Langkah Mundur Pemberantasan Korupsi
Pembebasan bersyarat bagi 23 narapidana korupsi kian menunjukkan langkah mundur pemberantasan korupsi di Indonesia. Untuk memberantas korupsi, tetap dibutuhkan politik hukum yang kuat dan upaya berkelanjutan.
Kasus korupsi di negeri ini terus saja bermunculan. Belum juga tuntas penyidikan terhadap dugaan penerimaan gratifikasi oleh Gubernur Papua Lukas Enembe, pada Kamis (15/9/2022), Komisi Pemberantasan Korupsi kembali mengumumkan penetapan empat tersangka dugaan korupsi terkait penyaluran dana oleh Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Kondisi ini menjadi ironi terhadap keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memberikan pembebasan bersyarat kepada 23 napi korupsi belum lama ini.
Adapun empat tersangka dugaan korupsi yang baru diumumkan KPK itu merupakan pengurus koperasi dan pihak swasta. Mereka diduga terlibat dalam tindak korupsi penyaluran dana oleh Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (LPDB-KUMKM) di Provinsi Jawa Barat. Korupsi ini diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar Rp 116,8 miliar.
Sementara itu, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, jaksa KPK menyatakan, bekas Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Mochamad Ardian Noervianto bersama Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Muna Laode M Syukur Akbar terbukti menerima suap Rp 2,4 miliar.
Penerimaan suap itu terkait persetujuan dana Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Pemkab Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara. Untuk itu, seperti diberitakanKompas.com, jaksa menuntut agar Ardian dijatuhi hukuman 8 tahun penjara, dan Laode dijatuhi hukuman 5 tahun 6 bulan penjara.
Kini, pertanyaannya, bagaimana nasib pemberantasan korupsi selanjutnya jika para napi korupsi bisa dengan mudah memperoleh fasilitas pembebasan bersyarat?
Baca juga: Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa
Di antara 23 napi yang memperoleh fasilitas pembebasan bersyarat itu, tak sedikit yang perkaranya ataupun proses peradilannya mengusik rasa keadilan publik. Contohnya bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari, napi korupsi terkait pengurusan fatwa bebas Joko S Tjandra.
Semula Pinangki divonis hukuman 10 tahun penjara oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tetapi hukuman itu dipangkas oleh hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi 4 tahun penjara. Dengan vonis terakhir itu, Pinangki kembali memperoleh fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat sehingga ia tak perlu menjalani hukuman 2 tahun penjara yang tersisa.
Pembebasan bersyarat juga diberikan kepada bekas hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar yang pada September 2017 divonis 8 tahun penjara. Ia terbukti menerima suap untuk pengurusan uji materi atas Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diajukan pengusaha importir daging.
Selain itu, juga ada bekas Menteri Agama Suryadharma Ali, terpidana korupsi penyelenggaraan haji, yang diperberat hukumannya oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dari 6 tahun menjadi 10 tahun penjara.
Banyaknya napi korupsi yang mendapatkan hak bersyarat berawal dari digugatnya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Menurut Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Johan Budi, banyaknya napi korupsi yang mendapatkan hak bersyarat berawal dari digugatnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan oleh Mahkamah Agung. Peraturan itu mengatur ketat pemberian remisi bagi napi korupsi, salah satunya bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya.
Akibat adanya gugatan itu, syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan pemasyarakatan dikembalikan ke PP No 32/1999. ”Di situlah persyaratan-persyaratan untuk memperoleh remisi, pembebasan bersyarat itu berlaku umum. Tidak melihat lagi apakah pelaku ini melakukan tindak pidana korupsi ataukah tidak. Kalau saya melihat begini, dengan dikembalikannya atau diubahnya PP 99/2012, maka tindak pidana korupsi itu menjadi tindak pidana kejahatan yang biasa saja,” kata Johan.
Pernyataan itu diungkapkan Johan dalam diskusi Satu Meja The Forum bertajuk ”Karpet Merah Koruptor” yang disiarkan Kompas TV, Rabu (14/9/2022) malam. Dalam diskusi yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo itu, selain Johan, hadir pula sebagai narasumber tenaga ahli utama Kantor Staf Presiden Irfan Pulungan, peneliti senior Indonesia Corruption Watch Lalola Easter Kaban, dan pemimpin KPK 2015-2019 Saut Situmorang.
