Adu Siasat Mengikat Koalisi Partai Politik
Koalisi memang tercipta karena ada kepentingan yang sama: memenangi Pilpres 2024. Namun, perlu diingat, tak selamanya parpol-parpol punya kepentingan yang sama. Lalu, bagaimana siasat parpol untuk mengikat koalisi?

Bendera partai politik peserta Pemilu 2019 memenuhi pinggiran jalan layang di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (5/4/2019). Jelang pelaksanaan Pemilu 2019, alat peraga kampanye partai politik, calon anggota legislatif, dan calon presiden bertebaran di berbagai sudut kota.
- Demi terwujudnya Koalisi Perubahan, Partai Nasdem, Demokrat, dan PKS sepakat serahkan pemilihan bakal cawapres kepada Anies Baswedan.
- Partai Gerindra dan PKB memilih membuat pakta integritas sebagai pengikat kerja sama politik di antara mereka.
- Koalisi Golkar, PAN, dan PPP belum juga menetapkan cawapres karena berdalih ingin lebih dulu rumuskan platform dan agenda prioritas.
Anies Baswedan berjalan menembus kerumunan massa yang memadati sebagian Jalan Proklamasi hingga halaman depan Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat, Jakarta, Kamis (2/3/2023) siang. Rintik hujan tak menghalangi langkah Anies untuk memasuki halaman kantor partai politik yang baru sebulan lalu menetapkannya sebagai bakal calon presiden. Di hadapan ratusan kader dan simpatisan Demokrat yang berkali-kali meneriakkan namanya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyampaikan orasi singkat untuk membakar semangat mereka.
Tak hanya menyapa para kader dan simpatisan, Anies juga datang untuk mengikuti rapat terbatas Majelis Tinggi Partai Demokrat. Dalam rapat yang berlangsung sekitar satu jam itu, Anies mendiskusikan gagasan perubahan dan perbaikan bangsa bersama dengan para pengambil keputusan strategis Partai Demokrat.
Upaya menyamakan gagasan menuju pilpres sebelumnya juga dilakukan Anies dalam ”Apel Siaga Pemenangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 2024” di Stadion Madya Gelora Bung Karno, Jakarta, Minggu (26/2/2023). Pada momen yang digelar tiga hari setelah PKS mendeklarasikan Anies sebagai bakal calon presiden (capres) itu, Anies menyampaikan ide yang akan diimplementasikan saat berkontestasi di PIlpres 2024. Jauh sebelum dua momentum tersebut, Anies telah berkeliling ke berbagai daerah untuk menyosialisasikan diri dan gagasannya bersama dengan sejumlah elite Partai Nasdem. Nasdem merupakan partai pertama yang mendaulat Anies sebagai bakal capres pada Oktober tahun lalu.
Meski tak mendeklarasikan dukungan secara bersamaan, baik Nasdem, Demokrat, maupun PKS sepakat membangun koalisi untuk mengusung Anies. Setelah pembicaraan panjang selama lebih dari sembilan bulan, ketiga parpol itu berhasil merumuskan piagam kerja sama yang disepakati bernama Koalisi Perubahan. Piagam itu kini telah ditandatangani Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. Presiden PKS Ahmad Syaikhu disebut juga akan menandatanganinya dalam waktu dekat.

