Mahfud MD: Yudikatif Harus Berbenah
Survei ”Kompas” merekam kepuasan publik pada pemerintah menurun. Penegakan hukum, salah satunya, turun tajam. Mahfud MD mengatakan, yudikatif harus berbenah. Beberapa negara hancur karena penegakan hukumnya tidak benar.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut kepercayaan publik adalah modal sosial bagi pemerintah agar pemerintahan berjalan efektif. Jika kepercayaan publik tidak terjaga, maka negara tersebut sedang menghadapi ancaman bencana. Mengapa? Karena ketidakpercayaan publik yang tidak dikelola dengan baik bisa memicu pembangkangan sosial. Ketika pembangkangan tidak diselesaikan, hal itu akan memicu masalah yang lebih serius, yaitu perpecahan. Jika sudah ada disintegrasi, menurut dia, masyarakat akan sulit untuk disatukan kembali.
Tingkat kepuasan publik terhadap pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin turun. Hal ini terekam dalam hasil survei Litbang Kompas periode Oktober 2022 yang menunjukkan tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi-Amin sebesar 62,1 persen atau turun 5 persen dari survei Juni 2022.
Penurunan tingkat kepuasan itu diikuti penurunan tingkat keyakinan publik pada kinerja pemerintahan. Hasil survei periode Oktober 2022 menunjukkan, tingkat keyakinan menyentuh angka 52 persen, terendah sejak awal pemerintahan Presiden Jokowi.
Jika dirinci, dari empat aspek yang disurvei, penegakan hukum turun terdalam, yakni dari 57,5 persen menjadi 51,5 persen. Penurunan ini paralel dengan tergerusnya kepercayaan publik terhadap instansi-instansi yang terkait penegakan hukum. Polri turun terdalam, yakni turun 17,2 persen menjadi 49 persen. MA turun 10,2 persen menjadi 52 persen.
Terkait dengan hasil survei itu, Kompas melakukan wawancara khusus dengan Mahfud MD di ruang kerjanya, Kamis (20/10/2022) lalu. Bagaimana tanggapan pemerintah terhadap hasil survei tersebut? Berikut petikan wawancaranya.
Hasil survei menunjukkan kepuasan masyarakat terhadap pemerintah menurun, menyentuh 52 persen. Jika sampai 50 persen, itu dianggap sudah di titik jenuh. Apa yang perlu diperhatikan pada evaluasi politik keamanan dan penegakan hukum?
Menurut saya, indeks itu dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang sifatnya insiden, bukan situasi keamanan pada umumnya. Karena situasi keamanan pada umumnya, kan, baik.
Kenapa turun? karena aparat keamanan itu ditimpa oleh insiden atau musibah kasus (pembunuhan oleh) Ferdy Sambo, kasus Kanjuruhan (Jawa Timur). Ini kasus (narkoba) Teddy Minahasa masuk tidak dalam survei? Belum. Tetapi, Sambo dan Kanjuruhan itu sangat memukul sehingga terasa bahwa orang bicara aparat keamanan bukan situasi keamanan.
Baca juga : Relasi Ferdy Sambo di Kepolisian Lancarkan Pembunuhan
Situasi keamanan dan aparat keamanan itu berbeda. Kalau situasi keamanan, menurut saya, di Indonesia lumayan (baik). Karena keamanan rakyat itu, kan, kehidupan sehari-hari. Adapun aparat keamanan adalah kasus seperti Sambo itu, makanya itu memengaruhi persepsi publik. Meskipun situasi keamanan di Indonesia bagus, aparat keamanannya khusus untuk Sambo itu sangat buruk dan menjatuhkan persepsi.
Baca juga : Proses Hukum Tragedi Kanjuruhan Terus Dikawal
Kita anggap temuan Litbang Kompas itu in line (sejalan) dengan apa yang terjadi di aparat keamanan. Karena memang kita sadari harus diperbaiki aparat keamanan. Sejak bulan Juli itu aparat keamanan, dalam arti kepolisian, itu drop. Dulu bulan Juni itu masih bagus survei hampir tertinggi. Sekarang paling bawah, hampir juga di semua survei dibandingkan seluruh aparat penegak hukum.
