Perizinan Jadi Masalah Utama Korupsi Sumber Daya Alam
Korupsi di sektor sumber daya alam terus terjadi karena penyalahgunaan wewenang dan suap dalam perizinan. Korupsi tersebut melibatkan orang-orang yang berkuasa di pemerintahan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Korupsi di sektor sumber daya alam terus terjadi karena penyalahgunaan wewenang dan suap dalam perizinan. Korupsi tersebut melibatkan orang-orang yang berkuasa dalam pemerintahan. Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, suap per izin bisa mencapai Rp 688 juta hingga Rp 22 miliar.
Ketua Tim Program Penegakan Hukum Sumber Daya Alam Komisi Pemberantasan Korupsi Dian Patria mengungkapkan, lebih dari 12 kasus korupsi di sektor sumber daya alam (SDA), terutama kehutanan, terkait dengan penyalahgunaan wewenang dan penyuapan.
”Kami sudah mendorong perbaikan sistem dengan cukup masif. Banyak pembelajaran, tetapi kami merasakan juga kelihatannya tidak cukup. Kami masih kurang mendorong integritas,” kata Dian dalam webinar bertajuk ”Potensi Korupsi Tumpang Tindih Perizinan Sumber Daya Alam di Kalimantan Tengah”, Selasa (2/2/2021).
Kegiatan ini diselenggarakan Pusat Edukasi Antikorupsi KPK yang bekerja sama dengan Yayasan Auriga Nusantara. Hadir juga sebagai pembicara Direktur Walhi Kalimantan Tengah Dimas Hartono, pemerhati lingkungan Kalimantan Tengah Fatkhurohman, dan dosen Universitas Palangkaraya Paulus Yance Dhanarto.
Dian mengungkapkan, dalam kasus perizinan yang paling memengaruhi tata kelola bukan hanya soal sistem, melainkan integritas dari kepala daerah yang merupakan pemberi izin. Sebagai bagian dari pembuat kebijakan dan sistem, mereka bisa memainkannya.
Ia mengutip hasil kajian Auriga pada tahun lalu yang menyebutkan, 55 persen anggota DPR merupakan pengusaha, termasuk di sektor ekstraktif, seperti tambang, perkebunan, kelautan, dan perikanan yang bisa juga menjadi gambaran anggota dewan di daerah. Akibat hubungan ini, potensi korupsi yang melibatkan orang-orang yang berkuasa di pemerintahan atau state capture corruption bisa terjadi.
Korupsi melalui regulasi bisa terjadi karena para pemangku kepentingan, seperti anggota dewan, mempunyai usaha di sektor SDA juga. Mereka bisa memainkan kebijakan-kebijakan yang ujung-ujungnya tidak untuk kemakmuran rakyat.
”Ini memang menggambarkan bahwa jika ada hubungan erat antara pelaku usaha dan pembuat kebijakan akan semakin menyulitkan dalam rangka pemberantasan korupsi atau menegakkan hukum di sektor SDA,” kata Dian.
Ia mengungkapkan, dalam tata kelola SDA, korupsi terjadi secara masif yang tak jarang menyandera kepentingan negara. Suap-menyuap dan pemerasan hampir terjadi di setiap lini administrasi, mulai dari perencanaan hingga pengendalian.
Dian mencontohkan, di sektor kehutanan, suap per izin tiap tahun mencapai Rp 688 juta hingga Rp 22 miliar. Perhutani diperkirakan kehilangan aset tegakan hutan sebesar Rp 998 miliar per tahun.
Tidak transparan
Saat membuka diskusi, Kasatgas Pencegahan Direktorat III Wilayah 2 KPK Edi Suryanto mengatakan, selain regulasi yang rentan disalahgunakan, korupsi perizinan bisa terjadi karena informasi yang tertutup, mulai dari prosedur, persyaratan, biaya, hingga mekanismenya.
Selain itu, posisi kepala daerah yang memiliki kewenangan luar bisa dalam pemberian izin juga berpengaruh besar. Korupsi juga terjadi karena kompromi antara pemerintah dalam hal ini oknum pejabat dan perusahaan yang ingin cepat lancar dan berhasil memperoleh izin.
Paulus Yance Dhanarto mengatakan, pelibatan masyarakat dalam proses perizinan cenderung hanya bersifat formal. Padahal, ada politik informal yang terjadi dalam proses perizinan tersebut. Atas nama investasi, pengajuan perizinan disetujui. Menurut Paulus, tak jarang perizinan tersebut merugikan masyarakat hingga terjadi konflik.
Fatkhurohman menyoroti regulasi dan kebijakan pemerintah yang tidak tepat untuk diterapkan di Kalimantan Tengah. Salah satunya, Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut dia, UU ini akan menghapuskan kawasan strategis kabupaten dan provinsi.
Sementara itu, Dimas Hartono menyoroti proyek lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tengah. Ia menilai proyek ini dijalankan dengan melanggar sejumlah instrumen hukum dan hak asasi manusia. Proyek ini dinilai melabrak aturan yang lebih tinggi dan mengabaikan prinsip pemerintahan yang baik dan asas perlindungan serta pengelolaan lingkungan hidup.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menegaskan, pembangunan pertanian untuk kebutuhan bahan pangan dalam negeri diperlukan pembangunan kawasan industri pertanian, seperti food estate yang saat ini sedang dipersiapkan di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Saat ini, bukan saatnya melakukan hal-hal konvensional dan monoton, seperti mengembangkan kawasan pertanian dalam skala kecil (Kompas, 12/1/2021).