Bakal calon presiden Anies Baswedan (kiri) naik ke atas panggung bersama Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (kedua dari kiri) dan Edhie Baskoro Yudhoyono (ketiga dari kiri) di DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023).
Mayoritas parpol peserta pemilu memang harus berkoalisi untuk mengusung capres dan cawapres. Sebab, merujuk syarat pencalonan presiden dan wakil presiden yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pemilu, hanya parpol atau gabungan parpol yang menguasai minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh sedikitnya 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya yang dapat mengusung capres-cawapres.
Mengacu pada syarat tersebut, dari sembilan parpol yang ada di parlemen saat ini, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang bisa mengusung capres dan cawapres tanpa berkoalisi. Itu karena PDI-P sudah menguasai 128 kursi atau 22,2 persen dari total kursi di DPR.
Ketua DPP Partai Nasdem Sugeng Suparwoto dalam diskusi di Kantor Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Rabu (1/3/2023), menceritakan, membentuk koalisi bersama parpol lain bukan hal mudah. Sekalipun Nasdem, Demokrat, dan PKS sudah sepakat untuk mengusung Anies, potensi kerapuhan diakui masih ada. Karena itu, untuk mengikat bangunan koalisi, dibentuklah tim kecil yang berisi perwakilan ketiga parpol serta bakal capres. Tim kecil bertugas merumuskan platform, visi, dan misi koalisi, serta program yang akan ditawarkan pada 2024.
Meski intens berkomunikasi, bukan berarti diskusi di tim kecil selalu mulus. Dialog untuk mendapatkan kesepahaman sempat tersendat lantaran Demokrat dan PKS sama-sama mengusulkan kader utamanya untuk menjadi bakal cawapres. Sementara itu, Nasdem ingin bakal cawapres merupakan tokoh dari luar ketiga parpol karena Anies pun tokoh nonparpol.
Membentuk koalisi bersama parpol lain bukan hal mudah. Sekalipun Nasdem, Demokrat, dan PKS sudah sepakat untuk mengusung Anies, potensi kerapuhan diakui masih ada. Karena itu, untuk mengikat bangunan koalisi, dibentuklah tim kecil yang berisi perwakilan ketiga parpol serta bakal capres.
Sebagai jalan tengah, ketiga parpol itu kemudian menyerahkan kewenangan penentuan capres kepada Anies. Meski demikian, tim kecil tetap merumuskan kriteria penentuan bakal cawapres. Sama seperti keinginan Anies, tim kecil juga memasang kriteria sosok bakal cawapres harus bisa menambah elektabilitas, memiliki kecocokan dengan bakal capres, dan mampu menjalankan fungsi pemerintahan. Diharapkan, bakal cawapres juga bisa memperkuat kohesivitas kebangsaan.
Hal lain yang jadi pengikat koalisi adalah kesepakatan menentukan waktu deklarasi koalisi sekaligus pasangan capres dan cawapres. Penetapan waktu deklarasi koalisi sekaligus bakal capres-cawapres dianggap penting karena diyakini berpengaruh pada elektabilitas parpol anggota koalisi.
Baca juga: Ridwan Kamil, Sandiaga Uno, dan Sederet Opsi Penentu Kemenangan Pilpres
Merujuk hasil survei Litbang Kompas periode 25 Januari-4 Februari lalu, Nasdem merupakan parpol dengan lonjakan elektabilitas tertinggi. Tingkat keterpilihan Nasdem mencapai 7,3 persen atau melonjak hampir dua kali lipat dibandingkan survei yang sama pada Oktober 2022, yakni 4,3 persen. Berkebalikan dengan itu, elektabilitas Demokrat justru merosot dari 14 persen pada Oktober 2022 menjadi 8,7 persen pada Februari. Begitu pula PKS yang pada Oktober 2022 elektabilitasnya mencapai 6,3 persen, turun menjadi 4,8 persen pada Februari.

Survei juga merekam, lonjakan elektabilitas Nasdem terjadi karena peningkatan jumlah pemilih Anies di partai yang dipimpin Surya Paloh itu. Fenomena itu terjadi beriringan dengan migrasi pemilih Anies dari Demokrat ke Nasdem.
Belajar dari itu, Nasdem ingin efek yang sama bisa dinikmati Demokrat dan PKS. Untuk itu, momentum deklarasi Koalisi Perubahan serta sosok bakal cawapres diperhitungkan secara cermat dan matang. Menurut rencana, koalisi dan pasangan capres dan cawapres akan diumumkan sebelum bulan Ramadhan 2023 yang jatuh pada akhir Maret 2023. ”Kita sama-sama memahami, kadang kalau momentumnya tidak tepat bisa jadi backfire,” kata Sugeng.
Baca juga: Surya Paloh, Anies, dan Sembilan Jam yang Menentukan
Tak berhenti di situ, tim kecil juga telah membahas rencana pembagian kekuasaan berdasarkan portofolio parpol. Dengan analisis terhadap tantangan terkini, parpol mulai menentukan titik berat program pemerintah dan membagi porsi siapa yang akan mendudukinya.
Saling melengkapi
Jika Koalisi Perubahan masih mencari momentum yang tepat untuk deklarasi bersama, Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah lebih dulu mengumumkan kerja sama politik pada Agustus tahun lalu. Fungsionaris Gerindra yang juga mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menjelaskan, soliditas koalisi diikat dengan pembentukan pakta integritas.

Ketua DPP Partai Gerindra Ahmad Riza Patria (kanan) dan Ketua DPP Partai Nasdem Sugeng Suparwoto menjadi pembicara dalam diskusi Strategi Pemilu 2024 di Kantor Redaksi Harian Kompas, Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Pakta integritas di antaranya berisi komitmen kedua parpol untuk bekerja sama menghadapi Pemilu 2024, tidak menggunakan politik identitas, dan masih membuka kesempatan bagi parpol lain untuk bergabung. Dalam pakta integritas juga disebutkan, penentuan pasangan capres dan cawapres diputuskan bersama oleh Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Sekalipun sosok pasangan yang diusung belum diumumkan, baik Gerindra maupun PKB sudah mengambil keputusan lewat mekanisme internal masing-masing. Gerindra melalui Rapat Pimpinan Nasional Agustus 2022 meminta Prabowo menjadi capres 2024, begitu juga Muhaimin yang diberikan mandat serupa dalam Muktamar PKB 2019. ”Tinggal kedua tokoh ini berunding, kapan dideklarasikan dan disampaikan ke publik. Sekalipun belum, kami masih memberi waktu untuk menjajaki kemungkinan koalisi dengan parpol mana pun,” kata Riza.
Menurut dia, belum adanya sosok capres dan cawapres itu tidak berarti koalisi tidak bergerak. Pengurus Gerindra dan PKB terus menjalin kerja sama di berbagai tingkatan. Bahkan, koalisi ini merupakan yang pertama meresmikan gedung sekretariat bersama pada akhir Januari lalu.

