Kasus Paniai, Perdamaian di Papua, dan Janji Presiden
Nasib pengusutan kasus Paniai mirip dengan sejumlah kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya yang tak jelas ujungnya. Presiden punya otoritas dan janji untuk menuntaskannya.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·6 menit baca
Kekerasan demi kekerasan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia di Papua hendaknya bukan labirin yang tak bertepi, tetapi lorong yang memiliki ujung. Ini pula yang diharapkan ketika penyelidikan kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat di Paniai, Papua, tahun 2014, telah dituntaskan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Hanya saja untuk tiba di ujung lorong, bukan perkara mudah.
Hari baru saja berganti, pertengahan Desember lima tahun silam. Keheningan malam di Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, Kabupaten Paniai, Papua, terusik oleh insiden antara oknum aparat keamanan dan sejumlah pemuda kampung. Insiden disinyalir bermula saat warga menegur oknum aparat yang mengendarai mobil tanpa menyalakan lampu. Namun oknum tersebut tidak terima, dan kemudian berbuah penganiayaan pada sejumlah pemuda.
Akibat insiden itu, warga pun bereaksi. Pagi harinya, masyarakat bersama-sama bergerak ke pusat kota Paniai. Saat berkumpul di Lapangan Karel Gobay, Paniai, mereka dihadang oleh aparat keamanan gabungan yang hendak mengamankan unjuk rasa massa. Namun bentrokan kemudian pecah. Aparat menembakkan senjatanya untuk mengendalikan massa. Lima orang meninggal dunia akibat insiden itu. Adapun tiga warga lainnya kritis. Ditambah lagi setidaknya 22 warga terluka.
Gambaran konflik dan pemicu konflik itu diperoleh tim Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) saat menelusuri fakta di lapangan, tiga hari setelah insiden terjadi, Kompas (12/12/2014). Komisioner Komnas HAM saat itu, Otto Syamsuddin, menyebutkan, oknum aparat yang menganiaya pemuda itu bertugas di Pos Batalyon Infanteri 753/Arga Vira Tama Nabire.
Namun hal tersebut dibantah oleh Panglima Komando Daerah Militer XVII/ Cenderawasih Mayor Jenderal Fransen Siahaan. Ia menyatakan, tidak ada anggotanya yang terlibat dalam penganiayaan. Berdasarkan informasi yang dia dapatkan dari komandan peleton, pada saat kejadian, tidak ada anggota yang meninggalkan pos (Kompas, 12/12/2014).
Tim dari Komnas HAM lantas melanjutkan penyelidikan. Akhir Februari 2015, tim menemukan empat fakta dari penyelidikan bentrokan di Paniai.
Keempat fakta itu, pemukulan 12 anak dan penembakan seorang anak di kawasan Pondok Natal, Kampung Ipakiye, Distrik Paniai Timur, pada 7 Desember 2014. Tiga fakta lain terjadi di Lapangan Karel Gobay. Komnas HAM juga menemukan penggunaan peluru tajam yang menewaskan empat warga, pemukulan belasan warga menggunakan popor senjata, dan tindakan kasar terhadap kaum perempuan keluarga korban (Kompas, 23/2/2015).
Penyelidikan kemudian dimatangkan oleh Komnas HAM. Hingga penyelidikan dituntaskan Komnas HAM pada awal tahun ini, total sudah 26 saksi diperiksa. Komnas HAM juga telah meminta keterangan sejumlah pejabat, penanggung jawab keamanan serta petugas keamanan pada saat peristiwa terjadi. Tidak ketinggalan keterangan resmi atas uji balistik dari laboratorium forensik telah dikantongi Komnas HAM beserta sejumlah dokumen lain yang dibutuhkan.
Kesimpulan dari hasil penyelidikan itu, ada pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam kasus Paniai tersebut.
Dengan keyakinan itu, Komnas HAM lantas menyerahkan berkas hasil penyelidikannya ke Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Februari 2020. Ini dengan harapan kejaksaan bisa meningkatkan kasus Paniai ke tingkat penyidikan sebelum akhirnya dilimpahkan ke pengadilan HAM, dan para oknum pelaku kekerasan di Paniai bisa dimintakan pertanggungjawabannya di muka pengadilan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Kejagung mengembalikan berkas penyelidikan ke Komnas HAM. Alasannya, belum memenuhi persyaratan untuk dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan. Komnas HAM lantas mencoba memperbaikinya, dan mengirimkannya ulang ke Kejagung. Yang terjadi kemudian, Kejagung lagi-lagi mengembalikannya ke Komnas HAM dengan alasan yang sama.
Padahal menurut Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, dokumen yang diminta oleh kejaksaan tak mungkin untuk bisa dipenuhi pihaknya. Pasalnya sebagai penyelidik, Komnas HAM tak memiliki kewenangan menyita dokumen. Justru kejaksaan yang berperan sebagai penyidik, memiliki kewenangan penyitaan, dan seharusnya bisa menyita dokumen yang dibutuhkan.
