Memandulkan Tentara lewat Korupsi Pengadaan Senjata
Korupsi sektor pertahanan menggerus kekuatan tentara serta melemahkan kemampuan untuk menyediakan keamanan warga, mengamankan perbatasan, dan memenangi perang lawan terorisme.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
Airbus, Boeing, BAE, Dassault, hingga Finmeccanica dikenal bukan hanya karena memproduksi peralatan perang. Mereka juga dikenal karena beberapa kali diperiksa dalam kasus korupsi pengadaan alat utama sistem persenjataan atau alutsista di banyak negara.
Pengadaan senjata memang salah satu bidang yang amat rawan korupsi. Tuft University mengumpulkan data sebagian kasus yang melibatkan nama-nama besar dalam industri pertahanan global. Perusahaan dari negara yang kerap menekankan pentingnya pencegahan korupsi sekalipun ada dalam daftar Tufts University itu. Perusahaan dari Eropa dan Amerika berkali-kali dicatat dalam data Tufts University.
Dalam laporan pada November 2021, Transparancy International (TI) menemukan bahwa pengadaan persenjataan di 62 persen negara amat rawan korupsi. Dari nilai 1 sampai 100, di mana 100 yang terbaik, 62 persen negara mendapatkan skor 45.
”Korupsi sektor pertahanan menggerus kekuatan tentara, melemahkan kemampuan menyediakan keamanan bagi warga, mengamankan perbatasan, dan membawa perdamaian. Korupsi pertahanan malah bisa memperburuk konflik,” kata Natalie Hogg, Direktur Program Pertahanan dan Keamanan TI.
Negara dengan indeks persepsi korupsi amat rendah, seperti Singapura, pun disebut TI tetap rawan korupsi pengadaan persenjataan. TI memasukkan India dalam kategori sama seperti Singapura, yakni berisiko sedang. Pengadilan Perancis tengah memerintahkan penyelidikan dugaan korupsi pengadaan jet tempur Rafale senilai 9,2 miliar dollar AS kepada India.
Dassault, perusahaan pembuat pesawat militer serta jet bisnis asal Perancis, dan pemerintahan Narendra Modi pernah menyepakati pembelian 36 jet Rafale beberapa tahun lalu. Sejumlah media India melaporkan, suap terkait proyek itu mengarah kepada politisi India ataupun Perancis. Bahkan, keluarga mantan Presiden Perancis Francois Hollande ikut disebut dalam laporan media India soal suap dalam pembelian Rafale.
Sebelum kasus Rafale, India diguncang skandal pengadaan helikopter AgustaWestland AW101. Sejumlah perwira dan politisi India diduga menerima suap dari Finmeccanica, yang kini bernama Leonardo, untuk memuluskan transaksi itu. Produk sejenis juga menjadi sasaran penyelidikan korupsi di Indonesia. Bahkan, sejumlah jenderal ikut diselidiki.
Hollande bukan satu-satunya mantan kepala negara yang disebut dalam korupsi pengadaan persenjataan buatan perusahaan Perancis. Mantan Presiden Afrika Selatan
Jacob Zuma malah diadili karena diduga menerima suap dari Thales. Produsen produk pertahanan Perancis itu diduga menyuap Zuma agar tidak ikut mendorong penyelidikan pada pengadaan produk buatan Thales di Afrika Selatan.
Sementara dalam riset beberapa lembaga, sejumlah negara Timur Tengah royal mengimpor persenjataan bukan karena mereka benar-benar membutuhkannya. Impor tetap terjadi karena produsen senjata bersedia mengucurkan miliaran dollar AS kepada pejabat yang mengurus pengadaan persenjataan.
Kantor Penyelidikan Kecurangan Serius (Serious Fraud Office/SFO), lembaga Pemerintah Inggris yang khusus menyelidiki korupsi dan kasus-kasus yang melibatkan rekayasa keuangan serius, antara lain, menemukan dugaan suap 6 miliar pound sterling.
Suap tersebut diberikan BAE, produsen pesawat dan produk pertahanan Inggris, kepada para pejabat di Arab Saudi. Suap itu imbalan atas persetujuan Riyadh mengimpor aneka persenjataan dari Inggris.
Tameng rahasia negara
Mengacu, antara lain, pada data Tufts University dan TI, korupsi pengadaan senjata memang tak hanya terjadi di Arab Saudi, Afrika Selatan, dan India. Di negara-negara lain juga ada dugaan korupsi bernilai total miliaran dollar AS dari proyek pengadaan persenjataan dan operasi militer atau keamanan.