Apa yang ditemukan Kompas itu kami jadikan alat refleksi karena kami sedang menata diri memang. Saya sudah koordinasi dengan Kapolri. Ayo, kita perbaiki sistemnya. Sekarang kami sedang pada situasi untuk bisa lebih didengar dari sebelumnya oleh rekan-rekan Polri yang dulu hedonis, sewenang-wenang, koruptif. Kami katakan, tidak bisa bersembunyi dengan tatapan masyarakat. Itu akibat masyarakat melihat itu semakin besar, artinya semakin turun indeksnya.
Bagaimana memandang kepuasan masyarakat kepada pemerintah, termasuk kepada Polri sebagai garda terdepan penegakan hukum?
Polisi itu garda terdepan karena satuan kerjanya paling banyak. Satkernya sampai ke desa punya satuan tugas, satuan kerja. Ada bhabinkamtibmas (bhayangkara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat). Yang hampir mengimbangi itu adalah Kementerian Agama yang punya sampai ke desa. Itu disebut garda terdepan.
Pertama-tama kita selalu bicara (reformasi) kultural saja, karena sebenarnya kalau aturan-aturannya itu sudah lengkap. Masalahnya, bagaimana reformasi kultural atau mengubah perilaku congkak, hedonis, dan kesewenang-wenangan aparat.
Ada yang mengatakan pejabat Polri dari tingkat kapolresta sudah tidak pakai mobil sendiri. Mobilnya sendiri itu standarnya Altis (Toyota Corolla Altis) kalau tidak salah. Tetapi, sekarang kapolda, kapolres sudah pakai mobil yang mewah-mewah. Pakai Hammer, Alphard, dan lain-lain.
Di aturannya, bukan itu jatah mobilnya. Berarti itu mobil pribadi, bukan mobil negara, lalu ditempeli pelatnya negara. Itu, kan, sifat kecongkakan. Agar merasa hebat, kelihatan ini, dan itu terjadi di hampir semua lini. Ada satu-dua itu, tetapi hampir semua polisi itu mobilnya harus Alphard, mobilnya juga mewah-mewah, yang mengawal juga, dan seterusnya.
Itu yang sekarang dirasakan oleh masyarakat. Oleh sebab itu, yang namanya reformasi mental, kultural, kemudian menyangkut ketaatan, kedisiplinan, dan keteladanan.
Lalu, kedua adalah ketegasan. Kalau terjadi (anggota Polri melanggar hukum), langsung saja ditindak. Kalau secara hukum ditindak, itu perlu proses hukum yang bertele-tele, ditindak disiplin saja langsung etik. Kan, etik itu untuk keperluan internal Polri, tidak ada urusan dengan masyarakat. Panggil saja kalau begitu, mutasi, demosi. Karena memang sekarang banyak (anggota Polri) yang pendapatan dan kekayaan tidak sesuai dengan profilnya.
Itu yang menyebabkan saya tidak katakan situasi keamanan. Tetapi, saya katakan situasi keamanan yang datar-datar saja. Tetapi, insiden aparat keamanan yang menyebabkan persepsi publik turun. Bukan situasi keamanan pada umumnya.
Baca juga : Ketika Kapolri Perbaiki Citra Korps Bhayangkara di Media Sosial
Apakah perlu dilakukan perubahan mental pada Polri?
Iya, mental, keteladanan, dan tindakan tegas dari pimpinan (Polri). Jadi, pimpinan itu ada keteladanan, kemudian tindakan tegas. Kalau dua itu ketemu, selesai. Kami di Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional) menyebutnya reformasi kultural. Sehingga kebiasaan jelek itu, ada hedonis, sewenang-wenang, congkak, hidup mewah, jadi backing preman, harus dihilangkan.
