Episode Kelam Pemberantasan Korupsi
Pembebasan bersyarat 23 koruptor melengkapi episode buruk pemberantasan korupsi. Keputusan pemerintah itu juga merupakan bukti lemahnya negara dalam upaya memerangi korupsi.
Pembebasan bersyarat 23 narapidana korupsi secara serempak tak hanya membuat publik kecewa, tetapi juga pesimistis dengan masa depan pemberantasan korupsi di Tanah Air. Dengan keputusan pemerintah itu, korupsi seolah tak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa.
Terlebih lagi sebelumnya pada Oktober 2021, Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Dampaknya, para narapidana kasus korupsi menjadi lebih mudah mendapatkan remisi. Sebab, tak ada lagi syarat khusus bagi para koruptor untuk bisa memperoleh remisi. Syarat khusus itu di antaranya menjadi justice collaborator, membayar lunas denda dan uang pengganti, berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan, serta merupakan napi dengan pidana lebih dari 5 tahun penjara.
Bukan hanya itu, sebulan sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) juga menyatakan bahwa aturan teknis pemasyarakatan harus mengusung konsep keadilan yang memperbaiki (restorative justice). Dengan demikian, hak remisi harus berlaku sama untuk setiap warga binaan, tak terkecuali narapidana korupsi.
Putusan MA, dan sebelumnya MK, tak pelak membuat publik khawatir akan masa depan pemberantasan rasuah di Indonesia. Banyak kalangan meramalkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia akan semakin mundur dan suram. Peneliti Divisi Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, misalnya, sudah memprediksikan fenomena rombongan koruptor mendapatkan pengurangan hukuman akan semakin sering terjadi (Kompas.id, 1/11/2022).
Prediksi itu kini menjadi kenyataan. Pada 6-8 September 2022, 24 koruptor menghirup udara bebas. Sebanyak 23 di antaranya mendapatkan pembebasan bersyarat, sedangkan satu lainnya memperoleh cuti menjelang bebas.
Salah satu napi korupsi yang dibebaskan bersyarat adalah bekas jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terbukti melakukan rasuah dalam pengurusan fatwa bebas untuk Joko Tjandra, terpidana perkara hak tagih utang Bank Bali. Tak hanya mendapat potongan hukuman dari 10 tahun menjadi 4 tahun penjara, Pinangki juga sempat mendapat remisi saat Idul Adha 2022.
Selain itu ada pula bekas Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, terpidana kasus suap terhadap bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait penanganan sengketa pilkada di Kabupaten Lebak, Banten, serta korupsi pengadaan alat kesehatan. Adiknya, Tubagus Chaeri Wardana, juga bebas bersyarat.
Baca Juga: Pemerintah Obral Pembebasan Bersyarat, 23 Koruptor Dikeluarkan dari Lapas
Kementerian Hukum dan HAM juga memberikan pembebasan bersyarat pada bekas Menteri Agama Suryadharma Ali yang dihukum karena korupsi dana haji serta bekas Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar yang terbukti menerima suap terkait pengurusan uji materi Undang-Undang Peternakan saat ia menjabat sebagai hakim konstitusi.
Adapun napi korupsi yang mendapatkan cuti menjelang bebas adalah Jero Wacik. Kamis kemarin, bekas Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu keluar dari Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Ia merupakan narapidana kasus korupsi dana operasional menteri hingga merugikan negara Rp 8,4 miliar.
Pembebasan bersyarat para koruptor itu disesalkan banyak kalangan. ICW, misalnya, menilai bahwa pembebasan bersyarat para koruptor itu merupakan bukti lemahnya negara dalam upaya memerangi kejahatan korupsi dan pemberian efek jera. ”Pembebasan bersyarat ini melengkapi episode buruk pemberantasan korupsi,” kata Kurnia.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, bahkan, menyebutkan pembebasan bersyarat besar-besaran itu menunjukkan bahwa korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Buktinya, seorang koruptor tak perlu lagi berlama-lama menjalani pidana penjara karena mendapat remisi dan pembebasan bersyarat.
