Bekas Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, Mardani Maming diduga menerima suap dan gratifikasi sebesar Rp 104,3 miliar dalam pemberian izin usaha pertambangan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Komisi Pemberantasan Korupsi bakal menjemput paksa tersangka Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, periode 2010-2018, Mardani H Maming karena telah dua kali mangkir dari pemeriksaan penyidik. Mardani dituding telah menerima suap dan gratifikasi dalam pemberian izin usaha pertambangan yang besarnya mencapai Rp 104,3 miliar. Korupsi izin pertambangan bukan kali ini terjadi, bahkan berpeluang akan terus terjadi selama celah korupsi masih menganga.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan, mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), setelah dua kali tersangka dipanggil untuk pemeriksaan dan tidak hadir, KPK punya kewenangan menghadirkan secara paksa tersangka.
Dengan demikian, untuk Mardani yang telah dua kali mangkir dari pemeriksaan, KPK bisa menjemputnya secara paksa.
”Kami akan jemput yang bersangkutan (Mardani),” ujar Alexander, Kamis (21/7/2022).
Dalam kasus ini, Mardani diduga mendirikan beberapa perusahaan yang difasilitasi dan dibiayai PT Prolindo Cipta Nusantara (PT PCN). Direksi dan pemegang saham beberapa perusahaan itu masih berafiliasi dengan Mardani. Dalam aktivitasnya dibungkus dalam formalisme perjanjian kerja sama underlying. Diduga ada aliran uang dari direktur PT PCN melalui beberapa perusahaan yang terafiliasi dengan Maming tersebut, Rp 104,3 miliar.
Uang hasil korupsi yang mengalir lewat perusahaan, menurut Alexander, merupakan salah satu modus dari tindak pidana pencucian uang. Perusahaan-perusahaan sengaja didirikan untuk menyamarkan hasil dari tindak pidana sehingga seolah-olah uang itu hasil dari kegiatan usaha atau bisnis.
Setelah tak lagi menjabat Bupati Tanah Bumbu, Mardani menjabat Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia. Ia kini juga masih menjabat Ketua DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kalimantan Selatan serta Bendahara Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Laporan masyarakat
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan, penanganan perkara tindak dugaan suap dan gratifikasi terkait izin pertambangan di Tanah Bumbu berawal dari laporan masyarakat yang diterima KPK sekitar Februari 2022. Kemudian, dari hasil telaah, laporan masyarakat yang diterima KPK itu belum pernah ditangani aparat penegak hukum yang lain.
Alhasil, KPK menyelidikinya dengan meminta keterangan dan klarifikasi berbagai pihak. Pihak-pihak itu antara lain Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Tanah Bumbu, Dinas ESDM Kalimantan Selatan, dan PT PCN. Selain itu, dilakukan pula analisis terhadap berbagai dokumen terkait kasus ini.
”Dari serangkaian penyelidikan kemudian dikumpulkan data, informasi, dan dokumen sebagai bukti permulaan sehingga disimpulkan telah ditemukan dua alat bukti berupa surat/dokumen berjumlah 129 dokumen dan 18 orang yang telah memberikan keterangan yang dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan. Hal itu termasuk permintaan keterangan terhadap MM (Mardani Maming) serta alat bukti petunjuk berupa bukti elektronik,” kata Ali melalui keterangan tertulis, Kamis (21/7).
Dari bukti permulaan tersebut, KPK meningkatkan pemeriksaan ke tahap penyidikan, sekitar Juni 2022. Selain Mardani diduga mendirikan beberapa perusahaan yang difasilitasi PT PCN, penyelidik menemukan fakta dugaan pelimpahan izin usaha pertambangan operasi produksi batubara PT Bangun Karya Pratama Lestari kepada PT PCN oleh Maming. Padahal, hal tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Setelah PT PCN beroperasi, Maming diduga mendirikan sejumlah perusahaan tersebut.
Namun, kuasa hukum Mardani, Denny Indrayana, menepis tudingan ini. Jawaban KPK dalam sidang permohonan praperadilan penetapan tersangka yang diajukan Mardani di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pun tak menyertakan sama sekali bukti Maming menerima dana. ”Yang ada hanya asumsi, yang tidak bisa dijadikan bukti. Yang justru ada adalah bukti transaksi bisnis dan perikatan perdata yang sudah divalidasi dan verifikasi oleh pengadilan PKPU (permohonan kewajiban pembayaran utang),” ujarnya.
Dalam sidang permohonan praperadilan yang kini masih bergulir di pengadilan itu, kuasa hukum Mardani menyampaikan empat argumentasi utama mengapa penyidikan dan penetapan tersangka Maming tidak sah. Pertama, KPK tidak berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan karena perkara yang ditangani sama dengan perkara yang ditangani Kejaksaan Agung dan masih dalam proses banding setelah putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banjarmasin.
Kedua, perkara yang sedang disidik KPK adalah persoalan bisnis. Ada transaksi yang jelas, terdapat perjanjian dan hubungan utang piutang yang sah, serta dikuatkan putusan permohonan kewajiban pembayaran utang di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ketiga, pasal-pasal yang dijadikan dasar penyidikan yang berubah-ubah.
Keempat, tidak terpenuhinya proses hukum yang baik, benar, dan adil. KPK dituding menetapkan tersangka serta memperoleh alat bukti dan barang bukti secara tidak sah.
Biaya politik tinggi
Terlepas dari bantahan itu, Kepala Divisi Simpul dan Jaringan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muhammad Jamil mengatakan, korupsi di sektor pertambangan sudah berulang kali terjadi.
Berdasarkan catatan Jatam, sepanjang 2014 hingga 2018, terdapat 23 kasus indikasi korupsi sektor pertambangan dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 210 triliun.
Potensi korupsi di sektor ini pun masih besar. Salah satunya karena ada kaitannya dengan biaya politik yang tinggi untuk memenangi pemilu. Peserta pemilu membutuhkan anggaran besar untuk memenangi pemilu ataupun pemilihan kepala daerah. Pasokan dana diterima dari pihak swasta dengan imbalan dimuluskan dalam pemberian izin usaha, termasuk pertambangan.
”Pada saat terpilih, mau tidak mau ada kewajiban kontrak sosial dengan penyandang dana terpilih. Di situlah transaksinya. Rata-rata izin tambang akan banyak dikeluarkan setahun sebelum pemilu,” katanya.
Ia pun menyayangkan kebijakan pemerintah yang menarik teknis perizinan tambang ke pemerintah pusat. Dengan cara ini, semakin besar ruang korupsi karena melibatkan elite-elite di pusat. Terlebih, ruang publik mengawasi semakin sempit. Ketika terjadi pelanggaran, misalnya korupsi di daerah, masyarakat tidak bisa segera melaporkannya kepada pemerintah daerah.