Nama Eks KSAU Agus Supriatna Muncul di Tuntutan Jaksa
Agus diduga memperoleh uang Rp 17,7 miliar yang merupakan ”fee” 4 persen diambil dari pembayaran termin pertama yang diberikan Irfan kepada Agus melalui Wisnu Wicaksono dan Sigit Suwastono sebagai dana komando.
Suasana sidang pembacaan tuntutan terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (30/1/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Terdakwa korupsi pengadaan helikopter angkut AW-101 tahun 2016-2017, John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh, dituntut pidana penjara selama 15 tahun dan membayar uang pengganti sebesar Rp 177,7 miliar. Dugaan keterlibatan eks Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn) Agus Supriatna kembali disebut dalam tuntutan setelah disebut dalam berkas dakwaan John. Agus berulang kali mangkir saat dipanggil untuk hadir di sidang.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Arif Suhermanto mengungkapkan, dari fakta hukum dapat disimpulkan, Direktur PT Diratama Jaya Mandiri John Irfan Kenway telah memperkaya diri atau orang lain atau korporasi dalam pengadaan helikopter AW-101 Tahun Anggaran 2016 untuk kepentingan TNI AU yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 738,9 miliar.
Perbuatan Irfan tersebut diduga dilakukan bersama dengan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) periode Januari 2015-Januari 2017 Agus Supriatna, Head of Region Southeast Asia Leonardo Helicopter Division AgustaWestland Products Lorenzo Pariani, Direktur Lejardo Bennyanto Sutjiadji, serta Kepala Dinas Pengadaan Angkatan Udara (Kadisada AU), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) periode tahun 2015-20 Juni 2016 Heribertus Hendi Haryoko.
Selain itu, juga disebut Kepala Dinas Pengadaan Angkatan Udara (Kadisada AU) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) periode 20 Juni 2016-2 Februari 2017 Fachri Adamy, Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) KSAU TNI AU periode tahun 2015-Februari 2017 Supriyanto Basuki, Kepala Pemegang Kas (Pekas) Mabes TNI AU periode tahun 2015-Februari 2017 Wisnu Wicaksono.
Jaksa menuntut majelis hakim agar menyatakan Irfan terbukti secara sah dan meyakinkan secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
”Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa John Irfan Kenway alias Irfan Kurnia Saleh alias Irfan Kurnia berupa pidana penjara selama 15 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” kata Arif di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (30/1/2023).
Selain menuntut hukuman pidana penjara dan denda tersebut, jaksa juga menjatuhkan pidana tambahan terhadap Irfan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 177,7 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh hukum tetap. Jika dalam jangka waktu tersebut Irfan tidak membayar uang pengganti, harta bendanya disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Jika Irfan tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana penjara selama 5 tahun.
Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Djuyamto dengan didampingi Rianto Adam Pontoh dan Ida Ayu Mustikawati selaku hakim anggota. Irfan hadir di ruang sidang dengan didampingi penasihat hukumnya.
Baca juga: Hakim Meminta KPK Panggil Paksa Mantan KSAU Agus Supriatna
Dari tindak pidana korupsi ini, Irfan diduga memperoleh harta benda sebesar Rp 183,2 miliar; AgustaWesland sebesar 10,9 juta dollar AS atau senilai Rp 146,3 miliar; dan Agus sebesar Rp 17,7 miliar. Agus diduga memperoleh uang tersebut yang merupakan fee 4 persen diambil dari pembayaran termin pertama yang diberikan Irfan kepada Agus melalui Wisnu Wicaksono dan Sigit Suwastono sebagai dana komando.
Jaksa mengungkapkan, pada 3 Desember 2015, Presiden memberikan arahan agar helikopter AgustaWestland jangan dibeli dahulu karena kondisi ekonomi sedang tidak normal. Menindaklanjuti hasil rapat tersebut, anggaran terkait pengadaan Helikopter VVIP RI-1 diblokir pada 7 Desember 2015.
Karena Irfan telah memesan Helikopter VVIP AW-101 dan telah membayar uang tanda jadi kepada Perusahaan AgustaWestland, Agus melalui Supriyanto Basuki mengirimkan surat kepada Dirjen Renhan Kemenhan perihal Usulan Perubahan Kegiatan Pengadaan Helikopter VVIP RI-1 agar Irfan tetap dapat menjadi penyedia helikopter buatan AgustaWestland tersebut. Dalam surat tersebut disampaikan perubahan kegiatan pengadaan yang semula dari pengadaan Helikopter VVIP RI-1 menjadi pengadaan helikopter angkut berat.
