Klarifikasi Kekayaan Pejabat Pajak Berlanjut, LHKPN Jadi Alat Kontrol
KPK berencana untuk merevisi Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang LHKPN. Salah satunya terkait sanksi bagi penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mengklarifikasi laporan harta kekayaan penyelenggara negara dari dua pejabat pajak. Kali ini Kepala Kantor Pajak Madya Jakarta Timur Wahono Saputro serta Kepala Bea dan Cukai Makassar Andhi Pramono yang diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (14/3/2023). LHKPN dinilai bisa menjadi alat untuk mengontrol pejabat publik sehingga perlu diperkuat.
Sebelumnya, KPK telah mengklarifikasi LHKPN bekas pejabat eselon III Kepala Bagian Umum Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Kanwil Jakarta Selatan, Rafael Alun Trisambodo, serta bekas Kepala Kantor Bea dan Cukai Daerah Istimewa Yogyakarta, Eko Darmanto.
Khusus Wahono dan Andhi diklarifikasi KPK sekitar tujuh jam. Seusai diklarifikasi KPK, Wahono enggan menjawab pertanyaan wartawan. Adapun Andhi mengaku sudah melaporkan LHKPN secara lengkap dan tepat waktu setiap tahun. Ia meminta wartawan untuk menanyakan ke KPK terkait dengan materi pemeriksaan terhadap LHKPN-nya.
Terkait dengan rumah mewahnya di Cibubur, Jakarta Timur, Andhi mengaku rumah tersebut sudah lama ditempati orangtuanya dan belum diwariskan kepadanya. Ia tinggal di rumah tersebut untuk menjaga orangtuanya. Ia juga menjelaskan foto putrinya yang beredar di media sosial. Putrinya sedang kuliah di Australia dan menekuni fashion serta menjadi selebgram.
Baca juga: Lima Tahun Tak Berubah, LHKPN Pejabat Pajak Kembali Jadi Sorotan
Menurut Andhi, ia tidak pernah pamer dan telah melaporkan ke KPK berita yang mengaitkan putrinya. Apalagi, banyak gambar yang bukan putrinya tetapi dikaitkan dengan dirinya. Ia mengaku sedikit tertekan dengan berita yang simpang siur. ”Saya mohon maaf kepada teman-teman semua, kepada warga Indonesia yang ada berita-berita simpang siur macam-macam menjadikan diri saya sedikit tertekan. Dengan adanya klarifikasi dari KPK, hal ini menjadi terang benderang semuanya,” tuturnya.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ipi Maryati Kuding mengatakan, klarifikasi LHKPN adalah proses meminta keterangan kepada penyelenggara negara atau wajib lapor terhadap LHKPN yang disampaikannya kepada KPK. Melalui proses klarifikasi ini, KPK memastikan bahwa penyelenggara negara telah melaporkan hartanya secara lengkap. Selain itu, untuk memastikan sumber penghasilan atau penerimaan lainnya dalam pelaksanaan tugasnya sebagai penyelenggara negara.
Tim pemeriksa juga mengkonfirmasi kepada penyelenggara negara tentang LHKPN yang disampaikan berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki, seperti dokumen kepemilikan, asal usul perolehan, termasuk data transaksi keuangan. Selain itu, KPK akan menganalisis penjelasan yang disampaikan penyelenggara negara serta bukti-bukti yang diperoleh untuk menentukan tindak lanjut hasil klarifikasi.
Revisi peraturan
Ipi mengatakan, KPK mengidentifikasi beberapa kendala terkait LHKPN, terutama sebagai salah satu instrumen penting dalam pencegahan korupsi melalui transparansi harta kekayaan penyelenggara negara. Untuk itu, KPK akan merevisi Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang LHKPN.
Baca juga: Kekayaan Pejabat Negara Tercatat Rp 609,35 Triliun
Revisi tersebut diharapkan dapat menjawab beberapa persoalan yang perlu dicari solusinya, di antaranya terkait ruang lingkup penyelenggara negara di setiap instansi/lembaga negara masih belum seragam serta bentuk sanksi bagi wajib lapor (WL) yang tidak melaporkan LHKPN-nya dan sanksi yang seragam untuk seluruh instansi/lembaga.
Selain itu, juga terkait penerapan sanksi terhadap WL yang melapor secara tidak jujur dan persoalan WL yang tidak melengkapi kelengkapan LHKPN-nya seperti surat kuasa. Untuk membahas hal tersebut dan substansi peraturan KPK, KPK akan melibatkan sejumlah pakar.
Menurut peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan,LHKPN bisa menjadi alat untuk mengontrol pejabat publik. LHKPN sejak awal didesain sebagai instrumen untuk pencegahan korupsi. Persoalannya ada pada komitmen kementerian/lembaga/pemerintah daerah untuk serius menggunakan instrumen LHKPN.
