Pembebasan bersyarat bagi 23 koruptor membuat korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa. Namun, jika negara memang serius memberantas korupsi, penerapan efek jera tetap dibutuhkan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO, FABIO MARIA LOPES COSTA, NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO (KUM)
Terpidana korupsi Ratu Atut Chosiyah mengikuti penyuluhan antikorupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Tangerang, Banten, Selasa (20/4/2021). Penyuluhan yang diikuti 25 narapidana tindak pidana korupsi ini sebagai upaya pembekalan warga binaan agar nantinya bisa berkontribusi dalam pemberantasan korupsi saat kembali ke masyarakat. Kegiatan ini juga untuk memperingati Hari Kartini.
JAKARTA, KOMPAS — Dengan keputusan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memberikan pembebasan bersyarat kepada 23 narapidana tindak pidana korupsi, kini korupsi tidak dianggap lagi sebagai kejahatan luar biasa. Terlebih mengingat, remisi juga sudah kian mudah diperoleh koruptor sejak Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Mereka yang dibebaskan bersyarat itu napi korupsi dari kalangan pemerintahan dan dari institusi hukum yang terlibat korupsi dalam pengurusan sebuah perkara. Sebut saja bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari yang selama 2021 memperoleh sorotan publik karena sebagai jaksa ia terbukti korupsi dalam pengurusan fatwa bebas untuk Joko S Tjandra, terpidana kasus hak tagih utang Bank Bali.
Meski kasusnya diproses hukum, berbagai keringanan diperoleh Pinangki di kemudian hari. Di tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, hukumannya dipangkas dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara. Sebelum memperoleh pembebasan bersyarat, pada Mei lalu, Pinangki memperoleh remisi Idul Fitri.
Sebelumnya, ada pula bekas hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar yang pada September 2017 divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Ia terbukti menerima suap untuk pengurusan uji materi atas Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diajukan oleh pengusaha importir daging.
Dari kalangan pemerintahan, ada bekas Menteri Agama Suryadharma Ali yang telah diperberat hukumannya oleh majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI, dari 6 tahun menjadi 10 tahun penjara. Pada 2019, upaya peninjauan kembali terpidana korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama periode 2010-2013 ini pun ditolak Mahkamah Agung.
Peneliti dari Pusat Kajian Anti Korupsi UGM Zaenur Rohman memberikan keterangan kepada wartawan, di Tugu Yogyakarta, Selasa (17/9/2019).
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, Rabu (7/9/2022), mengatakan, pemerintah telah mengobral pembebasan bersyarat bagi napi kasus korupsi. Hal ini menunjukkan korupsi tidak dianggap lagi sebagai kejahatan luar biasa.
Terlebih sejak MA membatalkan PP No 99/2012 pada 2021, terpidana korupsi semakin mudah memperoleh remisi. Padahal lewat peraturan itu, remisi terhadap terpidana korupsi sangat dibatasi dengan diterapkannya beberapa syarat di antaranya menjadi pelaku yang bekerja sama membongkar kasus korupsi yang dilakukan serta sudah membayar lunas denda dan uang pengganti.
”Kini, semua terpidana korupsi berhak mendapatkan remisi. Remisinya juga sangat banyak. Sebentar saja menjalani pidana, seorang terpidana korupsi itu sudah bisa mendapatkan pembebasan bersyarat, kemudian menghirup udara bebas,” kata Zaenur.
Pemerintah telah mengobral pembebasan bersyarat bagi napi kasus korupsi. Hal ini menunjukkan korupsi tidak dianggap lagi sebagai kejahatan luar biasa.
Menurut Koordinator Humas dan Protokol Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Rika Aprianti, 23 napi korupsi yang memperoleh pembebasan bersyarat itu telah dikeluarkan pada 6 September dari Lapas Kelas I Sukamiskin (Jawa Barat) dan Lapas Kelas IIA Tangerang (Banten). Napi kasus korupsi yang telah dikeluarkan dari Lapas Kelas II A Tangerang adalah Ratu Atut Choisiyah, Desi Aryani, Mirawati, dan Pinangki.
Adapun napi kasus korupsi yang dibebaskan bersyarat dan dikeluarkan dari Lapas Kelas I Sukamiskin adalah Syahrul Raja Sampurnajaya, Setyabudi Tejocahyono, Sugiharto, Andri Tristianto Sutrisna, Budi Susanto, Danis Hatmaji, Edy Nasution, Irvan Rivano Muchtar, Ojang Sohandi, Tubagus Cepy Septhiady, Zumi Zola Zulkifli, Andi Taufan Tiro, Arif Budiraharja, Supendi, Tubagus Chaeri Wardana Chasan, Anang Sugiana Sudihardjo, dan Amir Mirza Hutagalung. Ditambah Patrialis dan Suryadharma.
Menurut Rika, 23 napi kasus korupsi yang memperoleh pembebasan bersyarat itu merupakan bagian dari 1.368 napi dari semua kasus pidana di seluruh Indonesia yang mendapatkan hak pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, dan cuti menjelang bebas. Dasar pemberian hak itu adalah Pasal 10 Undang-Undang No 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Di dalam pasal tersebut disebutkan, narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali berhak mendapatkan salah satunya pembebasan bersyarat. Persyaratan tertentu tersebut di antaranya berkelakuan baik dan menunjukkan penurunan tingkat risiko.
Suasana Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat, Rabu (31/3/2021). Lembaga pemasyarakatan ini menjadi tempat para narapidana kasus korupsi menjalani hukumannya.
Efek jera dibutuhkan
Zaenur menambahkan, jika negara masih serius ingin memberantas korupsi dan menganggapnya sebagai permasalahan yang laten, harus ada efek jera. ”Efek jera bisa dilakukan dengan pemiskinan dan pidana badan. Itu harus tetap seimbang karena korupsi sangat merugikan keuangan negara, menyakiti hati masyarakat, dan merusak sistem,” katanya.
Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri juga menyampaikan, korupsi yang telah diklasifikasi sebagai kejahatan luar biasa sepatutnya ditangani dengan cara-cara ekstra. ”Kita pahami bahwa penegakan hukum ini juga dimaksudkan untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya agar tidak kembali melakukannya di masa mendatang, sekaligus pembelajaran bagi publik agar tidak melakukan tindak pidana serupa,” kata Ali.
Hingga kini, tindak pidana korupsi tak pernah surut. Di Jayapura, Papua, Rabu, tim penyidik KPK bersama kepolisian setempat menangkap Bupati Mimika Eltinus Omaleng di sebuah hotel. Eltinus ditangkap setelah jadi tersangka dugaan korupsi pembangunan gereja di Kabupaten Mimika yang menghabiskan anggaran Rp 300 miliar.
KPK juga tengah menyelidiki penyelenggaraan Formula E Jakarta pada Juni lalu. Terkait penyelidikan ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu, dari pukul 09.26 hingga pukul 20.22.
Seusai diperiksa, Anies menyampaikan, telah memberikan keterangan sehingga isu yang didalami bisa jadi terang. ”Dan memudahkan KPK menjalankan tugas,” ucapnya.
Ketua KPK Firli Bahuri menyampaikan apresiasi atas kesediaan Anies diperiksa sebagai saksi dalam penyelidikan itu.