Pengaturan tentang Kekayaan yang Diperoleh secara Tidak Sah Semakin Dibutuhkan
Penambahan kekayaan secara tidak wajar bukan termasuk pelanggaran hukum karena ada kekosongan dalam aturan perundang-undangan kita.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
DIAN DEWI PURNAMASARI
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (tengah) didampingi Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana (kiri) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) memberikan keterangan kepada wartawan terkait transaksi mencurigakan senilai Rp 349 triliun yang ditemukan di Kementerian Keuangan, di Jakarta, Senin (20/3/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Pengaturan kekayaan pejabat publik yang diperoleh secara tidak sah seperti yang direkomendasikan Konvensi Antikorupsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCAC) perlu segera dibahas. Aturan tersebut dapat dimasukkan di dalam revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Rancangan UU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, transaksi mencurigakan sebesar Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan yang ditemukan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan persoalan lainnya akan menguap begitu saja jika tidak diikuti penegakan hukum yang berarti. Satu-satunya perubahan yang harus dilakukan adalah dengan segera membahas Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana yang di dalamnya mengatur soal penindakan atas kekayaan pejabat publik yang diperoleh secara tidak sah.
Publik saat ini juga disuguhi kasus bekas pejabat eselon III Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo. Kasus ini telah masuk pada tahap penyelidikan di Kedeputian Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK juga masih terus mengklarifikasi laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) pejabat negara lainnya.
Zaenur menjelaskan, Indonesia sampai saat ini belum mengatur soal penindakan atas kekayaan pejabat publik yang diperoleh secara tidak sah sehingga penambahan kekayaan secara tidak wajar bukan pelanggaran hukum. Alternatifnya bisa saja menggunakan pendekatan tindak pidana pencucian uang atau melalui tindak pidana asal, tetapi tidak mudah.
Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zaenur Rohman, di Tugu Yogyakarta, Selasa (17/9/2019).
”Untuk bisa memproses tindak pidana pencucian uang membutuhkan tindak pidana asal. Sementara untuk mencari tindak pidana asal itu membutuhkan alat bukti terjadinya tindak pidana asal. Tentu bukan perkara yang mudah, apalagi jenis tindak pidana korupsi, seperti yang berasal dari suap-menyuap,” kata Zaenur saat dihubungi di Jakarta, Rabu (22/3/2023).
Jika Indonesia mau efektif memberantas korupsi dan kejahatan lainnya, kata Zaenur, perlu diatur soal penindakan atas kekayaan pejabat publik yang diperoleh secara tidak sah di dalam peraturan perundang-undangan. Itu bisa ditempatkan di dalam Rancangan UU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana. Karena itu, ia berharap RUU Perampasan Aset segera disahkan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, Indonesia sudah meratifikasi UNCAC melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC tahun 2003.
Di dalam konvensi ini, kata Arsul, diatur tentang tindakan terhadap perolehan kekayaan pejabat publik secara tidak sah.”Idealnya memang ratifikasi ini di-follow up dengan revisi UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Ini yang belum dilakukan,” katanya.
KOMPAS/PRAYOGI DWI SULISTYO
Arsul Sani
Kemudian setelah revisi UU Tipikor, idealnya diatur lebih lanjut mekanismenya dalam konteks perampasan aset kalau ada bukti-bukti kuat sebagai tindak pidana korupsi. Hal itu bisa diatur dalam UU Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana. Karena itu, revisi UU Tipikor maupun RUU Perampasan Aset perlu segera dibahas.
Untuk itu, perlu ada diskursus publik dan kajian mendalam sehingga terbentuk pemahaman yang proporsional pada pembentuk undang-undang ataupun publik.
Di samping itu, kata Arsul, sistem pencegahan korupsi, termasuk pengawasan dan penindakan lebih ketat, diterapkan terhadap semua penyelenggara dan aparatur negara. Sebab, persoalan yang terjadi tidak hanya tiadanya pengaturan undang-undang, tetapi juga menyangkut pengawasan dan perubahan budaya serta gaya hidup aparatur dan penyelenggara negara.
”Sering kali kita ini hanya short cut cara berpikirnya seolah-olah kalau dibuat atau diatur dalam UU-nya, akan menyelesaikan problemnya,” ujar Arsul.