Panitia pengadaan TNI AU akhirnya mengadakan lelang Helikopter Angkut AW-101 dengan mekanisme pemilihan khusus, yaitu metode pemilihan penyedia alutsista TNI yang dilakukan dengan membandingkan penawaran sekurang-kurangnya dua penawaran dari penyedia barang yang diundang dan dilakukan evaluasi kualifikasi.
Irfan menyiapkan dua perusahaan untuk dijadikan peserta lelang, yaitu PT Diratama Jaya Mandiri yang disiapkan sebagai perusahaan pemenang dan PT Karsa Cipta Gemilang yang disiapkan sebagai perusahaan pendamping agar pengadaan Helikopter Angkut AW-101 tetap dimenangkan oleh perusahaan miliknya.
Selain menyiapkan dua perusahaan sebagai pemenang dan pendamping dalam lelang pengadaan Helikopter Angkut AW-101 tersebut, Irfan menyiapkan perusahaan dengan nama Lejardo, Pte. Ltd., yang didirikan di Singapura yang berfungsi seolah-olah mempunyai kontrak dengan pihak Leonardo (AgustaWestland) untuk pengadaan helikopter AW-101.
Padahal, Lejardo, Pte. Ltd. tidak mempunyai pengalaman pekerjaan terkait pengadaan pesawat helikopter. Lejardo, Pte. Ltd. adalah perusahaan yang terafiliasi dengan Irfan. Ia menempatkan Bennyanto Sutjiadji sebagai Direktur Lejardo, Pte. Ltd.. Bennyanto adalah suami dari Raina Abednego yang merupakan staf administrasi pada PT Diratama Jaya Mandiri.
Pada 27 Juli 2016, Fachri Adamy yang bertindak untuk dan atas nama Agus mengeluarkan Surat Nomor: Kep/538/VII/2016 tentang Penunjukan Penyedia Barang/Jasa Pengadaan Helikopter Angkut. Surat tersebut berisi menunjuk PT Diratama Jaya Mandiri sebagai penyedia barang/jasa pengadaan helikopter angkut. Nilai pengadaan tersebut sebesar Rp 738,9 miliar dengan jumlah barang 9 paket.
Baca juga: Memandulkan Tentara lewat Korupsi Pengadaan Senjata
Pada 28 Juli 2016, PT Diratama Jaya Mandiri memberikan jaminan pelaksanaan sebagai salah satu persyaratan dalam penandatanganan kontrak dengan nilai jaminan 5 persen dari nilai kontrak atau sebesar Rp 36,9 miliar.
Terkait skema pembayaran dalam pengadaan Helikopter Angkut AW-101, awalnya panitia pengadaan mengusulkan skema pembayaran melalui lima tahap. Namun, Irfan mengajukan skema pembayaran sendiri yaitu tanpa uang muka, pembayaran tahap 1 sebesar 60 persen, tahap 2 sebesar 20 persen, tahap 3 sebesar 10 persen, dan tahap 4 sebesar 10 persen.
Sebab, Irfan telah membayar uang tanda jadi sebelum pengadaan dilakukan. Selain itu, helikopter AW-101 seri 600 VVIP Nomor Seri Produksi (MSN) 50248 yang akan diubah menjadi helikopter angkut telah selesai diproduksi pada tahun 2012 yang merupakan pesanan Angkatan Udara India, serta agar dapat mengalokasikan pembayaran dana komando kepada Agus.
Panitia pengadaan menolak usulan tersebut karena tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian dalam proses pengadaan. Namun, Fachri Adamy selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tetap menyetujui usulan pembayaran skema dari Irfan dan menuangkan dalam kontrak jual beli.
Pada 25 Agustus 2016, Irfan mengajukan penagihan tahap pertama sebesar Rp 443,3 miliar. Atas pembayaran tahap ke-1 tersebut, sesuai kesepakatan diambil 4 persen, yakni Rp 17,7 miliar untuk digunakan sebagai dana komando yang ditujukan kepada Agus. Alhasil, jumlah pembayaran pada 5 September 2016 yang disetorkan ke PT Diratama Jaya Mandiri hanya Rp 418,9 miliar. Agus memerintahkan Wisnu Wicaksono menarik dan mengambil dana komando yang berasal dari pencairan tahap ke-1 pengadaan Helikopter AW-101 tersebut.
Seusai mendengarkan pembacaan tuntutan dari jaksa, Irfan ataupun penasihat hukumnya tidak memberikan tanggapan terkait tuntutan tersebut. Djuyamto memberikan waktu kepada Irfan dan penasihat hukumnya menyampaikan pleidoi pada 6 Februari 2023 dan tidak akan ada perubahan waktu karena waktu penahanan Irfan akan habis.
Sementara Agus Supriatna saat ditanya Kompas perihal namanya yang kembali disebut terkait kasus tersebut, menuding jaksa menuntut tanpa data dan melihat fakta persidangan.