Seorang mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi, Saad al-Jabri, mengakui mengambil 11 miliar dollar AS dana penanggulangan teror di negaranya. Ia menganggap hal itu sebagai hadiah atas keberhasilan kerja. Kala kasus itu diselidiki, Jabri lari ke luar negeri, lalu menuding penguasa di Riyadh berusaha memberangus pengkritik.
Di Niger, badan inspektorat militer setempat (Inspection Générale des Armées) menemukan dugaan korupsi 320 juta dollar AS dari total anggaran 875 juta dollar AS yang diperiksa. Badan inspektorat itu, antara lain, mempertanyakan dana 137 juta dollar AS yang tak bisa dijelaskan dalam audit terhadap militer.
Audit terhadap militer memang bukan hal lazim di banyak negara. Masih banyak negara memberlakukan impunitas terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan anggota militer. Berlindung di balik alasan rahasia negara, pengadaan persenjataan dan pembiayaan operasi militer kerap tidak bisa diakses dan diperiksa secara independen.
Padahal, proses pengadaan persenjataan tidak selamanya berjalan sesuai koridor. Kasus AW101 di India dan Indonesia, Rafale di India, hingga BAE di Arab Saudi membuktikan kecurangan dalam proses itu.
Pada beberapa kasus, ada konflik kepentingan amat serius dalam pengadaan persenjataan. Pejabat yang bertanggung jawab dalam proses pengadaan mencari berbagai cara untuk mendapat keuntungan pribadi dari proses pengadaan. Ada pejabat yang membentuk perusahaan yang terlibat dalam proses pengadaan. Ada pula pejabat, seperti dalam kasus Zuma, meminta jatah suap rutin.
Melemahkan
Seperti disinggung Hogg, korupsi pengadaan persenjataan bisa melemahkan angkatan bersenjata. Peneliti Georgetown University, Jodi Vittori, melihat hal itu terbukti, antara lain, di Afghanistan. Aparat Afghanistan mempunyai perlengkapan lebih baik daripada milisi Taliban. Meski demikian, Taliban hanya butuh beberapa pekan untuk kembali menguasai Afghanistan.
”Korupsi di tubuh pasukan Afghanistan menggerus kemampuan aparat untuk bertempur menjelang kejatuhan. Sekalipun fenomena itu sudah disadari sebagai salah satu ancaman serius, AS tidak berbuat banyak untuk memberantasnya,” kata Vittori.
Para komandan Afghanistan memilih menerima suap dari lawan yang meminta mereka tidak mengerahkan pasukan. Sementara pasukan lapangan dibiarkan tanpa pasokan sehingga akhirnya terpaksa meninggalkan pos-pos mereka.
Kasus serupa, antara lain, terungkap dalam pemeriksaan inspektorat militer di Niger, juga terjadi dalam perang melawan teror di kawasan Sahel. Meski AS dan sejumlah negara Eropa telah mengucurkan miliaran dollar AS, perang itu terus berlangsung tanpa ada tanda melemahnya kelompok teroris yang diserang. Moral pasukan rusak gara-gara para komandannya korupsi.
Peneliti pada Carnegie Endowment for International Peace, Frederic Wehrey, menyebut bahwa korupsi sektor pertahanan menjadi salah satu penyebab AS gagal membendung China serta Rusia di Asia dan Afrika. Para pejabat di sana menerima suap serta mengabaikan kepentingan negaranya dan negara mitra.
Impor bernilai total ratusan miliar dollar AS selama bertahun-tahun terbukti tidak meningkatkan kekuatan militer negara-negara Timur Tengah. Mereka terus-menerus mengandalkan perlindungan AS dan sejumlah negara Eropa yang mempunyai pangkalan militer di sana.
Tujuan impor persenjataan di Timur Tengah ataupun kawasan lain bukan untuk menguatkan militer. Tentara sebagai pengguna komoditas impor itu malah kerap mengeluh karena yang diimpor tak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Tujuan impor aneka persenjataan, antara lain, malah dimanfaatkan berbagai oknum untuk memperkaya diri. Bahkan, ada anekdot lawas bahwa kehebatan militer suatu negara jangan dilihat dari tank, kapal perang, atau pesawat tempurnya. Kehebatan itu terlihat dari seperti apa rumah beserta perabotan yang dimiliki para jenderalnya. (AFP/REUTERS)