Presiden sudah mengatakan, polisi kalau dipindah di satu tempat terkadang sowan pertama itu ke rumah preman, bukan ke rumah tokoh. Katanya biar preman bisa ditundukkan, tetapi tidak juga. Dulu Pak Jokowi pernah ceramah itu, kan, di Bali. Saya ingatkan, Polri kalau dapat tempat baru yang disowani pertama jangan preman. Jadi, preman didatangi, lalu ceramah di rumah preman.
Apakah Bapak melihat, ketegasan bisa mengatasi dan memulihkan permasalahan di aparat kepolisian? Seperti halnya pada kasus Teddy Minahasa?
Iya, tentu saja diharapkan (ketegasan) agar kepercayaan publik bisa tumbuh. Mungkin Teddy pemicunya, (dan itu) harus dilanjutkan ke yang lain-lain. Karena dari Teddy itu, kan, rangkaiannya banyak, siapa-siapa (saja yang diduga terlibat), kapan dan di mana itu masih banyak. Itu diurai satu per satu dehingga jaringan itu terhenti.
Baca juga : Dibutuhkan Polisi yang Tegas, Beretika, dan Humanis
Soal gaya hidup mewah anggota Polri dan juga terkait integritas dan akuntabilitasnya, apa komitmen pemerintah untuk mengatasinya? Apakah mungkin diatasi dengan UU Perampasan Aset?
Ada tiga hal kalau mau memberantas polisi yang hidup mewah, termasuk untuk aparat penegak hukum dan pejabat pada umumnya. Kami sudah ajukan (Rancangan) Undang-Undang Pembuktian Terbalik, sebelum adanya RUU Perampasan Aset. Contohnya, saya menteri. Kamu tahu gaji pokok menteri, tunjangan dari negara berapa, uang operasionalnya berapa, kalau dihitung lima tahun dapat Rp 5 miliar, atau setahun dapat Rp 1 miliar, tiba-tiba kok tertulis Rp 2 miliar. Kalau di Malaysia, langsung disebut, kamu korupsi Rp 1 miliar. Diminta membuktikan, kalau yang Rp 1 miliar itu benar.
Lalu, dia bisa buktikan misalnya tanggal sekian ayah saya meninggal dan saya bisa dapat warisan tanah. Dulu, waktu saya laporan pertama itu harga tanahnya sekian, tetapi karena ada proyek naik sekian miliar (rupiah). Itu pembuktian terbalik namanya. Dia menunjukkan. Kalau tidak bisa tunjukkan itu, dia dipenjara karena ada kelebihan harta Rp 1 miliar. Berarti kamu korupsi, menerima suap.
Tetapi, ketika (RUU Pembuktian Terbalik) mau diajukan, banyak yang tidak setuju. Lalu, kedua adalah RUU Pembatasan Belanja Uang Tunai. Kalau ada orang tidak korupsi, kalau mau belanja Rp 100 juta rupiah, harus dibayar lewat bank dan dicairkan lewat bank. Misalnya, saya mau kirim uang ke Dian Rp 100 juta, saya turunkan ke rekening sekian, ke rekening milik Anda, itu akan terkontrol dari sini ke sini, untuk angkanya nanti akan ketahuan. Sekarang, orang kalau korupsi kan tidak pakai bank, tetapi pakai (tunai dengan menggunakan) koper, tidak ada yang tahu.
Kami ajukan RUU Perampasan Aset belum disetujui.
Yang tampaknya akan disetujui adalah RUU Perampasan Aset dalam Tindak Pidana. Jadi, orang melakukan tindak pidana, asetnya rampas saja. Dugaan segini, rampas. Sehingga dia tidak bisa gunakan hartanya untuk suap, untuk belanja ini dan itu.