Ia menjelaskan, ada dua alasan mengapa LHKPN selama ini kurang efektif. Pertama, kementerian/lembaga/pemda hanya memandang pelaporan LHKPN sebagai kebutuhan administratif semata. Pelaporan LHKPN sering dilihat hanya sekadar tingkat kepatuhan pelaporannya, tidak sampai pada level kebenaran atas pelaporan tersebut. Yuris menduga, masih cukup banyak pejabat publik yang mengisi LHKPN tidak sesuai harta kekayaan yang sebenarnya.
Kedua, penegakan sanksi LHKPN sangat lemah. Pejabat publik yang tidak jujur dalam mengisi LHKPN sudah diancam sanksi administratif sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme serta Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Namun, penegakannya sangat jarang, bahkan tidak pernah dilakukan.
”Ke depan, kementerian/lembaga/pemda perlu mengubah paradigma bahwa pelaporan LHKPN tidak hanya sekadar tingkat kepatuhan. Inspektorat di setiap kementerian/lembaga/pemda perlu ditingkatkan untuk mampu mengawasi tingkat kebenaran pelaporan LHKPN,” kata Yuris.
Jika ingin menguatkan sanksi, kata Yuris, bisa melalui revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Misalnya, diberikan pengaturan sanksi pidana bagi pejabat publik yang tidak melaporkan LHKPN atau yang dengan sengaja tidak mengisi LHKPN sebagaimana harta kekayaan yang dimiliki. Dengan begitu, prosedurnya bisa lebih jelas misalnya dengan KPK menjadi punya kewenangan untuk menindak pelanggaran terhadap pelaporan LHKPN.
Selain itu, pemerintah dan DPR perlu segera mengesahkan instrumen hukum perampasan aset tanpa melalui sistem pemidanaan. ”Ini bisa jadi salah satu instrumen yang efektif bagi negara untuk mengejar aset pejabat publik yang tidak bisa dipertanggungjawabkan atau yang diperoleh secara tidak sah,” kata Yuris.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, penilaian berbasis ketepatan waktu dalam melaporkan LHKPN tidak cukup menggambarkan integritas seorang pejabat publik. Analisis terhadap hal itu juga harus mencakup aspek kewajaran harta kekayaan yang dilaporkan.
Menurut Kurnia, dibutuhkan pendalaman lebih lanjut oleh instansi terkait atau KPK selaku lembaga yang mengurusi LHKPN. Namun, tindakan itu tidak efektif dilakukan hingga akhirnya mencuat ke publik.
Regulasi yang ada saat ini pun masih menimbulkan permasalahan. Alih-alih dikriminalisasi menjadi perbuatan pidana, sanksi terhadap penyelenggara negara yang abai dalam melaporkan LHKPN masih terbatas pada ranah administrasi. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 20 Ayat (1) UU Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Hal itu kembali dikuatkan dalam Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang tentang Tata Cara Pendaftaran, Pengumuman, dan Pemeriksaan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Namun, pembedanya, aturan ini menambahkan kewenangan KPK untuk merekomendasikan kepada pimpinan instansi terkait untuk menjatuhkan sanksi administratif. Kurnia pun mempertanyakan transparansi dari penjatuhan sanksi administratif para penyelenggara negara yang tak patuh melaporkan LHKPN.
Baca juga: Menyingkap Kekayaan Gelap Pejabat
Bentuk aturan yang lebih teknis, khususnya kewajiban bagi PNS untuk melaporkan LHKPN, juga diatur. Hal tersebut ada di dalam Pasal 4 Huruf e PP No 94/2021. Regulasi ini lebih rinci menjabarkan bentuk-bentuk sanksi administratif bagi PNS yang melanggar, di antaranya hukuman disiplin sedang berupa pemotongan tunjangan kinerja bagi pejabat administrator dan pejabat fungsional. Adapun hukuman disiplin berat, yakni mulai dari penurunan, pembebasan dari jabatan, hingga pemberhentian yang ditujukan kepada pimpinan tinggi atau pejabat lainnya.
Menurut Kurnia, urgensi untuk mendesak setiap penyelenggara negara mematuhi aturan mengenai LHKPN menjadi hal wajar. Sebab, ada sejumlah fungsi penting yang melekat di sana. Pertama, pemenuhan prinsip good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik, terutama menyangkut akuntabilitas dan transparansi pejabat publik.
Kedua, dokumen pendukung langkah penindakan aparat penegak hukum, misalnya guna mendeteksi aset yang akan dieksekusi pasca-putusan berkekuatan hukum tetap, menelisik potensi penerimaan hasil gratifikasi terlarang, dan penelusuran jika ditemukan adanya tindak pidana pencucian uang. Ketiga, tolok ukur nilai integritas pejabat publik yang dapat dicermati oleh masyarakat.
Menurut Kurnia, ada sejumlah kekosongan hukum yang penting untuk diperbarui guna mengatasi problematika LHKPN. ”Sebab, jika tidak, pelaporan harta kekayaan hanya sekadar dijadikan dokumen administrasi. Padahal, berbagai keganjilan kerap ditemukan baik oleh masyarakat maupun pemangku kepentingan lainnya,” tegasnya.