Ia lantas mencontohkan kejadian serupa saat Komnas HAM menyelidiki kasus pelanggaran HAM berat Abepura, Timor Timur, dan Tanjung Priok. Dalam kasus-kasus itu, kejaksaan yang menyita sejumlah dokumen yang dibutuhkan sehingga perkara bisa dilimpahkan ke pengadilan.
Meski demikian, Kejagung tetap berkukuh dengan sikapnya. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono mengatakan, Komnas HAM selaku penyelidik tinggal melaksanakan saja petunjuk dari penyidik. “Sama seperti perkara pidana umum atau tindak pidana korupsi, jika penyidik mendapat petunjuk dari penuntut umum, maka harus dilaksanakan oleh penyidik, bukan dikomentari,” katanya.
Menurutnya, petunjuk dari kejaksaan yang harus dilengkapi Komnas HAM sudah jelas. Jika masih kurang jelas, Kejagung membuka ruang seluas-luasnya untuk Komnas HAM.
Jika ditilik ke belakang atau beberapa pekan setelah insiden Papua terjadi, Presiden Joko Widodo pernah meminta agar kasus Paniai diinvestigasi dan dituntaskan. Hal ini disampaikannya saat
bertemu pimpinan Konferensi Waligereja Indonesia dan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia di Istana Merdeka, Jakarta, sehari sebelum Presiden berangkat ke Papua untuk kunjungan kerja tiga hari, termasuk di dalamnya menghadiri perayaan Natal nasional di Papua (Kompas, 27/12/2014).
Berangkat dari janji itu, menurut Deputi Direktur lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar, sudah sepantasnya Presiden Joko Widodo turun tangan ketika melihat dua institusi negara, Kejagung dan Komnas HAM, berbeda persepsi dalam menangani kasus Paniai.
“Presiden memiliki otoritas penuh untuk menyelesaikan kasus ini,” ujarnya.
Apalagi, ia berpandangan, penyelesaian kasus Paniai dapat membuka jalan untuk menciptakan perdamaian di bumi Papua. Sebab, penyelesaian kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu di Papua menjadi salah satu yang diharapkan oleh masyarakat Papua.
Hal tersebut dikuatkan pula oleh hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Papua sejak 2008 yang tertuang dalam Peta Jalan Papua. Dalam artikel berjudul “Jalan Menuju Damai Papua” yang terbit di Kompas.id, 30 Agustus 2019, disebutkan, pentingnya menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Papua, dan menyeret para pelakunya ke pengadilan HAM, merupakan salah satu kunci untuk mencegah konflik terus berulang di Papua.
Kunci lainnya yang penting, dialog antara pemerintah dan masyarakat Papua, rekonsiliasi dengan mempertemukan pemerintah dengan kelompok oposisi yang menginginkan referendum dan kemerdekaan Papua, dan pembangunan di Papua harus dilakukan dengan basis kebudayaan.
Terkait kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Papua, selain kasus Paniai, ada dua kasus dugaan pelanggaran HAM lain yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk dituntaskan oleh aparat penegak hukum, yaitu kasus Wasior tahun 2001 dan Wamena tahun 2003.
Pentingnya Presiden Joko Widodo turun tangan di tengah “bolak-balik berkas Paniai” antara Kejagung dan Komnas HAM juga karena penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan bagian dari janjinya saat maju di Pemilu Presiden 2014 dan 2019.
Untuk diketahui, selain Paniai, masih banyak kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu yang belum dituntaskan hingga kini. Total setidaknya ada 12 kasus. Kasus itu di antaranya penghilangan orang paksa pada 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, kasus penembakan Trisakti-Semanggi pada 1998-1999, peristiwa Talangsari, Lampung tahun 1989, peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003, dan peristiwa 1965-1966.
Kondisi penanganan sebagian dari kasus itu pun mirip nasibnya dengan Paniai. Berkas penyelidikan Komnas HAM bolak balik dari Komnas HAM ke Kejagung.
Jika kasus Paniai saja sulit untuk dituntaskan, wajar jika kemudian publik pesimistis presiden akan memenuhi janjinya menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Pasalnya, dibandingkan kasus-kasus lain, kasus Paniai dilihat sejumlah pihak, termasuk Komnas HAM, seharusnya lebih mudah penyelesaiannya. Selain karena waktu terjadinya peristiwa belum terlalu lama daripada kasus lainnya, juga karena saksi dan pihak-pihak yang diduga bertanggung jawab masih bisa dimintai keterangan.
Jadi, hingga kapan publik harus menanti kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu itu terungkap dan pelakunya diseret ke pengadilan?