Ini yang tampaknya bisa disetujui dan akan terus kami perjuangkan. Presiden sudah tiga kali dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia selalu bicara (Rancangan) Undang-Undang Perampasan Aset, tetapi DPR belum merespons dengan positif. Tidak apa-apa. Namanya negara demokrasi, kalau ada yang tidak setuju kita ajukan lagi, begitu saja. Sekarang, sudah masuk di (Program Legislasi Nasional) Prioritas, mudah-mudahan langsung dibentuk panitia khususnya.
Karena Presiden pada bulan Desember lalu sudah kirim pesan agar (RUU Perampasan Aset) segera dimasukkan. Dulu, sudah masuk lalu dikeluarkan lagi. Karena dulu masuk, dikeluarkan lagi, lalu Presiden pada Hari Hak Asasi Manusia Internasional bilang, tolong dimasukkan lagi. Sekarang masuk lagi, kami langsung proses lagi.
Baca juga : Kapolri Ingatkan Keteladanan Pimpinan untuk Cegah Kekerasan Berlebihan
Bagaimana agar DPR memiliki pemahaman yang sama dengan pemerintah soal RUU Perampasan Aset?
Saya tidak tahu caranya, wong DPR tidak mau menuruti kehendak rakyat, padahal wakil rakyat. Kami berdebat saja. Saling memberi pengertian bahwa ini kepentingan negara bersama. Kan, gitu pada akhirnya, kalau ada cara yang mempermudah tentu bisa kami lakukan.
Tapi, ini tentu harus lewat DPR. Terkecuali, kalau kita mau keluarkan dalam bentuk perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang), misalnya, karena darurat korupsi perlu UU Perampasan Aset, (maka) perppu saja. Tetapi, kan, tidak bagus perppu kalau DPR tiba-tiba menolak. Sejauh yang saya dengar, DPR sendiri tidak terlalu resistan terhadap RUU Perampasan Aset.
Hasil survei Litbang Kompas, kalau dirinci ada dua lembaga dengan tingkat kepuasan publik yang turun tajam. Selain Polri, ada Mahkamah Agung, turun 10,2 persen jadi 52 persen. Bagaimana ini? Terobosan apa untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada MA? Padahal, MA punya independensi sendiri.
Itulah masalahnya, Mahkamah Agung punya independensi sendiri. Dan itu memengaruhi dunia penegakan hukum pada umumnya. Kalau di MA terjadi sesuatu, lalu disebut indeks penegakan hukum Indonesia turun. Yang dituding, kan, pemerintah, padahal kita tidak bisa masuk ke MA.
Jadi, ini sebenarnya karena dulu reformasi kita mengajukan konsepsi independensi lembaga peradilan. Pokoknya hakim harus merdeka, jangan diganggu gugat. Pindah, kekuasaan kehakiman disatuatapkan melalui UU Kehakiman. Satu atap di MA, di mana hakim tidak boleh diganggu gugat.
Ternyata, sesudah diberi kemerdekaan dan independensi justru digunakan untuk memeras, korupsi, dan sebagainya. Kemudian, terakhir puncaknya adalah (kasus Hakim Agung) Sudrajad Dimyati ditangkap karena melakukan atau didakwa melakukan kejahatan (dugaan penerimaan suap untuk pengurusan perkara perdata) itu. Kejahatan yang jahat karena mainkan perkara dengan uang. Oleh sebab itu, kita mau apa sekarang, kan, gitu.
Beberapa hal kita gagas, pertama, kemerdekaan terhadap kekuasaan kehakiman adalah perintah UUD 1945. Oleh sebab itu, kita tidak mengganggu kemerdekaan mereka.
Saya berpikir semua aparatur sipil negara (ASN) yang bukan hakim di lingkungan MA supaya dikelola oleh pemerintah. Dalam hal ini adalah Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi atau Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sehingga dia bisa diatur seperti polisi. Setiap setahun dipindah supaya tidak bisa jual beli perkara dan tidak menjadi perantara di antara dia dan hakim. Meskipun kalau orang nakal ada saja.
