Komisi III DPR Cecar Kepala PPATK soal Transaksi Mencurigakan Rp 349 Triliun
Sehari setelah Menko Polhukam Mahfud MD bertemu dengan Menkeu Sri Mulyani dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, Komisi III DPR dalam rapat kerja mencecar PPATK soal indikasi pidana pencucian uang Rp 349 triliun.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana (kemeja putih) menjawab pertanyaan wartawan seusai berkoordinasi dengan pejabat Kementerian Keuangan di Jakarta, Selasa (14/3/2023), terkait transaksi janggal Rp 300 triliun yang diduga dilakukan sejumlah pegawai Kemenkeu. Ivan memastikan transaksi senilai Rp 300 triliun di Kemenkeu bukan hasil penyalahgunaan atau korupsi pegawai.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mencecar Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana terkait dengan indikasi tindak pidana pencucian uang senilai Rp 349 triliun yang berkaitan dengan Kementerian Keuangan. Mereka mempertanyakan apakah data intelijen keuangan itu bisa dibuka kepada publik secara terbuka.
Dalam rapat kerja dengan PPATK, Selasa (21/3/2023), pimpinan Komisi III DPR juga mendorong pembentukan panitia khusus untuk mendalami itu. Rapat ini berlangsung sehari setelah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebutkan ada indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU) Rp 349 triliun yang terkait Kemenkeu.
Saat rapat kerja, muncul banyak pertanyaan untuk mengklarifikasi kebenaran informasi tersebut. Awalnya, Ivan menjelaskan bahwa temuan PPATK senilai Rp 349 triliun itu adalah indikasi TPPU. Sebagai penyidik tindak pidana asal TPPU, Kemenkeu wajib menindaklanjuti laporan hasil analisis (LHA) dari PPATK tersebut.
Sebab, transaksi mencurigakan itu terkait dengan tugas pokok dan fungsi Kemenkeu. Misalnya, kegiatan ekspor impor yang jika ditelusuri bisa mengarah pada tindak pidana kepabeanan dan pajak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
”Menjadi tugas pokok dan fungsi dari Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal untuk menindaklanjutinya. Sama seperti saat kami menyerahkan LHA ke Komisi Pemberantasan Korupsi atau Badan Narkotika Nasional. Mereka juga harus menyelidiki tindak pidana asalnya,” kata Ivan.
Ivan juga menyebut bahwa dalam LHA yang dikeluarkan PPATK, hampir dipastikan mengandung unsur TPPU. Apalagi, jika itu sudah dilaporkan kepada penyidik pidana asal, di dalamnya pasti terdapat indikasi TPPU. Nilai transaksi mencurigakan Rp 349 triliun adalah akumulasi LHA yang sudah diteruskan ke Kemenkeu sejak 2009 hingga 2023. Bahkan, termasuk di dalamnya adalah korupsi dan TPPU yang dilakukan Gayus Tambunan.
Gayus adalah bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak golongan IIIA. Namun, dia memiliki kekayaan Rp 100 miliar. Ini tidak sesuai dengan profilnya yang hanya bergaji Rp 12,1 juta per bulan. Gayus ditangkap atas dugaan kasus mafia pajak oleh Badan Reserse Kriminal Polri pada 2010.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Sarifuddin Sudding, menanyakan kepada Ivan apakah dari indikasi Rp 349 triliun itu sudah ada yang ditindaklanjuti Kemenkeu dan kemudian ditemukan tindak pidana asalnya. Menurut Ivan, LHA dari PPATK sudah ditindaklanjuti Kemenkeu. Namun, jumlahnya baru sekitar 50 persen. Masih ada banyak LHA yang belum ditindaklanjuti.
Suding menyebut, dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya, PPATK dibekali UU No 8/2010 tentang Pemberantasan TPPU. Namun, PPATK tidak diberi fungsi penyelidikan dan penyidikan karena bukan sebagai aparat penegak hukum. PPATK hanya menganalisis, melakukan pemeriksaan, lalu menyampaikan kepada aparat penegak hukum atau pihak kementerian dan lembaga terhadap penyidik PPNS.
”Terkait masalah tugas dan fungsi Saudara, apakah selama ini yang Saudara lakukan dari hasil laporan analisis dan laporan hasil pemerikaan yang bersifat intelijen itu boleh disampaikan kepada pihak lain selain Presiden dan DPR? Karena itu diatur jelas di Pasal 47 (UU Pemberantasan TPPU),” kata Suding.
Suding menyebut, karena hasil analisis intelijen keuangan, sifat LHA PPATK adalah rahasia dan harus dijaga betul-betul. Sebab, jika dibuka sembarangan, apalagi kepada publik, bisa membuat gaduh. Pasal 47 Ayat (2) UU Pemberantasan TPPU jelas menyebut bahwa laporan hanya disampaikan kepada Presiden dan DPR. ”Nah, pertanyaannya kemudian mengapa sampai laporan kepada Pak Menko?” ujar Suding.
