Komnas HAM: Pengadilan Kasus Paniai Penting untuk Koreksi Kebijakan Keamanan Papua
Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin menuturkan, pengadilan kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai adalah peristiwa hukum penting bagi Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menilai, persidangan dugaan pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat Paniai sebagai langkah krusial untuk mengoreksi kebijakan penanganan situasi keamanan di Papua. Para saksi dalam kejadian itu diminta memberikan keterangan di persidangan dengan sebaik-baiknya.
Oleh karena itu, negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga harus memfasilitasi saksi dalam sidang peristiwa tahun 2014 itu.
Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab dalam diskusi publik ”Pelindungan untuk Saksi di Pengadilan HAM Peristiwa Paniai”, Kamis (18/8/2022), mengatakan, pengadilan kasus dugaan pelanggaran HAM berat Paniai adalah peristiwa hukum penting bagi Indonesia. Sebab, terakhir Indonesia menggelar sidang pelanggaran HAM berat Abepura, Papua, pada 2004.
Setelah 18 tahun, akhirnya Indonesia bisa membawa kasus dugaan pelanggaran HAM berat ke meja hijau. Karena itu, semua pihak, baik masyarakat Papua, masyarakat sipil, maupun aktivis HAM, diminta memperhatikan semua proses hukum yang akan berjalan.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, setiap korban pelanggaran HAM berat berhak atas perlindungan fisik dan mental. Tak terkecuali untuk korban dugaan pelanggaran HAM berat Paniai. Kasus ini akan disidangkan di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan.
Lokasinya berbeda pulau dengan kejadian peristiwa di Papua. Dengan pengadilan jarak jauh ini, Amiruddin meminta negara bertanggung jawab sejak awal untuk menghadirkan dan melindungi saksi di depan majelis hakim.
”Karena lokasinya jauh dari tempat tinggal saksi dan korban, tentu akan ada biaya. Siapa yang akan membiayai para saksi dan korban yang akan memberikan keterangan di persidangan itu? Inilah tantangan bagi LPSK,” ujar Amiruddin.
Baca juga: Sidang Kasus Pelanggaran HAM Paniai Tinggal Selangkah Lagi
Menurut Amiruddin, siapa yang akan menanggung ongkos transportasi, akomodasi, dan perlindungan terhadap saksi dan korban harus jelas sejak awal. Jika tidak, saksi dan korban bisa terbebani secara psikologis. Jauh hari sebelum sidang dimulai sudah muncul kekhawatiran mereka. Saksi dan korban khawatir di mana akan tinggal selama persidangan di Makassar. Mereka juga khawatir akan terancam keamanannya selama persidangan.
”Saksi dan korban perlu dilindungi secara penuh. Sebab, jalannya pengadilan ini adil atau tidak tergantung dari kualitas kesaksian dan kehadiran saksi secara maksimal,” ucap Amiruddin.
Saya berharap LPSK ada di garda terdepan untuk melindungi saksi dan korban di kasus Paniai ini. Peran LPSK penting untuk meyakinkan saksi bahwa mereka dilindungi dalam memberikan keterangan di persidangan.
Komnas HAM menilai, pengadilan dugaan pelanggaran HAM berat Paniai adalah peristiwa hukum penting yang akan menyita perhatian publik. Tak hanya warga Papua, tetapi juga dunia internasional. Oleh karena itu, LPSK harus berperan aktif memberikan perlindungan kepada saksi dan korban agar bisa memberikan kesaksian di depan majelis hakim. Kesaksian ini akan menjadi penting karena akan menjadi fakta hukum yang menjadi pertimbangan hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara.
”Saya berharap LPSK ada di garda terdepan untuk melindungi saksi dan korban di kasus Paniai ini. Peran LPSK penting untuk meyakinkan saksi bahwa mereka dilindungi dalam memberikan keterangan di persidangan,” ucap Amiruddin.
Amiruddin juga berpandangan, peran LPSK adalah bentuk kehadiran negara dalam penyelesaian dugaan kasus pelanggaran HAM berat Paniai. Proses peradilan perkara itu di Pengadilan Negeri Makassar akan menjadi ujian bagi lembaga negara untuk memulihkan harkat dan martabat presiden selaku kepala negara.
Secara kelembagaan, Komnas HAM juga akan mengawal ketat kasus itu untuk memastikan hasil penyelidikan Komnas HAM digunakan secara proporsional oleh Kejaksaan Agung untuk menyusun dakwaan.
Baca juga: Kasus Paniai, Perdamaian di Papua, dan Janji Presiden
Menurut dia, tujuan dari peradilan kasus dugaan pelanggaran HAM berat ini salah satunya mengoreksi banyak hal kebijakan negara di Papua. Khususnya penanganan situasi keamanan di Papua. Sejak Papua bergabung bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, pemerintah menerapkan pendekatan keamanan untuk mengatasi konflik bersenjata di sana. Pendekatan militeristik ini menelan banyak korban yang menghancurkan harkat dan martabat warga Papua. Dengan digelarnya sidang dugaan pelanggaran HAM berat ini, dia berharap harkat dan martabat warga Papua bisa perlahan dipulihkan.
”Kami akan sama-sama melihat apakah pengadilan kasus Paniai ini akan menjadi pengadilan yang adil dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat bangsa ini,” kata Amiruddin.
Pemulihan harkat dan martabat korban kejahatan kemanusiaan ini, lanjut dia, penting untuk memastikan pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo saat Hari Ulang Tahun Ke-77 RI menjadi bermakna. Pada pidato kenegaraan di DPR, Presiden Jokowi menyebut penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu terus menjadi perhatian serius pemerintah. Rancangan Undang-Undang (RUU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sedang dalam proses pembahasan.