Baca juga: Pemerintah Obral Pembebasan Bersyarat, 23 Koruptor Dikeluarkan dari Lapas
Johan menegaskan, pemberantasan korupsi di Indonesia telah mengalami langkah mundur yang dimulai tidak hanya dari persoalan PP No 99/2012, tetapi sejak ada revisi Undang-Undang KPK. Sebagai anak kandung reformasi, KPK saat ini tidak ada bedanya dengan kepolisian dan kejaksaan karena mulai dari kewenangan hingga status pegawai KPK sudah sama dengan aparatur sipil negara (ASN).
Menurut Johan, saat ini menjadi momentum untuk melakukan pembenahan, termasuk mengembalikan lagi KPK secara kelembagaan. KPK harus memiliki kewenangan yang luar biasa dalam memberantas korupsi. Sebab, KPK dilahirkan pada era Reformasi, di mana harus ada lembaga yang lebih dari lembaga lain yang waktu itu dianggap tidak efektif dalam memberantas korupsi.
Tidak adanya perbedaan antara napi korupsi dengan lainnya dinilai Lalola menunjukkan bahwa pemerintah tidak punya politik hukum yang baik terkait pemberantasan korupsi. PP No 99/2012 merupakan instrumen yang menguatkan upaya pemberantasan korupsi.
Melemahkan pemberantasan
Lalola mengungkapkan, apabila ditarik mundur, sebelum putusan Mahkamah Agung, PP No 99/2012 didalilkan dalam pertimbangan putusan hakim Mahkamah Konstitusi. Padahal, saat itu PP No 99/2012 bukan menjadi obyek pengujian. Hal tersebut menjadi landasan untuk disahkannya revisi UU Pemasyarakatan. Adapun upaya untuk merevisi PP No 99/2012 sudah lama dilakukan pemerintah, tetapi mendapatkan penolakan dari publik.
Menurut Lalola, rangkaian peristiwa upaya untuk melemahkan pemberantasan korupsi tidak hanya terjadi dalam beberapa tahun ke belakang.
”Kita bisa tarik bahkan sampai 10 tahun ke belakang. Jadi, selalu dengan jalan yang tertatih-tatih, kita berusaha untuk selalu menguatkan upaya pemberantasan korupsi. Tapi, setiap waktu juga, maju selangkah (maka) mundurnya tiga langkah,” tuturnya.
Baca juga: Menkumham Sebut Pemberian Remisi untuk Koruptor Sesuai Aturan
Saut Situmorang menuturkan, Indonesia tidak pernah menunjukkan upaya yang berkelanjutan dalam memberantas korupsi. Pemberian pembebasan bersyarat terhadap napi korupsi sama persis dengan UU No 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ia menegaskan, pemberantasan korupsi tidak boleh setengah-setengah. Sebab, dengan adanya perilaku korupsi, program yang dilaksanakan pemerintah tidak akan sepenuhnya mencapai sasaran.
Menurut Saut, Indonesia memiliki lembaga yang lengkap untuk melihat seseorang memperoleh uang dengan benar atau tidak. ”Semua perangkat itu ada sebenarnya, tetapi persoalannya perangkat-perangkat ini bekerja atau tidak,” ujar Saut.
Saut Situmorang menuturkan, Indonesia tidak pernah menunjukkan upaya yang berkelanjutan dalam memberantas korupsi.
Menurut Irfan Pulungan, tindak pidana korupsi masuk wilayah kejahatan luar biasa. Karena itu, penghukuman terhadap pelaku korupsi harus diberikan seberat-beratnya.
Ia menegaskan, dibutuhkan komitmen yang kuat dari semua pihak untuk memberantas dan mencegah korupsi. Sebab, penyelenggaraan negara ada di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
”Tidak mungkin harapan kita untuk bisa memberantas korupsi ini kalau kita berjalannya parsial-parsial. Koordinasi, kolaboratif itu sangat penting bagi kita semua,” ujar Irfan.