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD (tengah) bersama Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (ketiga dari kanan) dan jajaran menggelar konferensi pers terkait dengan transaksi mencurigakan senilai Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan yang ditemukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam periode waktu 2009-2023 di Jakarta, Jumat (10/3/2023).
Ivan menjawab, data itu diberikan kepada Mahfud MD karena jabatannya sebagai ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sebagai sekretaris komite, Ivan merasa berhak menyampaikan laporan itu kepada Mahfud. Sebab, hal itu juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2012 tentang Komite Koordinasi Nasional TPPU.
Anggota Komisi III dari Fraksi Demokrat, Benny K Harman, juga mempertanyakan, apakah sebagai kepala PPATK, dia wajib melaporkan indikasi TPPU itu kepada ketua komite. Pertanyaan selanjutnya, apakah kemudian ketua komite boleh membuka data tersebut kepada publik.
”Dalam konteks kasus yang menjadi perhatian publik, itu bisa disampaikan. Namun, tidak bisa menyentuh kasusnya dan tidak menyebut nama-namanya,” jawab Ivan.
Benny juga mempertanyakan kepada Ivan apakah dia sudah melapor kepada Presiden terkait LHA itu. Sebab, UU memerintahkan laporan itu diserahkan kepada Presiden dan DPR. Ivan menjawab bahwa dalam kasus itu, dia sudah melapor kepada Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
”Tolong tunjukkan di pasal berapa laporan itu boleh dibuka ke publik? Sebab, kalau tidak, patut diduga Saudara dan Menko Polhukam punya niat politik yang tidak sehat karena ingin memojokkan Menteri Keuangan dan Kementerian Keuangan,” ujar Benny.
KOMPAS/PRADIPTA PANDU
Sekjen PPP Arsul Sani
Arsul Sani, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, menambahkan, Komite Pemberantasan TPPU sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk menyampaikan LHA kepada publik. Sebab, itu adalah hasil analisis intelijen keuangan yang harus dijaga secara hati-hati. Menurut dia, kasus ini harus menjadi pelajaran berharga, baik untuk PPATK maupun Menko Polhukam. Data LHA hanya bisa disampaikan kepada Presiden dan DPR.
”Jangan disampaikan kepada siapa-siapa dulu, apalagi publik. Sebab, di perpres juga tidak ada kewenangan untuk menyampaikan kepada siapa pun,” terangnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa mengatakan, rapat kerja dengan PPATK ini akan dilanjutkan dengan rapat lanjutan bersama Menko Polhukam dan Menteri Keuangan. Semua pihak harus berbicara dan mengklarifikasi perihal indikasi TPPU senilai Rp 349 triliun yang melibatkan tugas pokok dan fungsi Kemenkeu. Menurut rencana, rapat kerja lanjutan itu akan digelar pada Rabu (29/3/2023).
”Akan ada rapat lanjutan untuk lebih serius lagi mengklarifikasi sumber yang tergambar Rp 349 triliun itu. Apakah dari dua lembaga di Kemenkeu, yaitu Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea Cukai, atau di mana? Tadi jawaban dari PPATK masih belum sesuai dengan harapan Komisi III," katanya.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa
Dia ingin, dalam rapat selanjutnya, indikasi TPPU itu lebih terang dan jelas. Setelah itu, tidak boleh lagi ada keterangan yang berbeda dari masing-masing kementerian dan lembaga. Sebab, dampak pemberitaan yang simpang siur itu sangat luas dan dapat merugikan sumber keuangan negara.
Terakhir, Komisi III DPR juga mengusulkan agar dibentuk panitia khusus untuk menindaklanjuti kasus ini. Pembentukan pansus diharapkan bisa menghasilkan langkah-langkah hukum yang lebih konkret, baik untuk aparat penegak hukum maupun Presiden.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni menyebut DPR juga akan memikirkan terobosan hukum apa untuk menyelesaikan kasus kekayaan pejabat negara yang tak wajar tersebut. Termasuk, usulan dari masyarakat sipil dan pakar hukum soal menghadirkan aturan illicit enrichment untuk membuktikan kekayaan tak wajar pejabat yang diperoleh dengan cara-cara ilegal. Namun, sebelum melangkah ke sana, DPR akan meminta penjelasan dulu dari PPATK, Menko Polhukam, dan Menkeu agar duduk perkaranya lebih jelas dan terang benderang.
”Sebenarnya, kami semua punya komitmen untuk menyelesaikan secara utuh pertanggungjawaban sebagai pejabat negara. Kami berkewajiban untuk menjelaskan bahwa sebagai pejabat negara harus terbuka di ruang publik untuk melapor sesuai dengan profilnya,” tegasnya.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni