
Pembentukan koalisi yang lebih awal, menurut Arwani, dirasakan perlu karena ketiga parpol sama-sama menyadari belum bisa mengusung capres sendiri. Oleh karena itu, kerja sama dan komunikasi lebih awal antarparpol harus jauh-jauh hari dilakukan guna memantapkan kesiapan parpol menjelang Pemilu 2024. Sebab, bagaimanapun konstitusi telah mengatur parpol atau gabungan parpol sebagai pengusung capres.
Langkah terobosan
Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Djayadi Hanan menilai, pembentukan koalisi parpol di waktu yang relatif awal ini merupakan langkah terobosan yang bisa memberikan dampak positif bagi parpol. Apabila pola pemilu-pemilu sebelumnya adalah koalisi terbentuk atau terikat berbasis pada capres dan elektabilitasnya, kini pola lain berusaha dimunculkan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F03%2F20%2Fcd182e73-9975-4fd4-ad02-d3ca6d09f3b2_jpeg.jpg)
Direktur Lembaga Survei Indonesia Djayadi Hanan
”Pola koalisi berbasis figur capres akan lebih pragmatis sehingga bisa jadi ada parpol yang terpaksa masuk koalisi karena tidak memperoleh capres lainnya. Namun, bukan berarti pola baru ini merupakan yang ideal, karena tidak ada pola yang ideal. Pola ini akan baik dengan sejumlah syarat,” katanya.
Baca juga: Koalisi Golkar, PPP, dan PAN Buka Pintu untuk Parpol Lain
Salah satu syaratnya ialah anggota koalisi harus benar-benar duduk bersama mencari dan menentukan capres. Bagaimana menentukan kualifikasi capres yang diinginkan, serta merumuskan strategi pemenangan bersama-sama.
”Dengan mekanisme penentuan capres bersama-sama ini, siapa pun capres yang terpilih akan menjadi milik bersama koalisi, bukan dominan menguntungkan salah satu parpol saja,” katanya.
Efek ekor jas yang ditimbulkan dari pencalonan seorang figur menjadi capres itu akan lebih berdampak merata bagi semua parpol anggota koalisi jika penentuannya dilakukan melalui mekanisme kesepakatan yang solid antaranggota koalisi. Dampak positif akan mengalir ke semua parpol koalisi yang mengusung capres.
Pola koalisi berbasis figur capres akan lebih pragmatis sehingga bisa jadi ada parpol yang terpaksa masuk koalisi karena tidak memperoleh capres lainnya. Namun, bukan berarti pola baru ini merupakan yang ideal, karena tidak ada pola yang ideal. Pola ini akan baik dengan sejumlah syarat.
“Tidak seperti pada Pemilu 2019, ketika hanya partai tertentu yang memperoleh poin elektabilitas dari capres,” ucapnya. Pembentukan koalisi lebih awal, di sisi lain juga menguntungkan parpol. Sebab, sedari awal mereka sudah punya tiket mengajukan capres. Siapa pun nantinya yang dipilih menjadi capres, dipastikan telah memiliki ”tiket” untuk berkompetisi. Hal ini menjadikan parpol yang memiliki tiket akan jauh lebih menarik bagi tokoh atau figur potensial.
“Koalisi parpol itu, misalnya, akan lebih menarik bagi figur-figur yang belum punya partai, tetapi memiliki elektabilitas tinggi, seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, atau Khofifah Indar Parawansa. Sebab, mereka jelas-jelas punya tiket,” katanya.
Penentuan koalisi lebih awal juga membuat parpol-parpol lebih punya banyak waktu untuk menentukan capres paling sesuai. Koalisi pun punya kesempatan lebih panjang melakukan komunikasi politik sejak dini ke semua figur potensial, pemilih, maupun parpol lainnya. Pembentukan koalisi juga memancing ekspos kepada publik, dan itu menjadi sarana marketing politik gratis yang baik bagi parpol.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F10%2F27%2Ff9d0d687-3464-466f-8eaf-f007de6c7706_png.jpg)
Elektabilitas Pasangan Calon Presiden di Jawa Barat. N=800
”Kalau capres-cawapres yang diusung menang, sangat besar kemungkinan koalisi itu permanen sampai pemerintahan berlangsung karena mereka merasa memiliki capres bersangkutan, dan bersama-sama memenangkannya,” ucap Djayadi.
Segala keuntungan dan dampak positif itu bisa diraih parpol anggota koalisi sepanjang mereka betul-betul konsisten dalam merumuskan strategi bersama. Itu menjadi resep paling utama untuk memastikan koalisi parpol yang dibentuk sejak dini dapat meraih keuntungan maksimal.
”Ini satu terobosan positif dan perlu diapresiasi, asalkan mereka bisa merumuskan bersama, baik dalam penentuan capres maupun strateginya. Bukan cuma gimmick semata. Sepanjang mereka serius mengerjakan strategi politik ini, ada keuntungan yang potensial diraih,” ujarnya.
Bahkan, tidak hanya sebatas pilpres, koalisi yang disusun sejak dini juga dapat merumuskan taktik dan strategi bersama dalam memastikan setiap anggota memperoleh kursi yang cukup di legislatif. Misalnya, menurut Djayadi, anggota koalisi dapat saling mendukung untuk memperoleh kursi di daerah pemilihan yang merupakan kantong suara tiap-tiap parpol.
Namun, sekali lagi, itu akan sangat bergantung pada komitmen dan konsistensi parpol anggota koalisi untuk solid bekerja sama merumuskan strategi dan memastikan kemenangan bersama dalam pilpres maupun pileg.