Kedua, kita kembalikan peran Komisi Yudisial. Ini penting. Mudah-mudahan nanti menjadi perhatian publik. KY dulu dibentuk untuk mengawasi hakim-hakim karena MA menyatakan, 'Kami tidak sanggup awasi hakim kami sendiri’. Itu dulu MA yang bilang.
Oleh sebab itu, kami meminta kepada lembaga di luar MA yang setingkat lembaga MA, namanya KY dibentuk. Tugasnya mengawasi hakim, angkat hakim, menilai hakim, memeriksa, dan sebagainya. Begitu diundangkan, hakim-hakim agung atas nama pribadi dipotong wewenangnya (KY), sampai sekarang.
Sehingga apa, sih, yang dilakukan oleh KY, semestinya ide kita dulu KY bikin ekspose begini hakim yang hebat, ini hakim nakal dan melanggar moral, itu yang akan mengawasi. Sekarang kita tidak melihat kinerja KY. Dulu awal-awal hebat sekali pada tahun 2006-2009, bergigi. Sekarang sudah dipotong semua giginya habis, tidak punya apa-apa.
Nah, lalu memperbaiki tadi, satu, ASN kita atur. Kedua adalah mengembalikan fungsi KY (sesuai gagasan awal).
Baca juga : Setelah Sudrajad Dimyati, KPK Telusuri Hakim Agung Lainnya dalam Perkara Dugaan Suap di MA
Bagaimana cara mengembalikan fungsi KY yang semestinya?
Buat UU (KY yang) baru, karena itu kan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kita buat lagi. Karena jika dibatalkan oleh MK, (tetapi) satu saat diperlukan, maka sekarang bisa disusun lagi. Orang bisa membuat hal baru lagi yang dalilnya berbeda, dan pasalnya beda. Itu bisa (dilakukan).
Kemarin, saya bicara dengan sebuah partai paling besar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Saya bilang kalau PDI-P dukung, ini selesailah. Karena PDI-P itu lokomotif terkuat, artinya DPP di bawah (Ketua Umum PDI-P) Megawati Soekarnoputri itu tak tertandingilah, tidak ada yang berani main-main. Gerbongnya banyak, pemilih paling besar.
Kalau PDI-P mau, yang lain susah menolak. Saya kemarin sudah bilang, tolong dibantu untuk perbaikan negara. Kita lihat saja perkembangan yang akan dilakukan oleh bangsa ini.
Momentumnya pas, ya, saat MA sebagai peradilan tertinggi di Indonesia kena kasus suap yang diduga dilakukan salah satu hakim agungnya, Sudrajad Dimyati?
Betul, momentumnya pas. Sistem seleksi MA itu juga tidak tepat, karena bisa melahirkan orang seperti Sudrajad. Padahal, sudah diseleksi oleh KY, seleksi DPR, kok masih seperti itu. Sudah pernah tidak lulus, kok diajukan lagi, dan itu kan mencurigakan.
Beda kalau orang lulus, lalu ditunda, diajukan lagi. Ini tidak lulus dan memenuhi syarat, bagaimana kok diajukan lagi? Apalagi pernah dijatuhi sanksi pelanggaran, bisa lolos jadi hakim agung. Ini kan diperlukan sebuah KY yang kuat dan sungguh-sungguh.
KY kerjanya setiap hari kalau ada hakim agung kosong seleksi, sama rilis laporan tahunan. Mengawasi hakim itu tidak boleh, loh, diumumkan. Harus berembuk dulu dengan MA, siapa yang memberi sanksi, sanksinya apa harus bicara dulu, lalu yang umumkan MA. KY tidak bekerja, dan seperti tidak ada gunanya.
KY, mari kita bangun agar kuat sesuai dengan dulu sehingga sesuai dengan keberadaan KY di negara-negara lain.
