Pembahasan Perppu UU Pemilu Melebar ke Penataan Keserentakan Akhir Masa Jabatan
Pembahasan Perppu Pemilu yang dilakukan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu melebar. Pembahasan tak hanya soal daerah pemilihan baru terkait daerah otonom baru, tapi juga penataan keserentakan akhir masa jabatan.
Oleh
IQBAL BASYARI
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Materi pembahasan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Pemilihan Umum yang dilakukan oleh Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan penyelenggara pemilu melebar. Pembahasan tidak hanya terkait soal daerah pemilihan di daerah otonom baru dan penambahan kursi DPR, tetapi juga membahas di antaranya soal penataan keserentakan akhir masa jabatan penyelenggara pemilu serta nomor urut partai politik peserta pemilu.
Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Nasdem Saan Mustopa membenarkan adanya usulan lain yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Selain mengatur soal penambahan daerah pemilihan di empat daerah otonom baru di Papua beserta penambahan jumlah kursi, mengemuka usulan tentang penataan keserentakan akhir masa jabatan penyelenggara pemilu serta nomor urut partai politik peserta pemilu.
Padahal pembentukan perppu tersebut pada awalnya dilakukan sebagai implikasi dari penyelenggaraan pemilu pada empat daerah otonom baru di Papua dan Papua Barat. Keempat provinsi baru tersebut yakni Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pengunungan, dan Papua Barat Daya. Namun usulan-usulan tersebut masih sebatas wacana dan akan dibicarakan dalam rapat konsinyering lanjutan antara Pemerintah, DPR, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
”Baru wacana saja, nantinya di konsinyering akan dibicarakan. Mudah-mudahan di awal November ada konsinyering lagi agar perppu selesai di bulan November,” ujar Saan saat dihubungi dari Jakarta, Senin (31/10/2022).
Baru wacana saja, nantinya di konsinyering akan dibicarakan. Mudah-mudahan di awal November ada konsinyering lagi agar perppu selesai di bulan November.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari tidak membenarkan maupun menyanggah materi konsinyering terkait penataan keserentakan akhir masa jabatan penyelenggara pemilu. Sebab, materi konsinyering bukan konsumsi publik sebagaimana kesepakatan dalam rapat konsinyering. ”Sudah disepakati begitu dengan para pihak,” katanya.
Dalam rancangan Perppu tentang Perubahan atas UU No 7/2017 tentang Pemilu yang dibuat pada 28 Oktober 2022 yang diperoleh Kompas disebutkan, ada 25 ketentuan yang akan diatur dalam perppu. Salah satunya mengubah ketentuan Pasal 186 tentang jumlah kursi yang sebelumnya berjumlah 575 kursi bertambah menjadi 580 kursi.
Sudah disepakati begitu dengan para pihak.
Adapun ketentuan lain yang dibahas, di antaranya, terkait Pasal 179 mengenai nomor urut parpol peserta pemilu. Di Pasal 179 Ayat (3a) disebutkan, parpol yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu yang telah menjadi peserta Pemilu 2019 tetap menggunakan nomor urut yang telah ditetapkan dan telah diumumkan oleh KPU pada pemilu tahun 2019. Sementara di Pasal 179 ayat (3b) disebutkan, nomor urut parpol peserta pemilu pada Pemilu 2019 yang tidak lagi menjadi peserta pemilu digunakan sebagai nomor urut bagi parpol peserta pemilu baru.
Sementara, terkait keserentakan akhir masa jabatan penyelenggara pemilu, disisipkan dalam Pasal 563A. Usulan KPU dan Komisi II DPR agar ada percepatan akhir masa jabatan KPU dan Bawaslu provinsi dan kabupaten/kota, sedangkan pemerintah mengusulkan agar masa jabatan diperpanjang. Adapun usulan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) ada yang dipercepat dan diperpanjang.
Dalam usulan KPU, masa tugas keanggotaan seluruh KPU provinsi berakhir serentak pada Mei 2023, sedangkan masa tugas seluruh KPU kabupaten/kota berakhir pada Juli 2023. Anggota KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota yang masa tugasnya berakhir lebih cepat memperoleh kompensasi. Alternatif yang diusulkan Komisi II DPR, masa jabatan anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota yang berakhir pada 2023, 2024, dan 2025 menjabat sampai 2023.
Fraksi PDI-P juga mengusulkan semua anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota berakhir pada 2023. Jika akhir masa jabatan berakhir pada 2022, diperpanjang hingga 2023. Sementara yang akhir masa jabatannya berakhir pada 2024 dan 2025 hanya menjabat hingga 2023. Fraksi PDI-P pun sepakat untuk memberikan kompensasi sebesar sisa masa jabatan bagi anggota KPU yang terdampak. Sementara itu, pemerintah mengusulkan anggota KPU dan Bawaslu yang masa jabatannya berakhir pada 2024 diperpanjang hingga Desember 2024.
Pemerintah mengusulkan anggota KPU dan Bawaslu yang masa jabatannya berakhir pada 2024 diperpanjang hingga Desember 2024.
