BPKP Temukan Kecurangan Rp 37,01 Triliun, Modus Kian Kompleks
BPKP menemukan modus kecurangan semakin kompleks, terencana, dan dilakukan bersama-sama. Audit kecurangan tahun lalu mencapai Rp 37,01 triliun.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan menemukan kecurangan di lingkungan aparatur sipil negara, badan usaha milik negara, hingga swasta mencapai Rp 37,01 triliun tahun lalu. Tahun ini, BPKP masih menjumpai kecurangan-kecurangan itu. Modus kecurangan kian kompleks, terencana, dan dilakukan bersama-sama.
Pemerintah berupaya mencegah korupsi melalui sistem pemerintahan berbasis elektronik. Agar efektif, sistem tersebut perlu diikuti dengan integritas aparatur sipil negara. Selain itu, penguatan aparat pengawas intern pemerintah sangat penting karena mereka menjadi bagian dari entitas pemerintahan.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan dan RB) Abdullah Azwar Anas mengatakan, Presiden telah memberikan mandat untuk menerapkan sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE). Sebab, SPBE memiliki urgensi untuk memudahkan warga mengakses layanan publik serta menaikkan skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK) melalui kemudahan berbisnis, penegakan hukum, dan lainnya.
Seperti diketahui, IPK Indonesia pada 2022 menurun empat poin hingga berada di skor 34. Indonesia berada di peringkat ke-110 dari 180 negara yang disurvei. Menurut Azwar Anas, beberapa negara dengan skor IPK tinggi, seperti Denmark, Inggris, Korea Selatan, dan Singapura, telah menerapkan SPBE. Sebagai kerangka dasar, dilakukan integrasi proses bisnis data, informasi aplikasi SPBE, dan keamanan untuk menghasilkan layanan.
”Saya sudah sampaikan di berbagai kementerian/lembaga, termasuk di pertanahan, bagaimana bisa mengintegrasikan sistem itulah bagian dari inovasi yang ke depan nilainya akan tinggi. Inilah transformasi digital pelayanan publik. Backbone-nya adalah data kependudukan,” kata Azwar Anas saat membuka acara penandatanganan Komitmen Pelaksanaan Aksi Pencegahan Korupsi 2023-2024 di Jakarta, Jumat (10/3/2023).
Hadir juga sebagai pembicara dalam kegiatan tersebut Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh, Hakim Agung Dwiarso Budi Santiarto, serta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata.
Alexander Marwata mengingatkan, SPBE bisa mencegah terjadinya pungutan liar (pungli), suap, dan sebagainya. Namun, sistem terbaik apa pun yang dibangun, tetapi tidak diimbangi dengan integritas, akan percuma. Sebab, sistem tersebut akan tembus oleh pelaku korupsi yang bekerja sama.
”Kita bicara perkara korupsi di daerah itu 90 persen pengadaan barang dan jasa. Sudah ada sistemnya, e-procurement, pengadaan barang dan jasa yang diselenggarakan secara elektronik. Tapi, itu ternyata tidak menutup celah terjadinya korupsi. Pada vendor itu sudah bekerja sama, sudah berbagi wilayah, berbagi proyek, tinggal diatur saja mereka,” kata Alexander. Ia menambahkan, situasi tersebut semakin runyam ketika pelaku bekerja sama dengan unit layanan pengadaan barang dan jasa.
Menurut Ateh, upaya untuk mencegah terjadinya kecurangan masih gagal terwujud. Bahkan, modus kecurangan yang ditemukan BPKP semakin kompleks, terencana, dan dilakukan bersama-sama. ”Ini terjadi tidak hanya di ASN (aparatur sipil negara) ya, ada juga di korporat, banyak juga di BUMN yang melibatkan pihak swasta,” kata Ateh.
Ia menjelaskan, audit kecurangan pada tahun lalu mencapai Rp 37,01 triliun. Uang dari tindak kecurangan yang sudah keluar tersebut harus ditarik kembali. Namun, BPKP bisa mencegah potensi keluarnya anggaran akibat kecurangan sebanyak Rp 76,32 triliun.
Pada tahun ini, BPKP juga masih mendapati beberapa kecurangan lain.
Ia mengungkapkan, risiko kecurangan itu banyak terjadi mulai dari perencanaan, penganggaran, pengadaan barang dan jasa, hingga perizinan. Aparat pengawas intern pemerintah (APIP) yang seharusnya bisa mencegah kecurangan justru menimbulkan masalah baru. Selain itu, masih ada persoalan pada manajemen ASN, jual-beli jabatan, optimisasi pendapatan daerah, hingga manajemen dan tata kelola keuangan desa.
Ateh menegaskan, risiko kecurangan tersebut harus diidentifikasi dan dimitigasi sejak awal. Penguatan pencegahan korupsi menjadi sangat penting karena risiko integritas terdapat pada seluruh area. Peran APIP sangat krusial dalam mencegah kecurangan tersebut. Sebab, APIP memiliki posisi yang efektif untuk mencegah korupsi karena masih menjadi bagian dari entitas pemerintahan.