Pembebasan bersyarat ini melengkapi episode buruk pemberantasan korupsi.
Meski begitu, pemerintah menegaskan bahwa pembebasan bersyarat untuk para koruptor itu sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, di Istana Kepresidenan, Jakarta, menegaskan bahwa keputusan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham untuk para napi korupsi itu sudah sesuai dengan Undang-Undang Pemasyarakatan yang disahkan Juli lalu. Mereka juga merupakan bagian dari 1.368 napi semua kasus pidana di Indonesia yang mendapatkan hak bersyarat, baik pembebasan bersyarat, cuti bersyarat, maupun cuti menjelang bebas.
Belum optimal
Kepala Bagian Pemberitaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri mengatakan, pembinaan terhadap para pelaku korupsi pascaputusan pengadilan menjadi kewenangan dan kebijakan Kemenkumham. Karena korupsi merupakan kejahatan luar biasa, sepatutnya tidak ada perlakuan khusus bagi pelaku rasuah yang justru akan mencederai semangat penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Pimpinan KPK dalam berbagai kesempatan juga menegaskan bahwa tujuan penegakan hukum pemberantasan korupsi tidak hanya untuk menimbulkan efek jera dengan memenjarakan orang. Hal yang jauh lebih penting adalah merampas dan mengembalikan aset hasil korupsi kepada negara atau asset recovery. Saking pentingnya sampai-sampai KPK menjadikan asset recovery sebagai salah satu program prioritas.
Saat merilis kinerja KPK bidang penindakan, pekan keempat Agustus lalu, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyampaikan, selama semester pertama tahun 2022, KPK telah mengumpulkan aset rampasan sebesar Rp 313,7 miliar. Jumlah tersebut meningkat 83,2 persen dibanding dengan aset koruptor yang berhasil dirampas KPK pada periode yang sama tahun 2021 yang hanya sebesar Rp 171,23 miliar.
Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto mengakui, kendati ada peningkatan, namun masih kurang. Sebab, biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk KPK pada tahun 2022 sebesar Rp 1,3 triliun, naik dari tahun sebelumya yang dialokasikan Rp 1 triliun.
Ada sejumlah kendala yang menyebabkan recovery asset belum optimal. Salah satunya, menurut Karyoto, adalah kesulitan dalam lelang barang hasil rampasan. KPK harus berulang-ulang menggelar lelang, karena banyak pula barang rampasan yang tak laku dilelang.
KPK sebenarnya mulai mencari cara untuk mengoptimalkan pengembalian aset hasil korupsi. Salah satunya menginstruksikan penyidik agar tidak menyita barang bergerak seperti mobil atau kendaraan lainnya, karena nilai ekonomisnya dari tahun ke tahun semakin turun. Selain itu, KPK berupaya menganani korupsi-korupsi besar.
Keinginan KPK untuk memaksimalkan asset recovery juga disampaikan saat peresmian Rumah Penyimpanan Benda Sitaan dan Barang Rampasan atau Rupbasan di Cawang, Jakarta Timur, 10 Agustus lalu. Ketua KPK Firli Bahuri beberapa kali melontarkan celetukan Kedeputian Penindakan untuk memaksimalkan penggunaan gedung tersebut sebagai upaya untuk mengoptimalkan pengembalian kerugian negara. Ia berharap, gedung yang dibangun dengan biaya Rp 65 miliar itu dapat diisi oleh banyak benda sitaan dan barang rampasan.
Firli mengungkapkan tantangan KPK adalah bagaimana mengisi Rupbasan. Kedeputian Penindakan KPK harus mulai melakukan pemberantasan korupsi dan merampas aset para. ”Mulai hari ini sudah sudah mulai berpikir nih. kira-kira siapa yang bendanya bisa dirampas. Siapa yang bisa ditangkap, tangkap! Sita semua harta kekayaannya, penuhi gedung ini!,” tegasnya.