Sebelumnya saat Rapat Dengar Pendapat Umum di Komisi II DPR, Kamis (16/9/2021), Ketua KPU periode 2017-2022 Ilham Saputra sempat mengusulkan adanya perpanjangan masa jabatan anggota KPU yang berakhir pada 2023 dan 2024. Hal itu diusulkan lantaran sebagian penggantian dilakukan saat tahapan krusial, terutama menjelang pemungutan suara.
Dari data KPU saat itu, ada 24 KPU provinsi yang harus melakukan rekrutmen pada 2023 dan sembilan KPU provinsi yang rekrutmennya dilakukan pada 2024. Sementara di tingkat KPU kabupaten/kota, ada 317 KPU kabupaten/kota yang seleksinya dilakukan pada 2023 dan 196 KPU kabupaten/kota yang seleksi dilakukan pada 2024.
Ketentuan lain yang akan diatur di perppu, antara lain, tentang pembentukan KPU dan Bawaslu di empat DOB di Papua, penghitungan suara dilakukan dengan cara manual dan atau elektronik, insentif bagi KPU selama tahapan pemilu, dan penambahan jumlah pengawas tempat pemungutan suara (TPS) yang sebelumnya berjumlah satu orang menjadi dua orang di setiap TPS.
Usulan lain terkait masa kampanye yang muncul beberapa opsi, yakni dilaksanakan paling lambat tiga bulan setelah penetapan daftar calon tetap (DCT) (usul KPU), dilaksanakan setelah ditetapkan DCT (usul Fraksi PDI-P), atau dilaksanakan sejak 30 hari setelah DCT bagi kampanye DPR, DPD, dan DPRD serta tujuh hari sejak ditetapkan pasangan capres dan cawapres (usul pemerintah).
Ditunggangi kepentingan jangka pendek
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay menilai, pembahasan perppu UU Pemilu sebaiknya hanya terkait langsung dengan kelancaran pelaksanaan Pemilu 2024. Sebab dikhawatirkan kesempatan pembahasan perppu ditunggangi kepentingan politik jangka pendek. Apalagi jika ada aturan yang menguntungkan partai tertentu dan merugikan yang lain seperti usulan soal nomor urut parpol.
Pembahasan yang melebar, lanjutnya, dikhawatirkan membuat perppu tidak kunjung selesai karena ada tarik-menarik kepentingan saat pembahasan. Padahal perppu itu sudah diperlukan karena tahapan penetapan jumlah kursi dan daerah pemilihan sudah dilaksanakan sejak 14 Oktober lalu dan akan berakhir pada 9 Februari 2023 mendatang.
Seharusnya pembahasan yang tidak terkait dengan kelancaran pemilu tidak perlu dilakukan. Kalau dipaksakan, hasilnya bisa tidak matang, bahkan bisa menimbulkan gejolak baru.
”Seharusnya pembahasan yang tidak terkait dengan kelancaran pemilu tidak perlu dilakukan. Kalau dipaksakan, hasilnya bisa tidak matang, bahkan bisa menimbulkan gejolak baru,” kata Hadar.
Terkait penataan keserentakan masa jabatan penyelenggara pemilu, mantan anggota KPU itu menilai sudah tepat dibahas saat ini. Namun tidak seperti usul KPU, Komisi II, dan Fraksi PDI-P yang ingin masa jabatan dipercepat, Hadar justru mendorong masa jabatan angggota KPU provinsi dan kabupaten/kota yang berakhir pada 2023 dan 2024 diperpanjang, sama seperti usul KPU periode sebelumnya.
Menurut dia, pengurangan masa jabatan KPU provinsi dan kabupaten/kota justru menimbulkan persoalan baru. Sebab harus ada seleksi yang dilaksanakan di tengah tahapan pemilu yang sudah berlangsung, bahkan ada potensi gugatan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan. Lain halnya jika memperpanjang masa jabatan yang membuat penyelenggara yang bisa meringankan beban penyelenggara. Sebab mereka tidak perlu melaksanakan seleksi dan bisa fokus untuk melaksanakan tahapan pemilu.
”Sudah saatnya punya penyelenggara pemilu yang seleksi dan masa jabatannya sinkron dengan siklus pemilu yang pergantiannya tidak dilakukan saat tahapan berlangsung. Maka perlu diatur perpanjangan masa jabatan hingga ketemu titik keserentakan yang ideal,” tutur Hadar.
Sementara terkait nomor urut parpol, menurut dia tidak adil bagi parpol baru. Sebab cenderung ada perlakuan spesial kepada parpol yang telah ikut pemilu. Sementara parpol baru hanya akan mendapatkan nomor urut sisa yang tidak dipakai.
”Pertimbangan efisiensi tidak logis karena sebagian besar biaya sosialisasi dibiayai negara, bahkan ada potensi parpol malas berkampanye karena nomor urutnya sudah dikenal pemilih,” kata Hadar.