Suasana konferensi pers setelah pertemuan antara Wakil Ketua Umum Partai Nasdem Ahmad Ali dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid di Sekretariat Bersama Partai Gerindra dan PKB di Menteng, Jakarta, Kamis (26/1/2023).
Riza meyakini koalisi kedua parpol ini akan solid karena dibangun dengan karakter yang saling melengkapi. Gerindra merupakan partai nasionalis religius, sedangkan PKB adalah partai religius yang berkebangsaan. Bergabungnya dua kekuatan itu diyakini tidak hanya baik bagi pembangunan kebangsaan, tetapi juga bisa mendongkrak perolehan suara.
Belajar dari pemilu-pemilu sebelumnya, kelompok nahdliyin yang merupakan basis massa utama PKB menjadi faktor penentu utama kemenangan parpol dan pasangan capres-cawapres karena jumlahnya yang besar. Diperkirakan, warga nahdliyin juga akan jadi kelompok terbesar dalam segmen pemilih Muslim di 2024. ”Kami berharap PKB dengan basis massa nahdliyinnya bisa memperkuat bangunan koalisi dan juga pasangan yang akan diusung,” kata Riza.
Baca juga: Sekali Prabowo, Tetap Prabowo
Lebih dari pembangunan soliditas, tambahnya, Gerindra dan PKB juga sudah menyusun strategi pemenangan. Strategi itu diperkuat dengan visi, misi, dan program yang sudah dimiliki Prabowo saat berkontestasi di Pilpres 2019.
Selain kubu Nasdem-Demokrat-PKS serta Gerindra-PKB, ada pula Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang telah membentuk Koalisi Indonesia Bersatu (KIB). Namun, sejak dideklarasikan pada awal Juni 2022, koalisi ini belum menentukan pasangan capres dan cawapresnya. Sejumlah elite parpol anggota KIB mengungkapkan, koalisi ingin lebih dulu merumuskan platform dan agenda prioritas 2024 ketimbang menentukan pasangan capres-cawapres. Terakhir, pada Agustus 2022, KIB meluncurkan Program Akselerasi Transformasi Ekonomi Nasional, yang merupakan bagian dari visi dan misi KIB untuk 2024.

KIB menyebut tidak akan terburu-buru menetapkan calon presiden dan calon wakil presiden yang akan diusung dalam Pilpres 2024.
Dihubungi secara terpisah, Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP Mardiono mengatakan, KIB yakin akan tetap solid dan utuh hingga Pemilu 2024 berlangsung. Meski belum ada keputusan, pembicaraan tentang pasangan capres-cawapres yang akan diusung terus dilakukan secara intens antarpengurus parpol di semua tingkatan. Sama seperti koalisi dan calon koalisi lainnya, KIB juga masih membuka kesempatan bagi parpol mana pun untuk bergabung.
Koalisi dini
Berdasarkan kajian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada Juni 2022, jelang Pilpres 2024 parpol cenderung membentuk koalisi dini atau jauh hari sebelum pilpres berlangsung. Hal itu terjadi karena tersedia banyak tokoh potensial capres dengan tingkat elektabilitas yang berdekatan, serta tidak adanya petahana. Fenomena ini dipandang baik. Sebab, dengan koalisi dini, parpol memiliki waktu lebih panjang untuk mendiskusikan platform kebijakan yang akan dibawa berkontestasi. Parpol yang tergabung dalam koalisi juga bakal memiliki daya tawar lebih kuat di hadapan para tokoh populer.
Baca juga: Koalisi Dini, Ikhtiar Parpol Lepas dari Bayang-bayang Figur Capres
Ketua Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS Arya Fernandes melihat, keutuhan koalisi belum bisa dipastikan meski mereka sudah terbentuk jauh-jauh hari. Situasi yang dinamis masih bisa menyebabkan koalisi bubar sebelum pilpres digelar.
Agar bisa bertahan, koalisi di antaranya perlu memastikan derajat penerimaan yang sama di antara parpol anggota koalisi terhadap capres atau cawapres yang akan dinominasikan. ”Koalisi juga akan bisa bertahan kalau punya platform dan visi politik yang sama di antara partai-partai yang bergabung,” katanya.

Arya Fernandes
Tak hanya itu, Arya menambahkan, pembagian peran yang berimbang dan proporsional juga krusial dalam memastikan soliditas koalisi. Hal tersebut penting agar seluruh anggota koalisi berada dalam posisi yang setara. Apalagi parpol-parpol dimaksud juga memiliki jumlah kursi dan perolehan suara nasional yang relatif sama kuat.
Berdasarkan pengalaman, membangun kerja sama politik memang tidak mudah. Sebab, parpol-parpol anggota koalisi tak selamanya mempunyai kepentingan yang sama. Koalisi juga rawan bubar, terutama setelah pilpres usai, karena tiap-tiap parpol punya kepentingan sendiri. Pembagian ”kue” kekuasaan juga menjadi masalah tersendiri. Persoalan bagi-bagi kue kekuasaan pascapilpres itu bisa jadi menjadi salah satu faktor alotnya pembicaraan dalam merumuskan kesepahaman koalisi jelang Pemilu 2024.