Tindak lanjut atas temuan Komnas HAM juga masih terus berjalan. Bahkan, Presiden juga sudah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. ”Pidato yang disampaikan oleh Presiden kemarin agar lebih bermakna dalam praktik atau operasionalnya,” ujar Amiruddin.
Kecewa
Aktivis HAM Papua dan pendamping korban Peristiwa Paniai, Younes Douw, menuturkan, peristiwa penembakan Paniai pada 7-8 Desember 2014 meninggalkan trauma mendalam bagi korban. Sebab, warga menyaksikan sendiri penembakan aparat terhadap sejumlah warga sipil. Akibat peristiwa itu, empat orang meninggal dunia dan 21 orang luka-luka.
Douw menerangkan, korban dan warga Paniai sebenarnya kecewa dengan proses penyidikan di Kejaksaan Agung. Kejaksaan Agung hanya menetapkan tersangka tunggal, yaitu IS, yang berperan sebagai perwira penghubung dalam peristiwa tersebut. Korban dan keluarga korban kasus Paniai kecewa pengungkapan kasus itu tidak bisa menggambarkan unsur sistematis dan rantai komando di lapangan.
Mereka meyakini, sesuai dengan hasil penyelidikan Komnas HAM, tersangka tidak hanya satu orang. Karena kekecewaan itu, dia juga mengungkapkan bahwa korban dan keluarga korban kasus Paniai tidak akan ambil bagian dalam persidangan di Makassar.
”Kami dengan tegas menolak kasus ini sejak mereka (Kejaksaan Agung) menetapkan tersangka IS karena tidak sesuai dengan fakta lapangan. Kami juga tidak akan mendampingi dan menyaksikan pengadilan HAM kasus Paniai di Makassar,” ujar Douw.
Ajukan permohonan
Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution menyampaikan, hingga saat ini belum ada rekomendasi dari penegak hukum ataupun Komnas HAM terkait dengan permohonan perlindungan saksi, saksi pelaku, dan korban dalam kasus Paniai. LPSK bisa saja melakukan terobosan, tetapi harus ada permintaan terlebih dulu dari aparat penegak hukum yang menangani perkara.
Dia juga menjelaskan, subyek hukum yang bisa dilindungi LPSK adalah saksi pelapor. Saksi pelapor harus memiliki sifat penting keterangan dalam peradilan pidana, memiliki catatan hasil analisis medis dan psikologis, serta rekam jejak kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan pemohon. Selain itu, apakah saksi pelaku mau mengajukan sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk mengungkap kejahatan. Syarat utama menjadi JC adalah bukan pelaku utama dalam perkara yang diungkap.
Saksi dan korban yang mengalami ancaman fisik dan psikis dari keluarganya juga bisa meminta perlindungan kepada LPSK. Permohonan bisa diajukan oleh pendamping, kuasa hukum, saksi atau korban sendiri, ataupun dari aparat penegak hukum.
”Permohonan tidak harus diajukan dengan datang langsung. Bisa bersurat, bahkan melalui pesan singkat WA juga bisa. Nanti permohonan itu kami proses,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Kontras, Fatia Maulidiyanti, mengatakan, wajar jika korban dan keluarga korban kecewa dengan proses hukum kasus Paniai. Penetapan tersangka tunggal dalam kasus ini disebutnya janggal. Hal ini jelas-jelas tidak memenuhi prinsip rantai komando dalam kejahatan kemanusiaan. Penetapan tersangka tunggal juga membuat pelaku gagal memenuhi unsur sistematis dan masif karena seolah-olah kejahatan dilakukan pelaku sendirian.
”Tidak mungkin pelanggaran HAM berat dilakukan satu orang saja. Tidak heran kalau teman-teman di Papua menolak pengadilan kasus Paniai ini,” kata Fatia.
Fatia berharap penegakan hukum bisa menyasar lebih menyeluruh dari pimpinan tertinggi TNI dan Polri pada saat kejadian. Ini untuk memenuhi unsur rantai komando dan kejahatan yang dilakukan secara sistematis. Jika kemudian yang ditetapkan sebagai tersangka hanya satu, seolah penegakan hukum hanya menjadi formalitas belaka. Pelanggaran HAM berat lalu terkesan seperti tindak pidana biasa. Sebab, penegakan hukumnya tak bisa mengungkap aktor intelektual dan aktor lapangan yang bertanggung jawab pada saat pelanggaran HAM berat dilakukan.
”Kami berharap keterangan saksi di persidangan nanti bisa mengungkap kebenaran materiil dari peristiwa Paniai. Sebenarnya sebelum sidang pun bisa dibongkar dakwaannya apabila ada yang membawa data baru pelaku. Proses tambahan ini bisa diajukan ke jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung,” ucap Fatia.
Senada dengan Amiruddin, Fatia juga berharap LPSK bisa proaktif memberikan perlindungan kepada saksi dan korban kasus Paniai. Sebab, berdasarkan pengalaman pendampingan Kontras pada saat persidangan kasus Tragedi Tanjung Priok 1984, korban dan saksi banyak yang merasa terintimidasi. Mereka merasa terancam karena pada saat persidangan ruangan dipenuhi oleh anggota TNI. Tak hanya saksi dan korban, majelis hakim juga ikut terintimidasi karena posisi TNI yang sangat kuat.
Dihubungi terpisah, Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Sobandi mengatakan, belum ada tanggal pasti kapan kasus Paniai akan disidangkan. Saat ini, MA masih menunggu Presiden menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Hakim Ad Hoc HAM yang terpilih. Setelah keppres turun, baru MA akan menindaklanjuti dan menentukan komposisi majelis serta hari sidang pertama.