Baca Juga: Remisi Lebaran, Azis Syamsuddin hingga Pinangki Dapat Pengurangan Masa Tahanan
KPK mengembalikan aset hasil korupsi di antaranya melalui tuntutan uang pengganti, denda, dan perampasan aset. KPK akan menghitung seluruh nilai dari barang yang sudah dirampas kemudian melakukan metode lelang dan seluruh hasilnya akan dimasukan ke kas negara.
Mantan penyidik KPK Yudi Purnomo mengatakan, salah satu cara untuk memaksimalkan asset recovery adalah KPK harus mulai menangani kasus-kasus besar yang merugikan keuangan negara. KPK tidak boleh berhenti pada kasus-kasus suap.
Zainur juga menyoroti nilai kerugian negara dalam kasus yang ditangani KPK masih kalah dibandingkan dengan aparat penegak hukum lain. Berdasarkan catatan ICW pada Semester I Tahun 2021, kerugian negara kasus yang ditangani Kejaksaan mencapai Rp 26,1 triliun, Kepolisian Rp 388 miliar, dan KPK Rp 331 miliar. Pada 2022, Kejaksaan Agung berani mengusut kasus korupsi yang dilakukan pemilik PT Duta Palma Group Surya Darmadi yang merugikan negara hingga Rp 104 triliun. Sementara itu, KPK hanya mengusut kasus suap Surya kepada bekas Gubernur Riau Annas Maamun melalui utusan Annas, Gulat Manurung, sebesar Rp 8 miliar.
Menurut Zaenur, kejaksaan menangani kasus besar yang akan berpengaruh pada pemulihan aset yang besar pula. Berbeda dengan KPK yang tidak menangani kasus-kasus strategis yang merugikan keuangan negara.
“Minimnya pengembalian keuangan negara dari proses penegakan hukum antikorupsi yang dilakukan oleh KPK itu menunjukkan rendahnya kinerja penindakan KPK. Juga menunjukkan kasus-kasus yang ditangani KPK itu bukan merupakan kasus kakap, bukan merupakan kasus strategis, sehingga ini menjadi evaluasi bagi KPK,” tuturnya.
Dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki, KPK seharusnya menetapkan prioritas kasus yang ditangani. KPK sepatutnya menangani kasus-kasus besar dengan nilai kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah. Kasus-kasus kecil yang ditangani KPK bisa dilimpahkan ke kepolisian dan kejaksaan. Sebab, tujuan pembentukan KPK adalah untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Jika KPK hanya menangani kasus kecil, maka pemberantasan korupsi akan stagnan, bahkan mengalami kemunduran.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola punya pandangan lain. Menurut dia, aparat penegak hukum juga membutuhkan payung hukum dalam merampas aset negara yang dikuasai koruptor. Oleh karena itu, Undang-Undang Perampasan Aset yang mengatur mekanisme perampasan aset tanpa tuntuan pidana, perlu segera disahkan.
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana menambahkan, UU Perampasan Aset dibutuhkan karena instrumen hukum yang ada saat ini belum efektif untuk menyelamatkan aset negara. Selain itu juga belum dapat memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan, karena masih dapat menikmati kekayaan hasil tindak pidana.
Memberantas wabah korupsi yang diyakini menjadi sebab tidak meratanya distribusi kesejahteraan di masa Orde Baru, merupakan salah satu amanat reformasi 1998. Pasca reformasi, berbagai regulasi serta lembaga dibentuk demi memberantas penyakit kronis korupsi. Namun setelah 24 tahun berlalu, pelemahan upaya pemberantasan korupsi dilakukan dengan mengubah regulasi, memberikan hukuman ringan, hingga memudahkan pembebasan napi koruptor. Kini, pemberantasan korupsi seolah mulai memasuki hari-hari yang kelam.