KPK Tahan Mardani Maming, Korupsi di Pertambangan Masih Bisa Terulang
Tersangka Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, periode 2010-2018, Mardani H Maming, diduga menerima uang sekitar Rp 104,3 miliar pada kurun waktu 2014 sampai 2020 terkait izin usaha pertambangan di Tanah Bumbu.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tersangka Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, periode 2010-2018, Mardani H Maming diduga menerima uang sekitar Rp 104, 3 miliar pada kurun waktu 2014 sampai dengan 2020 terkait izin usaha pertambangan di Tanah Bumbu. Demi memutus mata rantai korupsi di sektor tambang tak cukup dengan urusan transparansi, tetapi harus lebih radikal dengan mekanisme atau regulasi baru.
Dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (28/7/2022) malam, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, Mardani yang menjabat Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2015 dan 2016-2018, memiliki wewenang memberikan persetujuan izin usaha pertambangan operasi dan produksi (IUP OP) di wilayah Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Pada 2010, salah satu pihak swasta yaitu Henry Soetio selaku pengendali PT PCN (Prolindo Cipta Nusantara) bermaksud untuk memeroleh IUP OP milik PT BKPL (Bangun Karya Pratama Lestari) seluas 370 hektar yang berlokasi di Kecamatan Angsana Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Agar proses pengajuan peralihan IUP OP bisa segera mendapatkan persetujuan Mardani, Henry Soetio diduga melakukan pendekatan dan meminta bantuan pada Mardani selaku bupati agar bisa memperlancar proses peralihan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN.
Menanggapi keinginan Henry Soetio tersebut, di awal 2011, Mardani diduga mempertemukan Henry Soetio dengan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo yang saat itu menjabat Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Tanah Bumbu.
Dalam pertemuan itu, Mardani diduga memerintahkan Raden Dwidjono Putrohadi Sutopo agar membantu dan memperlancar pengajuan IUP OP dari Henry Soetio. Pada Juni 2011, Surat Keputusan Mardani selaku Bupati tentang IUP OP terkait peralihan dari PT BKPL ke PT PCN ditandatangani Mardani dengan beberapa kelengkapan administrasi dokumen diduga sengaja di-backdate (dibuat tanggal mundur) dan tanpa bubuhan paraf dari beberapa pejabat yang berwenang.
Peralihan IUP OP dari PT BKPL ke PT PCN diduga melanggar ketentuan Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang menyatakan, pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain.
Mardani juga meminta Henry Soetio agar mengajukan pengurusan perizinan pelabuhan untuk menunjang aktivitas operasional pertambangan dan diduga usaha pengelolaan pelabuhan dimonopoli PT ATU (Angsana Terminal Utama) yang adalah perusahaan milik Mardani.
“Diduga PT ATU dan beberapa perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan adalah perusahaan fiktif yang sengaja dibentuk MM (Mardani) untuk mengolah dan melakukan usaha pertambangan hingga membangun pelabuhan di Kabupaten Tanah Bumbu. Adapun perusahaan-perusahaan tersebut susunan direksi dan pemegang sahamnya masih berafiliasi dan dikelola pihak keluarga MM dengan kendali perusahaan tetap dilakukan oleh MM,” kata Alex.
Pada 2012, PT ATU mulai melaksanakan operasional usaha membangun pelabuhan dalam kurun waktu 2012-2014 dengan sumber uang seluruhnya dari Henry Soetio, di mana pemberiannya melalui permodalan dan pembiayaan operasional PT ATU.
Alex menegaskan, diduga terjadi beberapa kali pemberian sejumlah uang dari Henry Soetio pada Mardani melalui beberapa perantaraan orang kepercayaannya dan atau beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan Mardani yang kemudian dalam aktifitasnya dibungkus dalam formalisme perjanjian kerjasama underlying. Ini guna memayungi adanya dugaan aliran uang dari PT PCN melalui beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan MM tersebut.
“Uang diduga diterima dalam bentuk tunai maupun transfer rekening dengan jumlah sekitar Rp 104, 3 miliar dalam kurun waktu 2014 sampai dengan 2020,” tegas Alex.