KY di negara lain ditakuti oleh lembaga lain. Saya pernah ke Polandia, itu lebih hebat, ditakuti karena dia bisa rekomendasi hakim ini dipecat, menteri ini diberhentikan, meskipun dia di yudikatif, tetapi KY di negara-negara lain itu mengawasi juga perilaku pemerintah. Di sini tidak, dibuat seperti kantor kecamatan saja.
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak mudah, ada resesi, seberapa penting kepercayaan masyarakat harus dipulihkan kembali agar bisa stabil?
Pemerintahan pada umumnya, bukan soal hukum. Begini, kalau Saudara lihat Indonesia yang termasuk baik dalam ketahanan ekonomi, baik dalam hal Covid-19 dan pemerintah juga mengantisipasi bahwa tahun depan akan terjadi resesi.
Tetapi, seperti apa, okelah itu bidangnya (Menteri Keuangan) Sri Mulyani. Saya di rapat kabinet tahu bahwa di rapat kabinet akan bersungguh-sungguh melakukan kejutan. Satu, (ancaman krisis) pascapandemi. Kedua, (ancaman krisis akibat) geopolitik. Perang Rusia dan Ukraina, yang kemudian menyebabkan Amerika Serikat ikut. China juga ikut-ikutanan. Semua itu akan memengaruhi kehidupan ekonomi kita.
Jangan kira perang Rusia dan Ukraina hanya di sana. Bahkan, masalah-masalah ekonomi di negara berbeda sampai ke negara lain. Misalnya, kita semua akan pakai gandum, sebanyak 80 persen impor gandum dari Ukraina. Dengan adanya perang Rusia-Ukraina itu, sudah dibicarakan dalam sidang kabinet, seperti minggu lalu.
Artinya, pemerintah akan benar-benar menghidupkan ekonomi rakyat sebagai pertahanan. Juga upaya formal dan prosedural yang sudah ditetapkan menurut kaidah ilmu modern. Kalau itu masih kurang, ekonomi rakyat bisa ikut (kena dampaknya).
Eksekutif tidak bisa bekerja sendiri. Karena (itu), yudikatif juga harus berbenah. Orkestrasi institusi-institusi kenegaraan ini penting, mempunyai pandangan yang sama tentang apa masalah negara ini dan mau ke mana negara ini, itu yang sekarang mau kita lakukan.
Bagaimana hukum itu dipandang oleh kita semua dan bagaimana masalah ini bisa diselesaikan menurut instrumen-instrumen yang memungkinkan agar kita selamat dari bencana. Karena kalau hukumnya gini terus, bisa bencana, loh. Itu teori lain kalau memang hukumnya nggak benar. Beberapa negara, kan, hancurnya karena hukumnya tidak benar.
Saya selalu bicara teori empat ”dis”. Ketika hukum tidak ditegakkan dengan baik, berarti kita sedang terjebak dalam situasi disorientasi (keluar dari koridor). Ketika disorientasi dibiarkan akan terjadi distrust (ketidakpercayaan). Kalau rakyat tidak percaya, pemerintahan tidak akan efektif, lalu distrust dibiarkan terus-menerus akan terjadi disobedience atau pembangkangan.
Kalau disobedience meluas akan terjadi disintegrasi. Kalau disintegrasi terjadi, tidak akan bisa disatukan. Mari kita lihat hukum ini masalahnya apa dan mau diapakan, harus diorkestrasikan dengan baik. Kalau tidak dilakukan, empat ”dis” itu akan terjadi.
Tim reformasi hukum perkembangannya bagaimana, kan, sudah berapa kali ketemu dengan sejumlah pihak?
Saya keliling di berbagai tempat, kemarin sudah ketemu PDI-P. Besok sudah janji ketemu PDI-P dan MA, bahwa akan kami bicarakan. Kita tidak bisa langsung masuk ke situ, saya katakan semua harus pelan-pelan, dengan membuat teriakan-teriakan itu. Media berteriak itu bagian dari reformasi dan mereka akan takut. Itu bagian dari reformasi, kamu marah-marah di koran adalah reformasi awal, kita akan buktikan itu.