Dibutuhkan Polisi yang Tegas, Beretika, dan Humanis
Kekerasan dan pelanggaran oleh sejumlah anggota kepolisian, yang belakangan ini jadi sorotan, merupakan fenomena gunung es. Hal ini perlu menjadi evaluasi mengenai tindakan anggota kepolisian, termasuk teladan pimpinan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
Rentetan kejadian tentang polisi sambung menyambung dalam dua minggu terakhir. Mulai dari tagar #PercumaLaporPolisi terkait laporan masyarakat di Luwu Timur, korban penganiayaan preman di Medan, Sumatera Utara, yang justru ditetapkan menjadi tersangka, hingga smackdown aparat terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi di Tangerang.
Masih ada lagi, yakni kasus percakapan mesum dan dugaan pemerkosaan anak tersangka oleh Kepala Kepolisian Sektor Parigi, aksi polisi memeriksa ponsel warga, hingga kekerasan oleh Kapolsek Nunukan kepada bawahannya. Sayangnya, rentetan kejadian itu bermuara pada persepsi negatif terhadap kepolisian.
”Ini, kan, memang sudah seperti fenomena gunung es. Kelakuan polisi yang buruk itu sudah dirasakan masyarakat sejak lama. Kemudian ada kemajuan teknologi dan dibantu pegiat media sosial yang kemudian di-blow up. Yang menjadi menarik adalah polisi merespons dengan cepat,” kata Ketua Indonesia Police Watch Sugeng Teguh Santoso, dalam Satu Meja the Forum bertajuk ”Ada Apa dengan Polisi?” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (27/10/2021) malam.
Ini, kan, memang sudah seperti fenomena gunung es. Kelakuan polisi yang buruk itu sudah dirasakan masyarakat sejak lama. Kemudian ada kemajuan teknologi dan dibantu pegiat media sosial yang kemudian di-blow up.
Diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Kompas Budiman Tanuredjo tersebut diikuti Anggota Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PKS Nasir Djamil, dan Kepala Pusat Kajian Keamanan Nasional Universitas Bhayangkara Hermawan Sulistyo.
Menurut Sugeng, rentetan kejadian tersebut merupakan pelanggaran yang kasatmata. Padahal, di sisi lain, terdapat wilayah kerja kepolisian yang bersifat tertutup terhadap publik, yakni penyelidikan dan penyidikan dalam penegakan hukum.
Karena tertutup, lanjut Sugeng, pekerjaan di bidang reserse tersebut dinilai berpotensi untuk terjadi penyalahgunaan wewenang. Dalam tiga bulan terakhir, IPW menerima 28 laporan pengaduan yang umumnya terkait penyelidikan dan penyidikan dan dirasakan tidak adil.
Bagi Poengky, rentetan kejadian mengenai kepolisian yang muncul secara serentak tersebut memang dapat menimbulkan pertanyaan. Namun, yang lebih penting, dari kejadian tersebut mesti direfleksikan dan dievaluasi mengenai tindakan anggota kepolisian, teladan dari pimpinan, serta pengawasan dari atasan.
Mengenai tindakan kepolisian yang disorot publik tersebut, menurut Poengky, hal tersebut ada dari dulu. Namun, perkembangan media sosial dan teknologi informasi membuat peristiwa semacam itu kini mudah diketahui publik secara luas.
”Kita berharap, sebetulnya dengan adanya perhatian yang besar dari masyarakat kepada Polri, maka Polri diharapkan mampu menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya,” ujar Poengky.
Nasir berpandangan, rentetan kejadian yang tersebar luas melalui media sosial tersebut merupakan bentuk pengawasan masyarakat dalam mencari keadilan (public complaint). Meresponsnya bukan dengan menyalahkan, melainkan dengan membangun sumber daya manusia Polri yang memiliki etika dan humanis.
Namun, Hermawan mengingatkan, dapat terjadi bahwa kasus yang viral sengaja dilakukan oleh rekan polisi yang lain. Alasannya adalah kompetisi terkait karir atau jabatan tertentu. Oleh karena itu, tindakan tegas yang diambil juga harus disertai dengan kehati-hatian dan perlu disertai dengan bukti yang cukup.
Selain itu, lanjut Hermawan, kasus tersebut dinilai terjadi di tingkat bawah, yakni di tingkat kapolsek yang juga secara geografis berada jauh dari pimpinan tertinggi di daerah, yaitu kepala kepolisian daerah. Rentang kendali dan kontrol yang panjang disebutnya mempersulit pengawasan secara efektif.
Perbaikan dan pengawasan
Melihat rentetan kejadian tersebut, menurut Hermawan, yang diperlukan adalah pembenahan melalui pendidikan. Sebab, tidak mungkin harus terus-menerus mengawasi sekitar 450.000 anggota Polri.
”Pendidikan 7 bulan untuk menjadi bintara polisi dengan kewenangan yang luar biasa itu tidak cukup. Kurikulum itu tidak mencakup pengetahuan tentang diskresi, tidak mencakup pengetahuan tentang rohnya polisi. Kenapa Anda jadi polisi? Jawaban itu tidak pernah diajarkan. Itu yang harus diajarkan dari ujung, dari hulu,” kata Hermawan.
Dari sisi pemanfaatan, lanjut Hermawan, sudah bukan masanya lagi polisi yang salah dihukum dengan ditempatkan di lokasi yang terpencil atau jauh yang justru berakibat kontraproduktif. Kemudian di sisi hilir, langkah tegas seperti pencopotan dan pemidanaan sebagaimana disampaikan Kapolri harus konsisten diterapkan.
Menurut Sugeng, kepolisian sudah memiliki peraturan mengenai disiplin dan kode etik anggota kepolisian secara detail. Maka yang perlu dilakukan adalah melakukan pembinaan dari setiap pimpinan di berbagai tingkat kepada bawahannya. Secara hukum, di dalam revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana, tindakan polisi akan diawasi oleh hakim. Oleh karena itu, ia berharap revisi ini dapat segera disahkan.
”Paling sederhana, masyarakat itu ingin dilayani dengan baik, dengan menyentuh perasaan mereka. Kalau ini bisa dilakukan, maka ini tidak ada problem,” ujar Sugeng.
Polri belum memiliki pengawas eksternal. Fungsi Kompolnas lebih menjadi penasihat kebijakan, bukan pengawasan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan adanya lembaga pengawas eksternal Polri seperti Komisi Yudisial.
Menurut Nasir, filosofi kepolisian setelah pemisahan Polri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ketika reformasi belum tentu dipahami oleh anggota kepolisian di tingkat bawah. Sementara, anggaran kepolisian setidaknya dalam delapan tahun terakhir sangat besar, yang tahun ini sebesar Rp 112 triliun.
”Apa korelasinya anggaran yang besar untuk mewujudkan profesionalisme kepolisian? Bagaimana kemudian polisi bisa menjamin hadirnya demokrasi di Indonesia? Jadi ini sebenarnya yang harus dievaluasi,” kata Nasir.
Di sisi lain, lanjut Nasir, Polri belum memiliki pengawas eksternal. Fungsi Kompolnas lebih menjadi penasihat kebijakan, bukan pengawasan. Oleh karena itu, perlu dipikirkan adanya lembaga pengawas eksternal Polri seperti Komisi Yudisial.
Menurut Poengky, reformasi kultural Polri mesti digelorakan kembali. Keteladanan pimpinan terhadap anggotanya beserta pengawasan berperan penting. Di sisi lain, penggunaan teknologi juga mesti dilakukan untuk mendukung tugas anggota Polri di lapangan, seperti menggunakan kamera di tubuh atau kamera di kendaraan.