Atas perbuatannya tersebut, tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Seusai konferensi pers, Mardani menegaskan, pada 25 Juli sudah mengirimkan surat ke KPK bahwa dirinya akan hadir pada 28 Juli atau setelah selesai proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ia mengungkapkan, beberapa hari yang lalu pergi ziarah Wali Songo. Namun, ia justru ditetapkan sebagai daftar pencarian orang pada 26 Juli 2022.
Terkait dengan masalah IUP, Mardani mengatakan, itu sudah berjalan dan ada paraf kepala dinas teknis sebagai penanggungjawab. Menurut pengakuannya, problem itu pun sudah disidangkan oleh pengadilan di Banjarmasin. Persoalan itu terjadi pada 2011, tetapi dipermasalahkan pada 2021.
Ia juga menampik tudingan gratifikasi. Menurutnya, yang terjadi adalah masalah bisnis.
Setelah tak lagi menjabat Bupati Tanah Bumbu, Mardani menjabat Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia. Ia juga menjabat Ketua DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kalimantan Selatan serta Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Melalui keterangan tertulis, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengatakan, PDI-P menanggapi serius berbagai persoalan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang melanda banyak politisi, pengusaha, aparat penegak hukum, hingga pegawai negeri, termasuk yang terjadi di internal PDI-P sendiri.
“Kami sungguh prihatin atas banyaknya pejabat negara yang terkena korupsi. Lebih dari 253 kepala daerah dari sebagian besar parpol sepanjang tahun 2010 sampai Juni 2018. Berbagai bentuk pencegahan telah dilakukan, namun mengapa hal tersebut masih terus terjadi. Skalanya masif dari penyalahgunaan kekuasaan, gratifikasi, suap, hingga penggelapan pajak dan kejahatan korporasi yang merugikan negara,” kata Hasto.
Atas berbagai persoalan tersebut, Hasto menegaskan, PDI-P terus berbenah diri, termasuk mewajibkan seluruh calon anggota legislatif pada Pemilu 2024 untuk mengikuti kursus pemberantasan korupsi yang diadakan KPK. Semua caleg partai akan mendapatkan sertifikat yang bisa diperoleh dengan mengikuti kursus secara daring di KPK.
Khusus terkait kasus korupsi yang menjerat kadernya, PDI-P meminta agar yang bersangkutan kooperatif dan menaati hukum tanpa kecuali. “Setiap warga negara, termasuk kader partai wajib menjunjung tinggi hukum dan percaya pada sistem hukum yang berkeadilan,” kata Hasto.
Korupsi di Pertambangan
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Melky Nahar mengatakan, praktik korupsi di sektor tambang terjadi di setiap proses kegiatan usaha, mulai dari alih fungsi lahan, perizinan, pelaksanaan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), penjualan hasil produksi, hingga pengalokasian dana jaminan reklamasi pascatambang.
“Sebab utamanya adalah kepentingan politik baik daerah maupun nasional yang besar, terutama bagi elite politik yang tengah berkuasa. Salah satu momentum yang sering dipakai tentu saja jelang pesta elektoral dan pascaelektoral,” kata Melky.
Menurut Melky, cara memutus mata rantai korupsi di sektor tambang tak cukup dengan urusan transparansi. Namun, mesti lebih radikal dengan mekanisme atau regulasi baru, di mana pejabat terkait tidak boleh terlibat dalam bisnis apapun.
Ia menegaskan, saat ini, potensi korupsi tersentralisasi di pusat karena sebagian besar kewenangan diambil alih oleh pemerintah pusat.
Kebijakan dan regulasi yang ada saat ini telah secara terbuka membuka ruang besar bagi ekspansi tambang. Bahkan, ada jaminan hukum keberlangsungan investasi dan hilangnya sejumlah aturan untuk memproses hukum bagi pejabat yang mengeluarkan izin tambang bermasalah. Ini tantangan besar dan mustahil hanya bisa diatasi oleh KPK, polisi, dan kejaksaan.